Saya dulu tidak sekolah, karena keluarga saya miskin. Karenanya, saya tidak bisa belajar membaca dan menulis serta bersekolah. Ketika saya pergi ke rumah sakit, saya biasanya harus meminta seseorang untuk menuliskan nama saya di meja pendaftaran. Tapi, baru-baru ini saja saya bisa menuliskan nama saya sendiri, karena saya belajar menulis di kelas literasi. Saya sangat senang ketika perawat memanggil nama saya.
Dulu saya tidak pernah berpikir bahwa matahari yang terbenam bisa begitu indah, tapi sejak belajar membaca dan menulis, saya mulai merasa bahwa matahari yang terbenam itu begitu indah. Saya senang melihat huruf-huruf yang saya pelajari. Saya juga belajar tentang angka-angka, yang berarti saya menantikan pergi ke supermarket lagi. Saya juga tidak lagi merasa malu saat di hotel, karena saya sekarang bisa mengenali nomor kamar saya.
Saya ingin terus belajar lebih banyak mulai sekarang. Setidaknya, saya ingin hidup 10 tahun lagi.
**
Adalah penggalan surat yang sangat terkenal dan dikenal dari pendidikan literasi di Jepang. Surat itu ditulis oleh Kitadai Iro, yang belajar membaca dan menulis di kelas literasi saat usianya menginjak 70 tahun.
Meskipun negara maju, Jepang juga mengalami persoalan terkait membaca, terutama bagi mereka yang kita sebut berusia lanjut. Misalnya dari sensus penduduk tahun 2020, terdapat 800.000 orang yang pendidikannya hanya sampai sekolah dasar (catatan presentasi Matsumoto Sensei-dosen Adult Education, Tohoku University). Di mana kelompok utama dari jumlah ini adalah para lansia. Kelompok ini juga mencakup orang asing dan orang-orang yang, karena berbagai alasan, tidak bersekolah.
Karenanya, pendidikan literasi di Jepang yang menyasar orang dewasa, dianggap penting untuk membantu orang-orang yang tidak mendapatkan kesempatan belajar membaca dan menulis pada periode belajar di sekolah dulu, karena satu dan lain hal. Juga dengan belajar kembali di kelas literasi, mereka bisa menemukan kembali jati diri mereka.
Kelas literasi, salah satunya dapat ditemukan pada kelas-kelas belajar non formal di Jepang, termasuk di kelas sekolah malam (evening school). Pada siang yang tidak terik, saya diajak oleh Matsumoto Sensei mengunjungi sebuah sekolah di pusat Kota Sendai. Namanya Sendai Volunteer-Based Evening Junior High School.
Selain bersama Edi-san, yang merupakan teman kuliah di UPI sekaligus teman penelitian singkat di Jepang, kami ditemani mahasiswa S2 dan S3 yang ada di bawah bimbingan Sensei. Ada Hiromu Inoue, Mayu Miyagi, Kyoka Akasaka, juga Yui Ito.
Saya begitu terkesan membaca surat Kitadai Iro yang kemudian diperlihatkan melalui materi presentasi Sensei. Melalui bisa membaca dan menulis, Iro-san merasa senang, dan sepertinya ia merasa bahagia bisa tidak merepotkan orang lain.
Tetapi apakah bisa membaca dan menulis saja cukup? Tentu tidak, tetapi kemampuan ini menjadikan bekal bagi kita untuk bisa berkembang secara personal dan berpartisipasi sebagai anggota masyarakat hingga bermanfaat bagi masyarakat.
Siang itu, kami harus bertemu dengan Sonoda-san, perempuan berambut pendek yang sudah lanjut usia, tapi jangan salah. Bersemangat sekali!
Kami duduk di belakang ruang kelas, yang terisi 30an orang. Sebagian besar adalah orang tua. Di depan kelas, ada dua orang yang memfasilitasi kelasnya. Selain itu setiap bangku setidaknya diisi dua orang.
"Bapak dan ibu, hari ini kita juga kedatangan dua orang mahasiswa dari Indonesia yang ingin melihat kegiatan kita, ya"- begitu pesan Sonoda-san, yang disampaikannya pada peserta belajar.
Ternyata kelas ini adalah kelas yang sukarela, artinya pesertanya belajar tidak dipungut biaya, jadi kalau mau belajar silahkan datang saja. Selain itu, guru dan fasilitatornya juga sukarela, alias volunteer. Sehingga guru dan murid, keduanya sukarelawan.
Saat kami datang, kelas yang sedang berlangsung adalah kelas menulis semacam puisi atau haiku. Tentu dalam katakana, yang membacanya pun sa kesulitan.
Setelah ada pembelajaran klasikal di kelas, mengenali puisi-puisi, kemudian kelasnya berubah menjadi dua: ada kelompok kecil yang berpisah dari kelas besar. Yang tinggal, ternyata masing-masing orang punya semacam teman belajar, yang merupakan sukarelawan juga.
Sekelas yang isinya 30an orang, kebanyakan orang tua ini membuat saya terkagum. Apalagi ketika melihat dan mengobservasi kesungguhan mereka belajar. Ya sudah tua kok semangat sekali? Sepertinya saya masih terbawa bayangan selama berinteraksi di Sorong misalnya, yang kalau ada kesempatan belajar biasanya yang senior lebih mendorong yang muda-muda saja.
Semangat belajar juga mengingatkan saya pada Sazaki-san, yang saya temui di Arai Machinowa Library di daerah Arai, pinggiran Kota Sendai. Ia, dengan suara berat agak serak menjawab pertanyaan-pertanyaan saya. Sembari kemudian mengambil biolanya. "Saya itu baru belajar memainkan biola saat pensiun, dan sekarang sudah dua tahun di usia saya yang ke 72. Saya berharap bisa mahir memainkannya dalam beberapa tahun ini." Angkat topi buat semangatnya.
Â
Belajar di usia muda saja tidak mudah, apalagi di usia senja. Juga selama di Jepang, rasanya saya merasa tidak mudah membuat atau terhubung dengan orang lain. Terutama karena soal bahasa, tetapi juga ada rasa individualisme yang tinggi.
Tetapi saat melihat sekolah malam ini, meski tentu belajarnya tidak mudah, saya merasa orang-orang semacam diterima untuk belajar apapun latar belakangnya. Juga bisa membangun pertemanan dan perkawanan baru, di level usia berapapun anda.
Ruang-ruang persentuhan ini, membangun ikatan antar warga yang bikin orang betah datang ke tempat ini, meski tanpa dibayar. Dari individu, menjadi sebuah kelompok atau komunitas, yang bisa saling memberi dan menginspirasi. Jadinya berarti. Dari kelas yang ramai orang belajar ini, saya menemukan hal-hal menarik saat matahari sedang tidak terik.
Sekian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI