Mohon tunggu...
DAYINTA ADISTY
DAYINTA ADISTY Mohon Tunggu... Undergraduate Psychology Student at Universitas Airlangga, Class of 2025

Mahasiswa Psikologi Universitas Airlangga vang memiliki minat dan pengalaman luas di bidang seni, khususnya musik dan seni peran. Aktif sebagai penyanyi, content creator, dan talent dalam berbagai proyek seni di tingkat regional, nasional hingga internasional. Terbiasa bekeria kolaboratif dalam tim, memiliki kreativitas tinggi, serta pengalaman organisasi vang mendukung pengembangan minat dan bakat.

Selanjutnya

Tutup

Seni

When Emotions Speak, Colors and Music Become a Home

12 September 2025   23:30 Diperbarui: 12 September 2025   23:47 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artworks by Vincent van Gogh

Pernahkah kamu merasa tenang hanya dengan melihat langit biru, atau ikut larut dalam kesedihan ketika mendengar lagu bernada minor? Menariknya, warna dan musik seolah bisa “berbicara” tanpa kata-kata. Mereka menyentuh emosi kita dengan memberi rasa, bahkan kadang lebih jujur daripada bahasa lisan.
 
Warna yang Menghidupkan Rasa

Warna bukan sekadar persoalan estetika, melainkan cerminan jiwa yang halus. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa tiap warna membawa pengaruh berbeda pada otak dan hormon manusia. Biru kerap menghadirkan ketenangan karena mengingatkan kita pada laut dan langit yang luas, sementara merah membangkitkan energi dan gairah hidup. Namun, makna warna tidak selalu universal; putih, misalnya, dipandang sebagai lambang kesucian di Barat, tetapi justru menjadi simbol duka di Asia Timur. Perbedaan tafsir ini menegaskan bahwa warna, layaknya emosi manusia, selalu bergantung pada ruang dan budaya tempat ia tumbuh.
 
Dalam dunia seni, warna berfungsi sebagai bahasa batin. Van Gogh, misalnya, menggunakan kuning secara berlebihan bukan sekadar untuk keindahan visual, melainkan sebagai cermin kegelisahannya. Perpaduan warna pun dapat menghadirkan nuansa emosional baru, contohnya merah yang melambangkan energi dipadukan dengan kuning yang ceria sehingga menghasilkan oranye yang identik dengan kehangatan dan kegembiraan.


Filsafatnya serupa dengan kehidupan: perbedaan emosi yang tampak berlawanan, ketika diterima dan dipadukan, justru dapat melahirkan keseimbangan baru yang lebih menenangkan. Seperti halnya manusia, luka dan bahagia yang berdampingan bisa menjadi sumber kekuatan batin, menghadirkan rasa hangat yang meneguhkan jiwa.

Namun, pada akhirnya warna juga merupakan soal persepsi personal. Cara manusia memandang warna dipengaruhi oleh pengalaman hidup dan kebutuhan batin yang berbeda. Hitam, misalnya, kerap diasosiasikan dengan duka, amarah, atau kekotoran. Tetapi bagaimana dengan orang-orang yang justru menjadikan hitam sebagai warna favoritnya? Bagi mereka, hitam bisa memberi rasa aman, kepuasan, bahkan ketenangan.
 
Sebaliknya, warna-warna cerah yang bagi banyak orang tampak melambangkan kebahagiaan, bisa saja menjadi pemicu luka bagi sebagian orang tertentu. Bayangkan seseorang yang pernah melihat kerabatnya terluka, atau bahkan kehilangan kerabat tercinta, ketika mengenakan baju berwarna pink. Bagi orang tersebut, pink bukan lagi identik dengan kelucuan dan kelembutan, melainkan berubah menjadi pengingat pahit akan rasa sakit dan kehilangan.
 
Begitu pula dengan merah yang dianggap berani oleh sebagian, tetapi bagi yang lain mungkin hanya menghadirkan ingatan tentang darah dan rasa takut.
 
Semua pengalaman ini menegaskan bahwa warna, layaknya emosi manusia, selalu memiliki makna berlapis dan dibentuk oleh jejak pengalaman yang kita simpan dalam jiwa. Selain membentuk makna emosional, persepsi kita terhadap warna juga mempengaruhi cara kita melihat diri sendiri, termasuk bagaimana warna tertentu bisa memperkuat rasa percaya diri dan identitas personal. Salah satunya terlihat dari personal color test, yang mengelompokkan orang berdasarkan undertone kulit. Warna yang sesuai membuat seseorang tampak lebih hidup sekaligus lebih percaya diri. Jadi, warna bukan hanya bicara keluar, tetapi juga bicara ke dalam, membentuk identitas psikologis kita.
 

https://www.perfectcorp.com/consumer/blog/makeup/personal-color-analysis-app
https://www.perfectcorp.com/consumer/blog/makeup/personal-color-analysis-app

Musik: Bahasa Emosi yang Paling Jujur

Seperti warna yang mampu mengekspresikan perasaan terdalam, musik pun berbicara langsung ke hati. Nada mayor membawa keceriaan, sementara minor sering terdengar sendu dan melankolis. Ketegangan tangga nada minor diterima telinga kita sebagai kesedihan, dan sejak kecil kita terbiasa mendengar film atau lagu yang memanfaatkan minor untuk adegan pilu, sehingga asosiasi itu tertanam kuat dalam ingatan.
 
Ada satu fenomena yang seakan sudah dianggap wajar, yaitu saat kita sedang galau atau sedih, kita justru cenderung memilih musik yang mendukung perasaan itu, bukannya beralih ke lagu yang bisa membangkitkan suasana hati, melainkan kita semakin tenggelam dalam musik sedih itu sendiri. Mengapa demikian? Karena musik sedih memberi validasi emosi kita, membuat kita merasa dimengerti, ditemani, dan tidak sendirian. Alih-alih menambah beban, lagu sedih justru menjadi ruang aman untuk melepas perasaan, menangis, dan merasakan emosi sepenuhnya. Inilah sebabnya musik sering menjadi tempat paling jujur untuk mengakui dan memproses apa yang kita rasakan
 
Lebih jauh lagi, bukan hanya mendengarkan musik, menulis lagu pun bisa menjadi cara yang mendalam untuk menyimpan dan mengolah emosi. Bagi banyak orang yang tidak punya tempat bercerita, lagu menjadi wadah rahasia untuk menitipkan rasa. Setiap lirik dan nada adalah jejak perasaan yang pernah hadir, seperti sedih, marah, rindu, atau bahagia yang tetap tersimpan meskipun waktu telah berlalu.
 
Menariknya, emosi yang sama bisa diolah dengan cara berbeda. Sebuah kisah patah hati bisa lahir sebagai balada sendu, tapi juga muncul dalam lagu pop penuh energi. Musik adalah tempat yang fleksibel karena ia tidak hanya menyimpan cerita, tetapi juga memberi cara lain untuk memaknai sebuah kisah. Lagu yang lahir dari pengalaman pribadi pun bisa menjadi “tempat” bagi orang lain karena seakan mendengarkan balik dan menjadi telinga bagi emosi yang kadang sulit diungkap secara gamblang. Dengan begitu, musik menjelma menjadi jembatan rasa yang mengubah pengalaman personal menjadi pengalaman bersama dan memberi setiap pendengar rasa menemukan “rumah baru” dalam melodi.

https://pin.it/5s7oC9UdP
https://pin.it/5s7oC9UdP

 
Filosofi di Balik Warna dan Musik

Sejak zaman Yunani, filsuf sudah menaruh perhatian pada musik dan warna. Pythagoras melihat harmoni musik sebagai cerminan keteraturan alam semesta, sementara Goethe dan Kandinsky menekankan hubungan warna dengan spiritualitas. Dalam filsafat estetika, keduanya dianggap sebagai medium untuk menembus batas bahasa dan menyentuh batin terdalam.
 
Jika warna bisa berpadu membentuk warna baru, begitu pula emosi manusia yang bisa diolah menjadi keseimbangan baru. Jika musik bisa menggabungkan harmoni menjadi melodi, manusia pun bisa menyusun rasa marah, takut, bahagia, dan sedih menjadi harmoni emosional yang indah dan bermakna.
 
Menyembuhkan Lewat Getaran

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun