Mohon tunggu...
Davin Febrio Putra
Davin Febrio Putra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Jember

Eksplorasi hal-hal baru dan menulis apa yang menarik bagi saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Reformasi Ekonomi dan Stabilitas: Respon Negara Asia Terhadap Krisis Moneter 1990

30 Maret 2024   07:50 Diperbarui: 30 Maret 2024   08:00 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Krisis moneter yang mendalam melanda Asia Tenggara dan beberapa negara Asia lainnya pada akhir 1990-an. Krisis ini menghancurkan ekonomi regional dan menunjukkan pentingnya stabilitas sistem moneter. Krisis pertama terjadi di Thailand ketika nilai Baht jatuh pada Juli 1997, dan kemudian menyebar ke negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan. Ini menyebabkan devaluasi mata uang, kebangkrutan bisnis, dan kekacauan sosial. Pengaruh, dampak, dan peran sistem moneter dalam krisis tersebut akan dibahas dalam artikel ini. 

Sistem nilai tukar yang dipatok (pegged exchange rate systems) memainkan peran penting dalam krisis ini. Sebelum krisis, banyak negara Asia Tenggara mematok nilai tukar mata uang mereka terhadap dolar AS untuk menjaga harga stabil dan menarik investasi asing. Namun, ketika dolar AS menguat, ekspor menjadi lebih mahal dan kurang kompetitif, yang menyebabkan defisit perdagangan yang membebani cadangan devisa negara-negara tersebut. Selain itu, liberalisasi pasar keuangan yang terlalu cepat dan tidak diawasi memungkinkan masuknya aliran modal spekulatif jangka pendek. Investor asing mulai kehilangan kepercayaan dan menarik dana mereka dengan cepat, meningkatkan tekanan pada mata uang dan sistem perbankan. 

Krisis ini memiliki dampak yang luas dan mendalam. Hutang luar negeri yang dinominasikan dalam dolar AS menjadi sangat mahal untuk dilunasi karena devaluasi mata uang, yang menyebabkan banyak bisnis dan bank bangkrut. Ini menyebabkan resesi ekonomi yang dalam, yang mengakibatkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) negara-negara yang terkena dampak, peningkatan tajam tingkat pengangguran, dan peningkatan tingkat kemiskinan. Misalnya, di Indonesia, krisis menyebabkan penurunan PDB sebesar 13,7% pada tahun 1998 dan menggulingkan Presiden Soeharto, yang telah menjabat selama lebih dari tiga puluh tahun. Krisis ini juga menyebabkan ketidakpuasan politik dan gejolak sosial yang meningkat. Krisis ini mendorong transparansi, reformasi sektor keuangan, dan perubahan politik dan ekonomi di sejumlah negara.


Dengan bantuan dari bank dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), negara-negara yang mengalami krisis moneter pada akhir 1990-an melakukan tindakan drastis untuk memperbaiki stabilitas ekonomi mereka. Membiarkan mata uang mereka mengambang lebih bebas adalah tindakan utama yang diambil. Ini diharapkan akan meningkatkan daya saing ekspor dan membantu merestrukturisasi ekonomi mereka dengan memungkinkan nilai tukar mata uang secara alami menyesuaikan dengan kondisi pasar. Selain itu, negara-negara tersebut berusaha meningkatkan pengaturan dan pengawasan sektor keuangan. Ini dilakukan untuk memperbaiki kelemahan yang muncul selama krisis. Negara-negara berharap dapat mencegah kesalahan yang sama di masa depan dengan meningkatkan sistem dan pengawasan.

Restrukturisasi utang juga menjadi fokus utama upaya pemulihan. Dengan melakukan restrukturisasi utang, negara-negara tersebut berharap untuk mengurangi tekanan keuangan, mengurangi beban utang mereka, dan memudahkan pembayaran utang. Salah satu komponen penting dari pendekatan pemulihan adalah reformasi kebijakan fiskal. Tujuan reformasi ini adalah untuk memperbaiki kondisi keuangan, meningkatkan cadangan devisa, dan mengembalikan kepercayaan investor dalam jangka panjang.

Pentingnya sistem moneter yang stabil dan fleksibel serta kebijakan ekonomi yang prudent telah ditunjukkan oleh krisis moneter Asia pada 1990-an. Pengalaman buruk ini menunjukkan bahaya liberalisasi keuangan yang tidak terkendali dan nilai tukar mata uang yang dipatok. Krisis tersebut memicu reformasi penting yang meningkatkan ketahanan ekonomi regional terhadap gangguan eksternal, meskipun dampaknya sangat merugikan pada saat itu. Krisis ini menunjukkan bahwa stabilitas dan kehati-hatian sistem moneter adalah kunci untuk mencegah krisis serupa di masa mendatang di ekonomi global.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun