Mohon tunggu...
David Mangihut Manurung
David Mangihut Manurung Mohon Tunggu... Aktris - Influencer

main bola

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Modernisasi terhadap Tradisi Suku Dayak

26 Februari 2024   11:01 Diperbarui: 26 Februari 2024   11:22 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengaruh Modernisasi terhadap Tradisi Suku Dayak

David Mangihut Manurung

12 IPS 2, SMA Negeri 3 Kabupaten Tangerang

Kearifan lokal atau local wisdom dalam disiplin ilmu antropologi dikenal dengan istilah local genius. Kearifan lokal juga adalah penanda partikular dan identitas yang  menjadikan satu kelompok berbeda dengan kelompok yang lainnya. Salah satu suku yang memiliki kekayaan budaya di Indonesia yaitu suku Dayak. Suku Dayak merupakan suku asli Kalimantan yang memiliki karakteristik yang khas dan sangat menghargai kearifan lokal dalam kehidupan sehari-hari. Suku Dayak memiliki sumber daya alam, tradisi, dan budaya yang sangat kaya dan melimpah.

Namun, keberlangsungan hidup suku Dayak kini terancam oleh perubahan zaman yang semakin pesat dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap keberlangsungan budaya asli dari suku Dayak. Suku Dayak memiliki sumber daya alam, tradisi, dan budaya yang sangat kaya dan melimpah. Namun, keberlangsungan hidup suku Dayak kini terancam oleh perubahan zaman yang semakin pesat dan kurangnya perhatian masyarakat terhadap keberlangsungan budaya asli dari suku Dayak.

Mulai Punahnya Kebiasaan Memanjangkan Daun Telinga

Tanda identitas Dayak yang paling mencolok bagi orang-orang luar adalah praktik menindik dan memanjangkan daun telinga, meskipun tidak semua suku melakukan tradisi ini. Pemanjangan daun telinga di kalangan masyarakat Dayak secara tradisional berfungsi sebagai penanda identitas kemanusiaan mereka.

Menurut penelitian Dr. Yekti Manuati yang berkunjung ke sebuah desa Dayak di mana Dayak yang otentik yang serupa dengan orang Dayak yang hidup di pedalaman tinggal, ternyata penduduk desa sendiri tidak semua memiliki tato dan daun telinga yang panjang. Belakangan, terbukti bahwa hal ini hanya sebagian benar, karena banyak orang yang telah memotong daun telinga mereka yang panjang. Pemotongan daun telinga ini sendiri dilakukan di rumah sakit melalui sebuah operasi kecil. Hanya sedikit penduduk yang masih memiliki daun telinga yang panjang, itupun kebanyakan para manula yang berusia di atas 60 tahun.

Isu mengenai apakah penanda fisik ke-Dayak-an ini seperti daun telinga yang panjang. harus dilestarikan, kerap kali diperdebatkan oleh penduduk desa itu sendiri. Hanya sedikit orang yang berpendapat bahwa para orang tua yang mempunyai anak harus didorong untuk melestarikan tradisi, dengan cara memanjangkan daun telinga anak-anak mereka. Sebenarnya penduduk Dayak sendiri sadar bahwa mereka harus melestarikan tradisi mereka, karena jika tidak maka orang Dayak akan kehilangan tradisi yang berharga tersebut. Tetapi mereka juga berpendapat, bila suatu saat anak mereka pergi bersekolah ke kota-kota besar, maka anak mereka akan merasa malu karena terlihat berbeda dari anak-anak lain. Seperti pendapat Mely (salah satu penduduk desa), yang memotong daun telinganya dan mengatakan bahwa ia tidak menyesali keputusannya untuk memotong daun telinganya.

Timbulnya rasa malu tersebut turut disebabkan oleh modernisasi dan globalisasi yang mulai merasuki kehidupan masyarakat Dayak. Globalisasi ini kemudian membuat rakyat Dayak menjadi kurang menghargai nilai-nilai budaya yang mereka miliki. Karena mereka menjadi lebih menghargai nilai-nilai yang berlaku di dunia internasional. Kebiasaan memanjangkan telinga yang tidak biasa di dunia internasional membuat warga Dayak menjadi berada dalam kebingungan mengenai haruskah mereka melestarikan nilai-nilai budaya mereka, yang kini diangap sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman? Dulu, sebelum globalisasi dan modernisasi masuk ke kehidupan masyarakat Dayak, mereka sangat menghargai nilai-nilai budayanya, dalam hal ini memanjangkan daun telinga yang dianggap sebagai pertanda bahwa mereka adalah bangsa yang beradab. Namun sejak globalisasi masuk, muncul anggapan bahwa bangsa yang beradab bukan seperti apa yang mereka pikirkan selama ini. Mereka mulai merasa mereka berbeda dari bangsa atau suku lain.

Padahal daun telinga yang panjang tersebut merupakan hal yang unik, yang dikagumi oleh masyarakat non-Dayak. Tidak seharusnya masyarakat Dayak malu akan penanda fisik tersebut, karena rasa malu itu pada akhirnya dapat menyebabkan punahnya salah satu nilai budaya di masyarakat Dayak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun