Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Maaf Bu Guru, Hari Ini Anak Kami Absen Dulu

15 Juli 2020   08:10 Diperbarui: 15 Juli 2020   10:28 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh klimkin dari Pixabay

Maaf ya bu Guru..anak kami Bunga absen dulu ya hari ini..karena bundanya harus WFO (working from office)..

Saya terinspirasi menuliskan artikel ini dengan adanya pesan dalam WA grup orangtua murid dan guru. Dalam hati saya terenyuh juga. Benar juga ya, Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar Dari Rumah (BDR) ini punya tantangan tersendiri. Terutama orangtua yang bekerja. Apalagi yang dua-duanya bekerja. Mungkin selama PSBB, tidak ada masalah, karena hampir semua pegawai bekerja cukup dari rumah (working from home). Masih dimungkinkan untuk mendampingi anak bersekolah online. 

Pembelajaran pada era new normal, ke(tidak)laziman baru

Namun setelah memasuki new normal ini. Entah menjadi rutin setiap hari bekerja di kantor atau ada rosternya beberapa hari dalam seminggu, tetap saja menyisakan masalah terkait sekolah online anak. Ketika orangtua sudah kembali bekerja di kantor. Ayah berangkat ke kantor. Ibu berangkat bekerja juga. Lalu anak seperti apa nasibnya? 

Belajar Dari Rumah akan terdampak. Misalnya, karena orangtua berangkat kerja di kantor, laptop yang digunakan menjadi media belajar pun turut dibawa. Jika laptopnya dibawa orangtua, tentu sama sekali tidak bisa. 

Anak-anak berbagi laptop untuk belajar bersama (pikiranrakyat)
Anak-anak berbagi laptop untuk belajar bersama (pikiranrakyat)

Atau misalkan laptop ada satu, namun anaknya tiga orang. Tentu akan rebutan laptop, atau ada yang mengalah jika memang tidak bisa bergantian. Karena mungkin kelasnya dimulai pada jam yang bersamaan.

Pada situasi ekonomi sulit saat ini, orangtua mungkin belum mampu untuk membelikan laptop masing-masing anaknya.

Lalu misalkan laptop ada, namun orangtua yang mendampingi tidak ada. Pembantu rumah tangga (ART) mungkin diberhentikan saat PSBB sebelumnya. Dan sekiranya adapun, belum tentu mampu mendampingi anak pada kelas online.

Untuk anak yang sudah mampu mandiri, mungkin tidak terlalu masalah. Namun biasanya fokus anak-anak akan sulit ketika tidak ada yang mendampingi.

Apalagi misalnya untuk anak yang masih pada taraf kelompok bermain, atau taman kanak-kanak, atau sekolah dasar, pasti masih membutuhkan pendampingan. Padahal, di sisi lain, orang tua harus bekerja, agar mendapatkan penghasilan. 

Tiga orang murid SD berusaha mencari sinyal dengan ponsel mereka di Gunung Kidul, Yogyakarta (voaindonesia)
Tiga orang murid SD berusaha mencari sinyal dengan ponsel mereka di Gunung Kidul, Yogyakarta (voaindonesia)

Masalah di atas terjadi pada kelompok menengah keatas, kalau kita lihat lebih jauh lagi. Bagaimana pula dengan keluarga miskin atau tidak mampu? Bahkan dari kemarin pun mereka sudah tidak bisa melakukan PJJ ini.

Ada juga yang mungkin sejak PSBB sudah tidak belajar lagi. Ya karena tidak ada fasilitas belajarnya, tidak punya laptopnya.

Pun mengandalkan handphone, belum tentu kuota yang dipunyai cukup, dan belajar dengan melihat layar handphone yang kecil juga tidak nyaman bagi anak. Tulisan akan tertampil kecil, tidak semudah membaca pada layar komputer atau laptop.

Apa solusi untuk mereka yang kondisinya seperti ini? 

Hasil survey KPAI, terjadi disparitas fasilitas dan kemampuan ekonomi.

Dalam hal aktivitas belajar disesuaikan dengan kondisi, nasib pelajar di daerah terpencil dengan fasilitas belajar yang minim bahkan tiada, berada di ujung tanduk. 

Menurut hasil survei KPAI, di Papua sendiri, 54% pelajar sama sekali tidak belajar sejak kebijakan belajar dari rumah diterapkan. Senada dengan pengakuan Anggi, faktor minimnya fasilitas menjadi penyebab utama.

“Tidak ada listrik, tidak memiliki handphone, jarak rumahnya jauh-jauh, gurunya tidak bisa kemudian melakukan proses ini semua. Guru kunjung tak ada. Papua tidak terjadi pembelajaran selama hampir 2 bulan,” kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti.

“Ini menjadi problem di mana ada anak-anak yang tidak terlayani secara hak atas pendidikan. Disparitas Jawa-luar Jawa pun nampak dengan sangat jelas,” tandasnya.

Disparitas Jawa-luar Jawa maupun kesenjangan antara si kaya dan si miskin diakui Retno merupakan masalah lama di bidang pendidikan yang seharusnya sudah bisa diantisipasi pemerintah ketika situasi darurat, seperti pandemi, terjadi.

Pengawasan Terhadap Guru/Pengajar?

Tidak hanya siswa yang mengalami kendala belajar. Pun banyak terjadi pada guru/pengajar yang belum siap atau malah tidak punya kemampuan untuk melaksanakan pembelajaran jarak jauh ini. Misalnya hanya sekedar meberi tugas melalui grup Whatsapp, tidak ada diskusi interaktif dengan siswa. 

Mungkin ada baiknya jika dilakukan pengawasan pelaksanaan proses belajar mengajar. Para pengawas sekolah 'sampling' ikut dalam kelas online. Pengawas sekolah ini kan guru-guru senior juga, pasti ada masukan-masukan yang bisa diberikan.

Apakah itu cara penyampaian dari para guru, yang mungkin bisa diperbaiki? Atau mungkin materi ajar nya sendiri yang tidak menarik?

Ini bisa jadi momentum terbaik untuk melihat kualitas para pendidik. Bagaimana kemampuan mereka beradaptasi dengan ke(tidak)laziman baru ini. Jangan-jangan guru-guru ini banyak juga yang tidak kompeten.

Lantas mau dibawa kemana PJJ ini? Adakah kualitas minimum yang disyaratkan? 

Bisa juga diadakan pelatihan bagi para guru, bagaimana cara mengajar online yang menarik untuk siswa. Bagaimana membuat bahan ajar yang tidak membosankan. Bagaimana melakukan diskusi interaktif agar siswa tetap tertarik dan fokus. Bagaimana memberi tugas yang menarik dan tidak terkesan menyusahkan siswa?

Perlu juga dilakukan evaluasi pelaksanaan PJJ ini dari segi biaya. Bagaimana keseimbangan biaya uang sekolah dan biaya operasional sekolah. Bagi sekolah negeri, mungkin tidak terlalu pusing, karena biayanya ada dari Pemerintah. 

Namun bagi sekolah swasta, ini situasi yang sungguh sulit mengatur keuangannya. Banyak yang kehilangan siswanya, karena orangtua tidak punya uang membayar uang sekolah. Padahal biaya operasional harus tetap dibayar. 

Perlu ada perhatian khusus bagi sekolah swasta. Entah suntikan dana dari APBD atau APBN. Toh ada dana tambahan dalam APBN Perubahan, untuk sektor pendidikan. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, punya dana yang cukup besar. Kemendikbud mendapat tambahan anggaran dua kali lipat. Anggaran semula Rp 36 triliun kini menjadi menjadi Rp 70,7 triliun. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Rp 980 miliar sehingga menjadi Rp 6,050 triliun.

Perlu ada upaya yang nyata untuk evaluasi dan perbaikan-perbaikan menyeluruh. Negara harus benar-benar hadir untuk menjamin hak pendidikan anak-anak Indonesia bisa terpenuhi seutuhnya sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945. 

Tautan referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun