Siapa yang tidak mengakui kejeniusan BJ Habibie dalam ilmu dirgantara. Beliau bahkan dijuluki Mr. Crack karena temuannya yang berhasil membuat pesawat terbang lebih kuat menghadapi tekanan tinggi. Berkat Habibie lah seluruh dunia bisa menggunakan pesawat dengan aman.
Pesawat R80 merupakan proyek yang dirintis oleh mantan Presiden BJ Habibie melalui bendera swasta PT Regio Aviasi Industri (RAI) sebagai penerus pengembangan pesawat N250 yang tertunda kala krisis 1998. Pada tahun 2017, R80 masuk dalam daftar proyek strategis nasional.
Pengembangan pesawat R80 dikerjakan oleh PT Regio Aviasi Industri, milik BJ Habibie dan putranya Ilham Habibie. R80 ini dirancang sebagai pesawat regional turboprop yang mampu mengangkut hingga 90 penumpang. Diproyeksikan untuk menjadi pengganti pesawat jenis ATR yang saat ini hanya mampu mengangkut maksimal 78 penumpang.Â
Jadi ini sangat cocok untuk menghubungkan penerbangan jarak pendek dengan jumlah maksimal antar pulau-pulau di Indonesia.
Pesawat R80 berfungsi sebagai pesawat pengumpan untuk pesawat berbadan besar, jadi sangat cocok untuk kondisi di Indonesia sebagai negara kepulauan maritim.Â
Proyek pesawat N245 secara terpisah dikembangkan oleh PT Dirgantara Indonesia. N245 juga sebetulnya menjadi terjemahan idealisme seorang Habibie, yang menginginkan kebutuhan Indonesia akan pesawat berbadan besar tidak tergantung pada negara lain.Â
Tidak tergantung pada pesawat bikinan Boeing atau Air Bush. Sebagai bentuk kemandirian dalam transportasi udara dalam jangka panjang. Namun tentu butuh pendanaan yang tidak sedikit. Investasi untuk pengembangan kedua proyek pesawat tersebut diperkirakan sebesar 180-200 juta dolar AS atau sekira Rp 2,6 triliun.
Melihat kondisi saat ini, aktivitas penerbangan lesu dua tahun belakangan, penumpang tidak sebanyak yang diharapkan perusahaan maskapai kebanyakan merugi bahkan tutup. Perjalanan dinas PNS yang dikurangi oleh Pemerintah juga mengurangi omset maskapai. Jumlah penumpang tidak setinggi pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan beberapa bulan ini sama sekali berhenti. Perusahaan penerbangan banyak yang merugi.
Artinya kebutuhan untuk pesawat belum mendesak untuk saat ini. Bahkan sekiranya pesawat itu pun jadi dibuat, memasarkannya dalam kondisi perekonomian global yang lesu, juga menjadi problem tersendiri nanti.Â