Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Refleksi #20TahunReformasi, Rindu daripada Soeharto

21 Mei 2018   12:55 Diperbarui: 21 Mei 2018   13:05 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tak terasa, hari ini 20 tahun yang lalu, Soeharto telah menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia.

Ya, 20 tahun silam, saya masih jadi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Surabaya. Menjadi saksi jatuhnya Soeharto adalah impian saya sejak bangku SMA. Kok sejak bangku SMA?

Saya sekolah di sebuah SMA Negeri di Maospati, Jawa Timur. Mungkin berbeda dengan anak SMA sebaya pada waktu itu. Setiap jam istirahat, sebagian kawan-kawan menghabiskan waktunya untuk makan di kantin. Tapi saya justru, hampir setiap jam istirahat, menghabiskannya di perpustakaan. Bukan karena saya suka baca buku, tapi karena saya memang tidak memiliki banyak uang untuk makan di kantin. 

Di perpustakaan, saya jarang membaca buku pelajaran. Saya lebih suka baca koran. Hampir setiap jam istirahat saya sempatkan membaca koran Jawa Pos, adalah koran yang terkenal di Jawa Timur saat itu, mungkin juga sekarang ya.

Berawal dari membaca koran tersebutlah ada berita yang terus saya ikuti waktu itu. Berita itu adalah kasus pembunuhan buruh pabrik di Sidoarjo. Buruh itu bernama Marsinah. Kebetulan waktu itu Koran Jawa Pos menurunkan berita tentang Marsinah, hampir setiap hari. Bukan hanya berita  tentang Marsinah, waktu itu saya juga mengikuti berita tentang pencopotan anggota DPR yang kritis terhadap pemerintah, Sri Bintang Pamungkas dan Bambang Warih. Dari kegemaran membaca koran itulah saya menyimpulkan ada yang salah dalam pemerintahan Soeharto.

Kesimpulan itu yang akhirnya membuat saya pernah dikeluarkan dari kelas pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila), karena saya mengajak teman-teman yang duduk di bangku belakang mengatakan bahwa Paket UU Politik saat itu bertentangan dengan UUD 1945. Untunglah orang tua kami tidak dipanggil ke sekolah karena kelakuan anak-anaknya.

Di setelah lulus SMA, saya mendapat panggilan di beberapa sekolah ikatan dinas. Namun, entah mengapa beberapa panggilan itu saya tolak dan abaikan. Padahal secara rasional, dari sisi ekonomi, saya seharusnya menerima pangilan untuk sekolah dengan ikatan dinas itu. Tapi saat itu bukan pertimbangan rasional yang ada di benak saya. Pertimbangannya saat itu adalah saya harus menjadi mahasiswa, saya akan menjadi saksi jatuhnya Soeharto. Sebuah pertimbangan yang sukar diterima akal sehat.

Waktu berlalu. Keinginan untuk menjadi saksi jatuhnya Soeharto, membuat saya aktif di gerakan mahasiswa, baik di eksternal maupun internal kampus. Masih segar di ingatan saya, saat itu, saya memfotocopy makalah-makalah diskusi tentang kritik terhadap Soeharto dan juga print out majalah Tempointeraktif,  untuk kemudian ditempel di majalah dinding kampus. Hingga sebuah panggilan dari seorang dosen wali datang. "Kamu jangan menyebarkan paham KIRI, di kampus ini," ujarnya, "Jika tidak berhenti menyebarkan paham KIRI, beasiswamu akan dicabut."

Saat itu yang menginginkan Soeharto turun seringkali mendapatkan stigma sebagai komunis, kiri dan sebagainya. Tujuannya, untuk menghentikan melanjutkan wacana anti-Soeharto menjadi sebuah gerakan. Selain itu, rupanya, sang dosen wali mengetahui benar kondisi ekonomi keluargaku. Sehingga mengancam untuk menghentikan beasiswa dari sebuah yayasan. Entah mengapa, pada saat itu ancaman itu justru menjadi bahan bakar bagi saya untuk bukan hanya sekedar menyebar selebaran anti-Soeharto tapi untuk melangkah lebih jauh, demonstrasi menentang Soeharto.

Bulan Mei, 20 tahun lalu, demonstrasi menentang Soeharto sudah tidak bisa dihentikan lagi dengan sekedar stigma komunis, kiri, sosialis. Bahkan demonstrasi mahasiswa juga tidak bisa dihentikan dengan senjata tentara. Namun, sayang binih perlawanan terhadap rejim Orde Baru yang tumbuh begitu cepat itu justru dibunuh saat Soeharto menyatakan berhenti pada 21 Mei 1998, tepat 20 tahun lalu. 

Setelah Soeharto menyatakan berhenti, gerakan perlawanan mulai mengalami perpecahan. Sebagian elemen gerakan menyatakan bahwa perlawanan sudah selesai. Soeharto sudah mundur. Cepat atau lambat rejim korup dan menindas Orde Baru akan diganti. Mahasiswa harus balik ke kampus. Sementara elemen mahasiswa lain mengatakan sebaliknya. Mungkin karena sudah capek berhari-hari demonstrasi, bahkan hingga meninggalkan skripsi, sebagian mahasiswa balik ke kampus. Perjuangan untuk melucuti rejim Orde Baru dilanjutkan oleh para politisi. Tapi justru inilah anti-klimaks dari gerakan perlawanan mahasiswa terhadap Soeharto saat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun