Mohon tunggu...
Firdaus Cahyadi
Firdaus Cahyadi Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis, Konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Firdaus Cahyadi, penikmat kopi dan buku. Seorang penulis opini di media massa, konsultan Knowledge Management, Analisis Wacana di Media, Menulis Cerita Perubahan dan Strategi Komunikasi. Untuk layanan pelatihan dan konsultasi silahkan kontak : firdaus(dot)cahyadi(at)gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Anak itu Bernama Aulia Nadira Putri

2 Januari 2017   07:32 Diperbarui: 2 Januari 2017   07:37 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bayi mungil usia 3,5 bulan itu bernama Aulia Nadira Putri. Keluarganya tinggal di  tinggal Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada 14 April 2011 silam, putri tercintanya yang masih bayi meninggal dunia.

Dua jam sebelum meninggal, seperti ditulis oleh portal berita okezone.com, napas bayi Aulia Nadira Putri tersengal-sengal. Bahkan, untuk bernapas saja, bayi usia 3,5 bulan itu sampai harus menggerakkan pundaknya. Pihak Rumah Sakit (RS) Siti Hajar, mengungkapkan bahwa bayi tersebut menderita sesak napas karena udara lingkungan yang tidak sehat.

Pihak rumah sakit juga telah mendiagnosa Aulia Nadira Putri menderita sesak napas akibat menghirup gas metan dari lumpur Lapindo. Rumah keluarga Khoirul Adib memang tak jauh dari pusat semburan lumpur Lapindo. Desa tempat keluarga itu tinggal hanya berjarak sekitar 500 meter dari pusat semburan lumpur Lapindo.

Aulia Nadira Putri adalah korban kekerasan anak di era industrial. Tubuhnya yang mungil harus menjadi korban dari sebuah kerusakan ekologi, yang ia sendiri belum paham kenapa itu terjadi. Anak-anak adalah pihak yang paling rentan menjadi korban dari kerusakan ekologi. Namun, jarang yang memperhatikan keberadaan anak-anak ini. Ketika ada kasus kerusakan ekologi maka yang sering muncul adalah ganti rugi yang tidak menghitung kerugian kesehatan yang menimpa anak-anak. 

Kasus lumpur Lapindo adalah salah satu contoh yang diperlihatkan secara nyaris telanjang bagaimana anak-anak begitu rentan terkena dampak dari kerusakan ekologi. Namun, di sisi lain ganti rugi tidak pernah memperhitungkan keberadaan mereka. Dalam kasus lumpur Lapindo, yang dihitung dalam ganti rugi, yang kemudian dibelokan menjadi jual beli, adalah tenggelamnya tanah dan rumah warga. Biaya rehabilitasi ekologi dan dampak kesehatan yang rentan mengenai anak-anak tidak pernah diperhitungkan sama sekali.

Kekerasan anak di era industrial, terutama dalam kasus kerusakan ekologi, ini harus mendapatkan perhatian kita semua. Anak-anak adalah masa depan sebuah bangsa. Jangan sampai mereka menjadi korban dari kerusakan ekologi. Sayangnya, jumlah korban anak-anak dalam kasus kerusakan ekologi ini jarang, bahkan mungkin tidak ada yang mendokumentasikannya.

Bagaimana mengakhiri kekerasan terhadap anak  akibat kerusakan ekologi di era industrial ini? Pertama, kita semua harus memastikan bahwa operasional industri ramah ekologi. Karena bagaimana pun juga ketika kerusakan ekologi terjadi maka anak-anak lah yang rentan menjadi korban. Kedua, ketika terjadi kerusakan ekologi, harus dipastikan kepentingan anak-anak diperhitungkan dalam proses ganti rugi.

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun