Pseudo life atau hidup palsu dan semu karena didorong "hiperrealitas"Â media sosial dan konsumerisme berdampak parah terhadap aspek psikologis dan sosial. Efek atau fenomena buruk yang terjadi mengakibatkan kecemasan dan depresi, karena secara terus menerus membandingkan kenyataan hidup dengan citra sempurna, bahagia dan kekayaan materi orang lain. Ini memicu rasa kekurangan, tidak cukup, rendah diri yang menyebabkan depresi.
Ketakutan kronis karena FOMO, cemburu melihat kesenangan orang lain dapat mendorong perilaku adiktif tergantung berat terhadap smartphone / dawai mengikuti trend di media sosial menimbulkan kegelisahan, kurang tidur dan tidak mampu menikmati momen tertentu.
Standar kecantikan, kekayaan dan kesuksesan yang tidak realistis menyebabkan terjadi penyimpangan citra diri (Body Self Shaming), membuat seseorang tidak puas terhadap penampilan diri sendiri dan pencapaian diri sendiri yang asli sehingga merusak rasa percaya diri.
Walaupun memiliki banyak teman di dunia maya ternyata mengalami paradok hidup, yaitu interaksi digital tidak dapat memperoleh kehangatan hubungan, dan semakin banyak interaksi online justru merasa semakin kesepian.
Secara sosial dan ekonomi pseudo life mendorong gaya hidup konsumtif berlebihan, membeli barang bukan karena dorongan kebutuhan fungsional tetapi karena nilai-nilai simbolis, atau karena barang tersebut sedang viral (Trend Semu). Tindakan ekstrem dan melanggar norma nalar ini terjadi hanya pamer atau demi isi konten media sosial.
Ironisnya, Pseudo life dapat menimbulkan "Identitas Semu" atau "Pseudo Identity",  manusia merasa anonim, tidak bertanggungjawab terhadap diri sendiri, sehingga perilaku mereka gampang terpicu kekerasaan daring (Cyberbulling), yaitu perilaku gampang menyebarkan ujaran kebencian, perundungan, dan komentar kasar.
Deepfake, hoax atau informasi palsu menimbulkan "Erosi Kebenaran" (Truth Erosion), tidak dapat membedakan fakta dan fiksi. Karena Algoritma AI telah menciftakan "Ruang Gema" (Echo Chamber) yang memperkuat pandangan semu, hanya percaya dan menyukai informasi yang sesuai dengan diri sendiri atau yang disukai. Sehingga seseorang semakin tertutup, menganggap pandangan yang berbeda sebagai ancaman dan bahkan dianggap sebagai musuh.
Semua fenomena diatas menyebabkan penurunan kemampuan nalar kritis karena ketergantungan kepada Algoritma, dan kemampuan mempertanyakan kebenaran informasi jadi tumpul.
UNTUK SEBUAH PEMBELAJARAN
Pseudo Life jelas disebabkan oleh kooptasi Algoritma AI dan hiperrealitas media sosial sehingga terjadi pengaburan batas asli dan tiruan, sehingga individu terjebak kehidupan yang didominasi oleh perbandingan  antara konsumsi simbolis dan validasi digital.
Fenomena ini akhirnya merusak kesehatan mental, peningkatan kecemasan, depresi dan penurunan harga diri.