Mohon tunggu...
Daud Farma
Daud Farma Mohon Tunggu... Penulis - Pribadi

Pemenang Pertama Anugerah Sastra VOI RRI 2019 Khusus Siaran Luar Negeri

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dari Panti Asuhan ke Dayah Perbatasan

26 Oktober 2020   05:58 Diperbarui: 26 Oktober 2020   05:59 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selepas Magrib itu, seorang ustadz yang agak gemuk yang tadi sore menunjukkan kamarku, beliau berdiri di depan seluruh santri putra dan memanggilku ke depan.

"Anak-anakku, kita kedatangan teman baru, pindahan dari Panti Asuhan Istiqamah di Pematang Siantar, Kec. Simalungun, Dusun Marimbun. Sebelum dia memperkenalkan nama dan asal usulnya, saya selaku ustadznya dan ustadz kalian semua, juga akan memperkenalkan nama saya terlebih dahulu kepadanya. Nama ustadz, Muhammad Nahwu Bin Faroid Bin Ahmad Al-Faruuq Bin Furqon Bin Al-Farq. Bagian pengasuhan. Nak, kemari mendekat dan perkenalkan namamu." kata beliau memakai bahasa indonesia dengan nada yang berwibawa. Tak seorang santri pun yang berani berbicara, mungkin jika ada jarum yang jatuh akan nyaring bunyinya. Aku hanya menunduk, teman-teman memerhatikanku yang sedikit bergetar. Aku juga terkejut mendengar penjelasan beliau tentang identitasku sebelumnya, pindahan dari Panti Asuhan. Mungkin ketika aku dan ibuku berada di dalam kamar tadi sore, beliau sudah berbincang panjang lebar dengan ayahku. Sebenarnya aku sudah tiga kali pindah SMP. Masih kelas satu SMP aku sudah asik pindah-pindah saja, Darul Amin adalah SMP ketigaku dan insya Allah SMP terakhirku. Nanti akan kuceritakan kenapa aku pindah-pindah. Jujur, aku pindah bukan karena kenakalanku, tapi karena terpaksa, nanti akan kubilang pada bab yang khusus.

Dengan kaki bergetar, dengan gulungan kain yang besar dipinggangku, dengan peci hitam yang menenggelamkan setengah kepalaku, dengan ikatan tali pinggang warna hitam yang kepanjangan melingkar di pinggangku dan dengan memejamkan mata, aku berbicara dengan nada yang sedikit keras.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh... Perkenalkan nama saya Muhammad Habib Bin Habibuddin Bin Mahbub Bin Ahmad Mahmuddin Bin Mahbubuddin dan saya berasal dari Desa Buah Duku ayah saya petani ibu saya jugalah petani abang saya sudah menikah dan abang yang pertama punya anak satu dan abang yang kedua punya anak dua dan abang ketiga punya anak tiga dan kakak perempuanku yang juga punya anak tiga dan adik-adik perempuanku yang masih sekolah dan adikku yang paling besar kelas enam SD namanya Bunga dan dibawahnya lagi kelas empat SD namanya Mawar dan di bawahnya lagi kelas satu SD namanya Melati sekian dan terima kasih banyak wassalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh." kataku tanpa henti, tidak memakai tanda koma apalagi titik, tidak membuka mata sebelum aku selesai bicara, padahal teman-teman sedang menjawab salamku tapi aku terus saja tancap gas seperti dulunya aku memperkenalkan namaku waktu aku masih di SD dan di Panti Asuhan. Teks perkenalan itu sudah dari jauh hari aku hafalkan, sejak aku masih duduk di kelas enam SD. Waktu itu setiap kali pengawas ujian Try Out dan Ujian Akhir Sekolah, guru pengawas selalu saja menyuruh kami berdiri untuk memperkenalkan diri, sehingga tak heran kalau teks identitasku itu kuhafal dengan baik, tanpa gagap sedikitpun!

 Kutatap wajah teman-teman, mereka menatapku tanpa berkedip. Suasana makin sengap, ustadz Nahwu menatapku dengan saksama tanpa berkedip dengan menajamkan pandangannya, lalu menyuruhku duduk. 

Keluar dari Masjid, aku diajak seorang yang tadi sore bertanya, "Naklun Ana aina?", yang tadi sore berkata padaku, "Itu lonceng menandakan waktunya mandi. Kau tak perlu takut, Kawan, ada Aku di kamar ini.", ia mengajakku ke Koperasi Pelajar Putra. Ternyata namanya adalah Mubtadak, panggilannya, Dak. Ia memperkenalkan namanya sambil bejalan di atas batako itu.

"Kenapa Kau pindah dari Panti Asuhan, Bib?" Mubtadak bertanya kepadaku sambil menuju Kopel DA singkatan dari Koperasi Pelajar Darul Amin.

"Aku pindah karena aku tak betah, Dak. Hari pertama aku ditinggalkan ibu Aku menangis, hari kedua aku menangis dan tertawa, hari ketiga aku menangis sambil tertawa di kamar mandi, hari keempat aku tertawa dan menangis sambil berlari mengelilingi lapangan di Panti Asuhan. Hari kelima aku menangis dan tawa ketika makan di dapur sehingga teman-teman iba dan takut karena nyaris gila. Enak sih, Dak, mewah. Tapi Aku saja yang tak sanggup berpisah dengan Ibuku"

"Wah, gawat juga Kau kawan. Di sini jangan sampai lah Kau menangis, karena kalau kau menangis di sini maka Kau akan terus menangis tanpa tertawa, kalau Kau tertawa maka Kau akan tertawa dan terus tertawa. Begitu, Bib." kata Mubtadak menjelaskan, kulihat mukanya yang bulat itu, badannya yang bengkak seakan dari tadi minta berhenti padahal jarak dari Masjid ke Kopel DA bksa dibilang hanya lima puluh meter saja.

"Assalamu'alaikum, Akhi. Akhii Hadzaa Sohibun Ana. Huwa yurid Buy Naklun, Buy Komusun, Buy Miftahun, Buy Kitabun wa Buy..." Mubtadak menghentikan bicaranya dan menatapku, memperhatikanku mulai dari kepala hingga kaki. Kemudian dia melanjutkan bicaranya.

"Wa Buy Ismun." kata Mubtadak kepada penjaga Kopel, Mubtadak memanggilnya dengan sebutan, "Akhii." Entah apa arti dan maksudnya, aku tidak tahu! Aku tidak mengerti apa yang ia ucapkan. Aku hanya bengong, membisu dengan sejuta kebodohan. Tidak paham sedikitpun! Seorang penjaga pergi ke rak-rak yang ada di dalam Koperasi itu, sementara penjaga yang satunya lagi menyuruhku menuliskan namaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun