Mohon tunggu...
Hendrikus Dasrimin
Hendrikus Dasrimin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Scribo ergo sum (aku menulis maka aku ada)

Kunjungi pula artikel saya di: (1) Kumpulan artikel ilmiah Google Scholar: https://scholar.google.com/citations?user=aEd4_5kAAAAJ&hl=id (2) ResearchGate: https://www.researchgate.net/profile/Henderikus-Dasrimin (3)Blog Pendidikan: https://pedagogi-andragogi-pendidikan.blogspot.com/ (4) The Columnist: https://thecolumnist.id/penulis/dasrimin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Orang Penting Itu Baik, Tetapi Menjadi Orang Baik, Itu Lebih Penting

28 Agustus 2022   11:33 Diperbarui: 29 Agustus 2022   05:00 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Dokumen Pribadi)

Salah satu kebajikan hidup yang hendaknya dimiliki oleh seseorang adalah kerendahan hati. Kerendahan hati atau "humility" berasal dari kata 'humus' (Latin), artinya tanah atau bumi (Cassel's, Latin and English Dictionary, p. 106). Dengan demikian kerendahan hati dapat diartikan sebagai sikap seseorang yang menempatkan diri 'membumi' ke tanah.

Faktor utama yang bisa membuat seseorang menjadi rendah hati adalah pengenalan akan dirinya dan pengenalan akan Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan, bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri. Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih.

Walaupun manusia diciptakan secitra dengan Allah, namun ia hanyalah hasil ciptaan dari Pencipta, yang tidak bisa mencipta. Maka ada sebuah kutipan menarik dari tulisan William Johnson:

"Allah merupakan adamu dan di dalam Dia kamu adalah kamu seperti apa adamu. Tidak hanya berkat kedudukan-Nya sebagai penyebab dan berkat adamu, menjadi adamu... Tetap ada perbedaan antara kamu dan Dia, sehingga Dia adalah adamu tetapi kamu bukan ada-Nya" (Naif, 2020).

Menurut St. Thomas Aquinas, dalam Summa Theologica, II-II, q. 163, a.1-2, "kesombongan adalah dosa manusia pertama". Walaupun Rasul Paulus mengatakan bahwa manusia pertama jatuh dalam dosa ketidaktaatan, "... oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa" (Rm 5:19). Namun demikian, akar dari ketidaktaatan adalah kesombongan. Ketika kesombongan menguasai seseorang, dia menginginkan apa yang sebenarnya tak dapat dicapainya (St. Thomas Aquinas, Summa Theologica, II-II, q.162, a.1). 

Kerendahan hati bertentangan dengan kesombongan yang merupakan dosa pertama dari manusia pertama. Kesombongan adalah sikap 'menolak' karunia Allah, seperti kita lihat pada kisah Adam dan Hawa (Kej 2:8-3:14), sedangkan kerendahan hati adalah sikap yang diperlukan untuk menerima karunia Allah. Hanya dalam kerendahan hati membuat seseorang dapat menyadari kelemahannya dan berserah diri sepenuhnya pada rahmat Tuhan.

Hati adalah pusat dari ada saya, ada kita. Bahasa ibraninya leb. Dalam bahasa mistik Ibrani, kata ini memilki arti "rumah tempat (manusia) belajar/diajar". Oleh karena itu, hati adalah pusat, tetapi pusat yang ada di dalam. Namun, dalam hidup bisa juga pusat kita itu digoda oleh apa yang menjadi "luaran", sehingga tidak lagi menjadi pusat. Hati yang terlalu tinggi, yang tidak mampu untuk ketimbal-balikan (reciprositas). Hati yang demikian ini membuat seorang pribadi akan "kehilangan tempatnya" dalam kebersamaan, karena memandang diri sendiri terlalu tinggi dan memandang rendah yang lain, sehingga dan tak jarang justru akan memecah komunitas. 

Tinggi hati menciptakan disintegrasi. Maka hati perlu turun! Perlu menjadi "rendah hati"! Rendah hati tidaklah melenyapkan martabat pribadi, justru sebaliknya mengembalikan martabat pada pribadi!

"Saya tahu bahwa Saya tidak tahu (Scio me nihil scire - I know that I know nothing)", demikian ungkap Socrates, sebagaimana dikutip Plato dalam Apology (Naif, 2020). Pernyataan ini bisa jadi sebagai cerminan dari sikap kerendahan hati yang juga merupakan kebijaksanaan dalam mencari pengetahuan. Bahwa sesungguhnya semakin banyak kita mengetahui sesuatu maka semakin sadarlah kita bahwa semakin banyak ketidaktahuan kita. Pengetahuan pada hakikatnya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Maka, apabila seseorang menganggap diri mengetahui segalanya atau berpuas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya (saya tahu bahwa saya tahu), sebenarnya merupakan bentuk bunuh diri kognitif (cognitive suicide).

Jalan menuju ke pengetahuan ialah rendah hati. Kerendahan hati mengajarkan pengetahuan, kesombongan mengajarkan kebodohan (Bevans, 2010).  Bagi St. Agustinus kerendahan hati adalah dasar dari semua kebajikan yang lain, sebab tanpa kerendahan hati, kita tidak dapat sungguh-sungguh memiliki kebajikan-kebajikan yang lain. Kerendahan hati dikatakan sebagai 'ibu' dari semua kebajikan, sebab dari kerendahan hati, akan melahirkan ketaatan, takut akan Tuhan, dan penghormatan kepada-Nya, kesabaran, kesederhanaan, kelemah-lembutan dan damai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun