Negeri yang masih dijajah hingga hari ini adalah Palestina. Meski di masa pemerintahan Palestina dipegang oleh Yasser Arafat, tetapi hingga hari ini, kemerdekaan bangsa Palestina itu tidak kunjung tiba.
Sangat tepat pula jika masalah Palestina dibicarakan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo ketika bertemu dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres baru-baru ini di Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Perhimpunan Asia Tenggara (ASEAN) di Bangkok, ibukota Thailand.
Perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina sudah melekat di hati bangsa Indonesia. Sejak di masa pemerintahan Presiden Soekarno, tepatnya di acara Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, di Bandung.
Pada waktu itu Yasser Arafat, ikut hadir. Ia satu-satunya negara peserta Konferensi Asia Afrika 1955 yang mendeklarasikan kemerdekaannya pada 1988, tetapi sesungguhnya masih dalam penjajahan Israel.
Solidaritas Asia-Afrika, dukungan 137 negara PBB, dan kekuatan negara-negara Islam (OKI), pada waktu itu ikut menumbuhkan semangat bangsa Palestina untuk merdeka.
Mengapa Yasser Arafat selalu berpakaian seragam militer dan aksesoris kepala keffiyeh, juga selalu memakai pistol kecil di pinggangnya? Hal itu tidak lain untuk berjaga-jaga, karena selain situasi di Timur Tenggah semakin hangat, sudah tentu demi menjaga dirinya dari hal-hal tidak diinginkan.
Bayangkan, Yasser Arafat sebagai pemimpin PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) selama 27 tahun diasingkan. Ia memulai perjalanan dari Gurun Sinai, Mesir melintasi perbatasan di Rafah menuju ke Jalur Gaza dan disambut suka cita oleh pendukungnya.
Sebelum berangkat, yang didampingi Presiden Mesir Husni Mubarak, Arafat berkata "Sekarang saya sudah bebas dan akan kembali ke tanah Palestina. Hati saya tergerak untuk terus berjuang.
Dari helikopter, Arafat berpindah transportasi menggunakan mobil Mercedes hitam yang anti-peluru untuk perjalanan menuju massa pendukungnya di Gaza. Perjalanan ini di tengah-tengah ancaman dari warga Israel yang meminta Arafat melintasi jalur lain.
Di Gaza, Arafah memberikan pidato politik dari balkon gedung yang sebelumnya ditempati petinggi militer Israel. Dia mengobarkan semangat untuk memperjuangkan hak Palestina terhadap Israel, termasuk hak Palestinaatas Kota Yerusalem. Sementara itu, di tempat lain, terjadi aksi demonstrasi menentang kehadiran Arafat di Yerusalem.
Arafat bebas dari pengasingan berdasarkan perjanjian "Oslo Peace Accords" yang disepakati di Washington. Atas kesepakatan tersebut, Otoritas Nasional Palestina mengendalikan area otonomi baru, Gaza dan Jericho. Pada 1996, Arafat terpilih sebagai presiden.
Pada 2000, Arafat dan Perdana Menteri Israel, Ehud Barak bertemu di Kamp David AS untuk menyepakati perjanjian damai final.
Akan tetapi, pertemuan tersebut tidak menemui kesepakatan. Imbasnya, pada September 2000, perjuangan intifadah dan pertempuran kedua meletus.
Arafat kembali terisolasi. Pada akhir hayat hidupnya, tokoh kontroversial Palestina ini diisolasi oleh Israel di Ramallah, Tepi Barat karena dianggap memprovokasi teror.
Sebelumnya pada 10 November 2004, delegasi Palestina diizinkan membesuk, tetapi hanya Perdana Menteri Ahmed Qureia yang masuk ruang Arafat. Qureia menangis. Menteri Luar Negeri Palestina Nabil Shaath mengumumkan kondisi Arafat yang masih hidup walaupun sakit parah.
Arafat yang dalam keadaan koma, waktu itu ditopang dengan alat bantu pernafasan dan suplai makanan. Peralatannya masih tetap ada di tempatnya, beliau juga dihubungi dengan peralatan monitoring. Yang jelas tidak ada gejala penyakit berbahaya atau kanker.
Keracunan, inilah gejala yang ditemukan di tubuh Yasser Arafat berusia 75 tahun itu. Ia selama tiga setengah tahun terakhir terkurung di sebuah kantor yang sangat sempit, yang punya sedikit sekali oksigen dengan kondisi dikepung tentara Israel. Tetapi ada yang berpendapat, ia diracun oleh Israel.
Pada waktu ini semua sumber berita bernada sama. Menggambarkan betapa sulitnya mendeklarasikan sebuah Negara Palestina Merdeka. Meski istilah seperti negara merdeka diterapkan Yasser Arafat secara "de facto".
Ia sebagai Presiden Palestina. Ada menteri-menteri dan bahkan ada Duta Besar Palestina di hampir semua negara, termasuk di Indonesia. Tetapi secara hukum internasional, belum lagi secara "de jure " hingga hari ini.
Saya masih ingat pernyataan Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmadja kepada wartawan di Kementerian Luar Negeri. Waktu Yasser Arafat bertemu Presiden Soeharto di Istana Negara, Menlu Mochtar Kusumaatmadja turut mendampingi.
Mochtar mengatakan untuk diresmikannya sebuah Kedutaan Besar Palestina di Jakarta, maka Yasser Arafat sedikit agak keras. Tangannya ada di sarung pistol kecilnya.
Meski ini informasi rahasia, tetapi menurut saya, perlu juga diungkap, agar bangsa Indonesia tahu, betapa seorang Yasser Arafat sangat keras dalam memperjuangkan masa depan bangsa Palestina agar bisa merdeka, baik secara "de facto," maupun "de jure."
Hal yang sama juga dikatakan Duta Besar Palestina di Jakarta waktu itu, Ribhi Y Awad ketika saya bertemu di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta.
Kegigihan Yasser Arafat dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina tidak diragukan. Ia minta doa agar bangsa Palestina suatu ketika bisa merdeka. Memang jika melihat perkembangan terakhir, harapan merdeka semakin jauh dari harapan. Tetapi jika Tuhan sudah berkehendak tidak mungkin ada yang mustahil.
Bangsa Palestina sudah lama menderita. Awalnya, penduduk bangsa Palestina, baik Muslim maupun Kristen memiliki tanah air yang sangat luas.
Namun setelah Perang Dunia II, lebih-lebih setelah bangsa Yahudi mendirikan sebuah negara di wilayah Palestina yang disebut negara Israel tahun 1948, maka bangsa Yahudi semakin leluasa membunuh warga Palestina di Jalur Gaza. Apalagi dengan kebijakan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Terlepas dari itu semua, kita sebagai bangsa Indonesia bangga terhadap Presiden Indonesia dari Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi), yang tetap memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina.
Berkali-kali Israel ingin menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia selalu dijawab belum saatnya. Itu bisa terjadi jika bangsa Palestina telah mencapai cita-citanya, merdeka secara "de facto," dan "de jure."