Jelang 74 tahun Indonesia merdeka, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 2019, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (RI) menyelenggarakan Seminar "Diplomasi dalam Mempertahankan Kemerdekaan".
Selain dihadiri keluarga besar Bung Hatta, seminar juga dihadiri para putra putri pahlawan nasional lainnya. Pembicara dalam seminar ini adalah Dra. Halida Nuriah Hatta, M.A. Ia adalah bungsu dari tiga putri Proklamator Kemerdekaan RI dan Wakil Presiden Indonesia pertama, Dr. Mohammad Hatta dan isterinya yang bernama Siti Rahmiati Hatta binti H. Abdul Rachim.
Halida Hatta, beberapa tahun sebelumnya bermukim di New York (1995-1997) dan Kolombia (1998-2000). Selain Halida Hatta, terdapat pula para pakar Ilmu Sejarah dan Ilmu Hukum serta mantan Menteri Luar Negeri RI (2001-2009) Dr. N. Hassan Wirajuda.
Ia mengalami menjadi Menteri Luar Negeri pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001-2004) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009).
Hadir juga sebagai pembicara yaitu Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D, spesialis Hukum Internasional. Pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 ini anak dari seorang duta besar.
Awalnya Hikmahanto mempunyai cita-cita ingin jadi diplomat seperti ayahnya yang menurut dia harus masuk Fakultas Ilmu Sosial Politik agar bisa masuk Kementerian Luar Negeri.
Sementara cita-cita lainnya sejak SMP, dia ingin menjadi dosen. Untuk mengompromikan kedua tersebut ia memilih Fakultas Hukum bidang hukum internasional.
Sudah tentu kita berpijak dari pertemuan antara Presiden Soekarno dengan Jenderal TNI Soedirman yang didahului dengan surat pribadi Kolonel Gatot Soebroto untuk meminta Jenderal Soedirman datang ke Yogyakarta.
Sebelumnya Presiden Soekarno juga telah mengirim utusan agar Jenderal Soedirman menjalani perawatan, karena penyakit paru-parunya telah kronis.
Tetapi ajakan Bung Karno ini ditolak Soedirman. Barulah surat pribadi Gatot Soebroto bisa menyentuh hatinya dan terjadilah pertemuan Presiden Soekarno dengan Jenderal Soedirman.
Pada waktu ini Jenderal Soedirman mengajak Bung Karno ikut bergerilya di hutan. Tetapi Soekarno mengatakan, ia dan Hatta harus tetap di Yogyakarta, karena sudah menjadi keputusan kabinet.
Akhirnya Bung Karno-Hatta ditangkap Belanda. Tetapi ini pulalah awal kunci diplomasi perjuangan bangsa Indonesia yang bisa diketahui dunia internasional.
Seandainya saja Bung Karno ikut bergerilya sesuai saran Jenderal TNI Soedirman, maka di samping diperlukan pengawalan yang sangat banyak, juga yang perlu dicatat, belum tentu Belanda mau diajak berunding.
Pernyataan Halida Nuruah Hatta dalam seminar itu menurut dia, bersumber dari data otentik, yaitu langsung dari ayahnya, Bung Hatta. Diakuinya, bahwa dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia banyak sekali tantangan. Ini merupakan tantangan atas pertahanan wilayah dan eksistensi negara. Pada sisi lain, ada masalah politik yang pelik di dalam negeri.
"Bila dikaji secara mendalam, ada peran besar Bung Hatta mengenai diplomasi. Sejak mahasiswa, ia sengaja membangun konektivitas internasional untuk memperkenalkan organisasi Perhimpunan Indonesia," tegas Halida Hatta.
Sejarah mencatat, bahwa Soekarno-Hatta di awal kemerdekaan saling membutuhkan. Singkatnya kedua tokoh ini memang ditakdirkan menjadi pasangan yang serasi dalam memimpin Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesetiaan dan hubungan mereka juga tidak diragukan lagi. Sebagai contoh, ketika pada tanggal 17 Agustus 1945 pagi, para pemuda mendesak agar Bung Karno membacakan Proklamasi, Bung Karno menolak membacakannya sebelum Bung Hatta datang.
Saya mengamati, hubungan Bung Karno dan Hatta sedikit terganggu ketika Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden No X (baca huruf eks, bukan huruf Romawi no 10).
Bung Karno setelah mengetahui hal itu, pikirannya sedikit terganggu dan ia menenangkan diri ke Pelabuhan Ratu. Menurut saya, inilah awal yang kalau saya boleh katakan, "tidak harmonis," dalam memimpin negara ini.
Hingga hari ini, tidak seorangpun tahu, mengapa Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden RI. Ia mengundurkan diri pada 1 Desember 1956, setelah diselenggarakannya Pemilihan Umum pertama kali di Indonesia tahun 1955.