Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menginsafi Diri Menuju Cita-cita, Inspirasi dari Mohammad Hatta

8 November 2017   16:44 Diperbarui: 8 November 2017   17:18 1033
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Hatta [www.zenius.net]

Semangat kebangsaan di Indonesia hari-hari ini terlihat semakin mengarah pada kemunduran. Dirinya sebagai negara-bangsa yang beragam[1]-yang dengan fondasi itulah ia justru dibentuk-, kini kembali dipersoal-besarkan. Pembicaraan di media massa kita, baik cetak maupun daring, nyaris tak pernah luput dari isu-isu golongan dan sektarian dan dikesankan sebagai suatu persoalan besar yang sedang mengancam. 

Tak berhenti sampai di situ, persoalan tersebut kemudian semakin diramaikan di media sosial-yang ironisnya- pembicaran mengenai hal itu justru banyak bersumber dari para pemimpin, tokoh agama, intelektual, seleb sosmed, dan pejabat politik kita. Baik dari kalangan pemerintah sendiri maupun dari pihak oposisi.

Dalam hal ini, semuanya mendaku sebagai penjaga dan pecinta Indonesia, namun di saat yang sama -sebenarnya- justru semakin memperlebar jurang perpecahan terhadap Indonesia itu sendiri. Keberagaman kita hari ini tak lebih hanya menjadi komoditas yang diperdagangkan kepada rakyatnya sendiri; tak ubahnya bola panas dan liar yang dioper ke sana-kemari. Oleh para elite politik yang menghamba pada kekuasaan.

Sebagai akibatnya, hari-hari kita terus-menerus memanas oleh perdebatan-perdebatan yang tidak hanya kontraproduktif, tapi juga semakin menggerogoti keutuhan bangsa. Kita semakin menjauh dari cita-cita kemerdekaan sebagaimana termuat dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945; yakni menjadi negara-bangsa yang bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Lupa (Sejarah) Indonesia

Kalaulah segenap elemen penting bangsa tersebut sudi menengok sejenak saja pada sejarah bagaimana negara ini dibentuk, maka hal semacam itu seharusnya tidak terjadi (lagi). Karena perdebatan dan pembicaraan atas isu-isu golongan dan sektarian sebenarnya sudah selesai sejak 89 tahun lalu, tepatnya sejak para pemuda bangsa ini mengikrarkan sumpah untuk hidup sebagai satu bangsa dalam satu tanah air dan satu bahasa, bernama Indonesia. 

Pada hari itu, 28 Oktober 1928, pergerakan pemuda yang bersifat kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Bataks Bond, Pemoeda Kaum Betawi, Jong Islamieten Bond,  Jong Ambon,dan Jong Celebes, meleburkan diri menjadi Pemuda Indonesia. Peristiwa itu kemudian setiap tahun kita peringati sebagai hari Sumpah Pemuda, yang juga baru saja kita peringati beberapa hari lalu.

Langkah besar dalam mewujudkan kesatuan identitas sekepulauan Indonesia itu menggunakan wacana modernitas revolusioner. Dalam analisis Elson[2], saat itu bahkan mereka telah memikirkan satu bangsa yang bukan diikat sentimen primordial, kesinambungan geografis, ataupun keterkaitan agama. Melainkan proklamasi sederhana rasa kesetiakawanan bangsa yang membebaskan dan diserukan secara horizontal. Hal ini menarik untuk kita cermati karena terbukti mampu menjadi energi perjuangan kemerdekaan bangsa kita dari penjajahan Belanda. Mengapa rasa kesetiakawanan itu diserukan secara horizontal?  

Kita bisa melihatnya dari perspektif rakyat. Jika memang perbedaan "dipercaya" dapat menjadi pemicu konflik sosial-horizontal, maka yang pertama-tama menjadi korban adalah rakyat. Dengan demikian, kita patut curiga jangan-jangan rakyat Indonesia saat ini sebenarnya sudah selesai dengan isu-isu golongan dan sektarian. Adapun jika kemudian mereka terlibat dalam isu sektarian, mereka tak lebih sebagai massa yang sedang dimobilisasi atau diperalat untuk kepentingan sekelompok elite.

Itulah alasan mengapa kita harus mendorong semua pihak, terutama para elite politik, untuk kembali pada isu keindonesiaan, yakni membangun Indonesia yang adil dan makmur, daripada hanya bermain-main dengan isu sektarian dan golongan. 

Kita hari ini seharusnya lebih banyak berbicara tentang Indonesia secara utuh. Kita hari ini seharusnya lebih banyak berbicara soal hubungan antara negara dengan warga negaranya dalam kerangka perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kita hari ini seharusnya lebih banyak berbicara soal bagaimana mengurangi disparitas ekonomi yang semakin melebar di antara warga negara yang satu dengan warga negara lainnya. Karena biar bagaimanapun, inilah yang selama ini menjadi akar permasalahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun