Mohon tunggu...
A Darto Iwan S
A Darto Iwan S Mohon Tunggu... Menulis bukan karena tahu banyak, tapi ingin tahu lebih banyak.

Menulis bukanlah soal siapa paling tahu, melainkan siapa paling ingin tahu. Ia bukan panggung untuk memamerkan pengetahuan, tapi jalan setapak yang mengantar kita pada hal-hal yang belum kita mengerti. Menulis tak selalu berawal dari kepercayaan diri yang utuh.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Smart Classroom Masa Depan Pembelajaran

30 Juli 2025   09:36 Diperbarui: 30 Juli 2025   11:44 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang kelas pernah menjadi simbol keheningan yang penuh makna,  deretan bangku, papan tulis kapur, dan suara guru yang memandu pelajaran hari itu. Namun, seiring waktu bergulir, dinding kelas tak lagi cukup menampung semesta pengetahuan yang terus berkembang, begitu besar dunia pengetahuan. Smart Classroom hadir bukan hanya sebagai perpanjangan teknologi, tetapi sebagai transformasi cara kita memaknai proses belajar itu sendiri.

Jika dulu pendidikan ibarat peta kertas yang menunjukkan arah secara sederhana, kini Smart Classroom menjelma menjadi sistem navigasi seperti GPS, lebih adaptif, real-time, dan mampu menyesuaikan jalur sesuai dengan kebutuhan setiap individu. Anak-anak tumbuh dikelilingi oleh layar sentuh, video interaktif, dan akses informasi tak berbatas. Maka ruang belajar pun dituntut untuk tidak hanya mengakomodasi, tapi mengilhami.

Konsep Smart Classroom tak berhenti pada deretan alat canggih. Ia merupakan ekosistem belajar yang menyatukan papan tulis interaktif, sistem audio-visual, perangkat pribadi seperti tablet, serta platform digital yang dikenal dengan istilah Learning Management System (LMS). LMS sendiri adalah ruang maya tempat guru dan siswa berinteraksi, berbagi materi, mengerjakan tugas, bahkan berdiskusi. Di sini, pembelajaran tidak lagi berpusat pada guru semata, melainkan pada dinamika kolaborasi yang terjadi dalam dan luar kelas.

Manfaatnya tak sedikit. Siswa kini dapat belajar secara mandiri, mengakses materi dari berbagai penjuru dunia, dan mengeksplorasi informasi dengan cara yang lebih menyenangkan. Simulasi, animasi, dan video tak hanya memperkaya pengalaman belajar, tetapi juga memperluas pemahaman secara visual dan emosional. Menurut MarketsandMarkets (www.marketsandmarkets.com/Market-Reports/educational-technology-ed-tech-market-1066.html), pasar global EdTech dan Smart Classroom diperkirakan akan tumbuh dari USD 125,3 miliar pada 2022 menjadi USD 232,9 miliar pada 2027, dengan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 13,2%. Angka ini mencerminkan betapa besar kepercayaan dunia terhadap teknologi pendidikan sebagai masa depan pembelajaran.

Namun seperti kendaraan pintar yang tetap membutuhkan jalan yang baik dan pengemudi yang terlatih, Smart Classroom juga menghadapi tantangan. Tidak semua sekolah memiliki akses internet yang stabil. Belum semua guru memiliki kepercayaan diri menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Dan masih ada kesenjangan digital yang membuat anak-anak di daerah terpencil tertinggal dari rekan-rekannya di kota.

Di panggung dunia, Korea Selatan telah menerapkan program SMART Education sejak lebih dari satu dekade lalu, menggunakan kecerdasan buatan untuk menganalisis gaya belajar dan menyesuaikan materi sesuai kebutuhan siswa. Di sisi lain, Finlandia mengintegrasikan teknologi sederhana dalam kelas berbasis proyek, menumbuhkan kreativitas dan kolaborasi sebagai nilai utama. Sementara India membuka kelas virtual bagi siswa di daerah rural, membuktikan bahwa teknologi bisa menjembatani akses pendidikan.

Indonesia pun mulai melangkah. Beberapa sekolah di Jawa Barat telah mengadopsi pendekatan berbasis Internet of Things untuk pendidikan vokasional yang langsung terhubung dengan industri. Di Sumatera Utara, sebuah sekolah negeri yang semula tertinggal berhasil meningkatkan keterlibatan siswa berkat penggunaan Android TV dan pelatihan guru berbasis digital. Menurut laporan Liputan6 (www.liputan6.com/news/read/6035399/kemendikdasmen-akan-terapkan-smart-classroom-di-315000-satuan-pendidikan), Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menargetkan penerapan Smart Classroom di 315.000 satuan pendidikan secara bertahap, termasuk 33.182 sekolah di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Pemerintah juga berencana membagikan 15.000 papan tulis interaktif dan perangkat pendukung lainnya untuk memperkuat digitalisasi pembelajaran.

Yang menarik, sejak tahun ajaran 2025/2026, Indonesia mulai menerapkan   Kurikulum Deep Learning   sebagai pendekatan nasional dalam pembelajaran. Pendekatan ini menekankan tiga elemen utama,    kesadaran (mindful)  ,   kebermaknaan (meaningful)  , dan   keberlanjutan (durable)  . Tujuannya bukan hanya agar siswa memahami materi, tetapi agar mereka mampu mengaitkan pengetahuan dengan konteks nyata, berpikir kritis, dan berkolaborasi secara aktif.

Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kemendikbud, Laksmi Dewi, pendekatan ini akan mengubah cara guru mengajar,  dari sekadar menyampaikan informasi menjadi fasilitator pengalaman belajar yang autentik. Guru didorong untuk menciptakan lingkungan belajar yang menggabungkan ruang fisik dan virtual, serta membangun kemitraan dengan orang tua dan komunitas. Dalam praktiknya, siswa diajak untuk membuat proyek, menyusun podcast, atau membandingkan karya sastra, bukan sekadar menghafal definisi.

Pendekatan ini juga telah diterapkan dalam pelatihan guru seperti program   Indonesia Digital Learning   yang digelar oleh Telkom Indonesia. Di Cirebon, misalnya, 100 guru dari berbagai kabupaten mengikuti pelatihan bertema "Guru Jabar Jago Digital" yang menggabungkan teknologi dan kecerdasan buatan dalam pembelajaran kreatif. Program ini menjadi bukti nyata kolaborasi antara dunia pendidikan, pemerintah daerah, dan industri dalam mendorong pembelajaran yang inovatif dan inklusif.

Dalam konteks yang lebih luas, Smart Classroom berperan penting dalam membangun literasi digital, yakni kemampuan memahami dan memanfaatkan teknologi secara bijak. Literasi digital bukan hanya soal kecakapan teknis, tapi juga tentang sikap kritis dalam memilah informasi, kemampuan berkomunikasi secara etis, dan kesadaran akan jejak digital yang kita tinggalkan. Dan semua itu tak dapat tumbuh dalam ruang yang statis. Smart Classroom menawarkan ruang dinamis untuk menumbuhkan kualitas tersebut.

Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, adalah senjata paling kuat untuk mengubah dunia. Sementara Ki Hajar Dewantara mengingatkan kita bahwa anak-anak tumbuh sesuai kodratnya sendiri, dan tugas pendidik hanyalah menuntun mereka. Teknologi, jika digunakan dengan bijak dan hati-hati, bisa menjadi alat penuntun yang memperluas cakrawala kodrat itu, bukan menggantikan kehadiran guru.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah kita membutuhkan teknologi dalam kelas. Pertanyaannya adalah,  apakah kita siap menjadikan ruang kelas sebagai pengalaman, bukan sekadar tempat? Smart Classroom bukan jawaban akhir, melainkan awal dari cara baru untuk mendekati esensi pendidikan, yang senantiasa berkembang bersama zaman, namun tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan yang tak lekang.

Di tengah transformasi ruang kelas menjadi Smart Classroom, satu hal tetap tak tergantikan,  kehadiran guru sebagai penentu arah dan makna pembelajaran. Teknologi bisa menyajikan data, simulasi, bahkan kecerdasan buatan. Namun, hanya guru yang mampu membaca ekspresi bingung di wajah siswa, menyisipkan humor di tengah kebekuan, dan menyalakan semangat belajar lewat cerita yang menyentuh.

Menariknya, studi dari Bright Classroom Ideas menunjukkan bahwa guru yang mengintegrasikan teknologi dengan strategi manajemen kelas yang cerdas, seperti pembelajaran berbasis proyek, gamifikasi, dan pendekatan metakognitif, mengalami peningkatan keterlibatan siswa hingga 40%. Ini bukan soal mengganti metode lama, melainkan menyulamnya dengan pendekatan baru yang lebih relevan.

Dalam konteks Kurikulum Deep Learning Indonesia, guru tidak lagi sekadar menyampaikan materi, tetapi menjadi fasilitator yang membangun kemitraan belajar. Mereka menciptakan lingkungan yang mindful, meaningful, dan durable, di mana siswa tidak hanya belajar, tetapi juga merasa dimengerti dan diberdayakan.

Maka, Smart Classroom bukan hanya tentang teknologi. Ia adalah panggung baru bagi guru untuk merancang pengalaman belajar yang lebih dalam, lebih manusiawi, dan lebih berdampak. Dan mungkin, di era ini, guru bukan lagi sekadar pengajar, melainkan desainer masa depan. BETUL, tidak salah ketik, DESAINER MASA DEPAN. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun