Mohon tunggu...
A Darto Iwan S
A Darto Iwan S Mohon Tunggu... Menulis bukan karena tahu banyak, tapi ingin tahu lebih banyak.

Menulis bukanlah soal siapa paling tahu, melainkan siapa paling ingin tahu. Ia bukan panggung untuk memamerkan pengetahuan, tapi jalan setapak yang mengantar kita pada hal-hal yang belum kita mengerti. Menulis tak selalu berawal dari kepercayaan diri yang utuh.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Viral dan Valid, Medsos atau Koran?

22 Juli 2025   08:24 Diperbarui: 22 Juli 2025   08:24 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh : Darto + AI

Siapa yang masih rutin membaca koran pagi hari? Atau membuka situs web pemerintah untuk mencari informasi terpercaya sebelum membuat keputusan? Di tengah derasnya arus digital dan maraknya konten viral, banyak dari kita justru lebih percaya pada unggahan singkat di Facebook, Instagram, TikTok, dan X. Seakan satu video dengan backsound emosional lebih meyakinkan dibanding laporan jurnalistik yang ditulis dengan cermat dan diverifikasi.

Kepercayaan publik hari ini tidak lagi dibangun lewat kredensial atau jejak panjang institusi. Melainkan oleh algoritma dan narasi yang terasa "dekat." Kita cenderung mempercayai video yang muncul di beranda karena disajikan oleh akun yang kita ikuti. Kita menganggap informasi dari selebgram atau akun meme sebagai fakta, hanya karena itu muncul berulang dan mendapat ratusan komentar yang setuju.

Padahal, secara data, media sosial merupakan sumber informasi paling tidak dipercaya secara global. Studi dari Edelman Trust Barometer mengungkap bahwa hanya sekitar sepertiga masyarakat yang benar-benar percaya pada konten berita di media sosial. Di sisi lain, media massa konvensional, meski dianggap ketinggalan zaman oleh sebagian orang, menyediakan transparansi: ada nama penulis, ada editor, ada mekanisme koreksi, dan ada tanggung jawab hukum. Bukan sekadar unggahan anonim yang bisa hilang kapan saja (Digital News Report 2024, Reuters Institute).

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan reflektif. Mengapa kita justru meragukan media yang jelas identitas dan niat editorialnya, tapi menerima begitu saja informasi dari akun tak dikenal yang bahkan bisa dibuat dalam lima menit? Apakah kredibilitas telah digantikan oleh kecepatan? Ataukah kita lebih menyukai konten yang terasa "personal," meski belum tentu akurat?

Kita hidup di zaman ketika seorang vlogger dengan kamera ponsel dapat lebih dipercaya daripada reporter berpengalaman dengan lisensi jurnalistik. Narasi "dari rakyat biasa" dianggap lebih jujur, meski tak jarang penuh misinformasi. Dan sementara koran harus melewati serangkaian pengecekan sebelum terbit, sebuah video TikTok bisa langsung viral dalam satu jam, dan menjadi rujukan opini publik keesokan harinya.

Tentu, tidak semua konten media sosial itu berbahaya. Banyak juga yang edukatif, inspiratif, bahkan membuka ruang baru bagi suara-suara marginal. Tapi tantangannya terletak pada literasi digital. Ketika kita terbiasa mempercayai yang dekat dan cepat, kita rentan mengabaikan yang akurat dan bertanggung jawab.

Beberapa kasus belakangan ini memperlihatkan betapa besar dampak informasi yang keliru. Mulai dari prank yang berujung pada tekanan psikologis, hingga video deepfake yang memicu ketegangan sosial. Di satu sisi, kita dikejutkan oleh viralitas yang tak terduga. Di sisi lain, kita lupa bertanya: siapa yang membuat konten ini? Apa niatnya? Benarkah datanya?

Media massa konvensional, dengan segala kekurangannya, memiliki standar yang bisa dipertanggungjawabkan. Ketika sebuah koran nasional memuat berita, kita bisa mencari siapa penulisnya, melihat sumbernya, bahkan mengirim tanggapan jika ada kekeliruan. Tapi di media sosial, siapa yang akan menjawab jika ternyata berita itu hoaks? Siapa yang bertanggung jawab atas kesimpangsiuran yang merusak reputasi atau bahkan memicu konflik?

Dan jika kita bicara tentang Indonesia hari ini, data menunjukkan bahwa media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital masyarakat. Per Januari 2025, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 191,4 juta orang, setara dengan 68,9% dari total populasi nasional. Rata-rata waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk berselancar di media sosial adalah 3 jam 17 menit per hari. Platform yang paling banyak digunakan adalah Instagram (173,59 juta pengguna), Facebook (166,42 juta), TikTok (129,17 juta), dan X/Twitter (119,34 juta).

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Mereka mencerminkan pola konsumsi informasi yang berubah drastis. Ketika mayoritas penduduk Indonesia mengakses berita melalui media sosial, maka tanggung jawab untuk memilah dan memahami informasi menjadi semakin penting. Apalagi, menurut laporan GoodStats, 60% masyarakat Indonesia mengaku mendapatkan berita dari media sosial, sementara hanya 43% yang masih mengakses berita dari media televisi seperti TVOne, dan 50% dari media online seperti Detik.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun