Sejak kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia selalu mengibarkan kebanggaannya dalam menerima orang-orang dari latar belakang dan identitas yang beragam, tidak terbatas pada ras dan suku saja, tetapi juga keyakinan agama dan variabel lain yang membentuk diri seseorang. Di setiap sekolah di Indonesia, anak-anak diajarkan untuk saling menghormati, menerima perbedaan satu sama lain, dan hidup dalam harmoni. Anak-anak di Indonesia telah diajarkan sejak mereka bisa membaca dan menulis tentang sikap negara dalam menerima perbedaan, dan yang paling terkenal, semboyan mereka—Bhinneka Tunggal Ika—yang semakin mencerminkan visi para pendiri bangsa dalam membentuk negara dengan latar belakang beragam yang tetap bersatu.
Namun, bersama dengan semboyan ini juga muncul suatu kemunafikan, bahwa Indonesia sebenarnya tidak benar-benar menerima semua perbedaan dan variabel yang membentuk seorang manusia, dan justru sering mendiskriminasi orang-orang yang memiliki karakteristik yang mungkin tidak diterima oleh masyarakat setempat atau dianggap di luar norma. Indonesia, meskipun membanggakan diri atas penerimaan terhadap perbedaan, sering menutup mata terhadap tindakan diskriminatif dan kejahatan yang dilakukan terhadap kelompok minoritas yang telah lama ditekan oleh kelompok mayoritas.
Diskriminasi terhadap kelompok di luar norma sosial—seperti komunitas LGBTQ+, penganut kepercayaan lokal atau agama minoritas di luar keenam agama legal, penyandang disabilitas, dan orang-orang dengan ekspresi identitas non-konvensional—masih menjadi kenyataan yang amat pahit dalam kehidupan sehari-hari di negara Indonesia. Meskipun negara telah meratifikasi berbagai perjanjian hak asasi manusia internasional dan memiliki konstitusi yang menjamin kebebasan beragama serta kesetaraan di depan hukum, praktik di lapangan seringkali berbeda jauh dari idealisme tersebut.
Menurut United Nations (PBB), “Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada semua manusia, tanpa memandang kebangsaan, tempat tinggal, jenis kelamin, asal kebangsaan atau etnis, warna kulit, agama, bahasa, atau status lainnya.” PBB juga menekankan bahwa hak-hak ini “bersifat universal dan tidak dapat dicabut,” serta bahwa semua orang “berhak atas hak-hak ini secara setara, tanpa diskriminasi.”
Namun, jika kita melihat kenyataan di Indonesia, ideal universal ini terasa jauh dari jangkauan. Contoh kasus intoleransi yang terus berulang terhadap rumah ibadah kelompok minoritas, atau bagaimana komunitas LGBTQ+ terus mengalami kekerasan verbal, pengusiran, bahkan kriminalisasi hanya karena keberadaan mereka dianggap “tidak sesuai budaya Timur.” Saat media dan pemerintah cenderung diam atau malah mengamini narasi mayoritas, rasa aman dan pengakuan terhadap kelompok-kelompok ini menjadi semakin kabur.
Hal ini menunjukkan bahwa gagasan “kesetaraan” dan “tidak diskriminatif” sebagaimana didefinisikan oleh PBB belum sepenuhnya diinternalisasikan dalam kebijakan ataupun kesadaran sosial masyarakat di Indonesia. Norma sosial lokal—sering kali dibingkai oleh konservatisme agama, dan tekanan mayoritas—masih menjadi filter utama dalam menentukan siapa yang berhak dihargai sebagai manusia seutuhnya.
Kita juga harus mempertanyakan bagaimana norma sosial itu sendiri terbentuk dan oleh siapa. Apakah norma-norma ini benar-benar mewakili seluruh masyarakat Indonesia yang pluralistik, atau hanya suara mayoritas yang selama ini mendominasi ruang publik dan politik? Dalam banyak kasus, orang-orang yang berada di pinggiran norma tidak diberikan ruang untuk menyuarakan pengalamannya, apalagi ikut membentuk narasi kebangsaan.
Hal ini menunjukkan bahwa semboyan Bhinneka Tunggal Ika belum sepenuhnya menjadi kenyataan yang dirasakan semua warga negara. Kita terlalu sering menafsirkan “perbedaan” hanya sebatas perbedaan yang nyaman—yang tidak mengganggu tatanan sosial yang sudah ada. Padahal, makna sejati dari keberagaman seharusnya mencakup juga hal-hal yang kadan menantang; yang mendorong kita untuk membuka dialog dan mendekonstruksi rasa kenyamanan kita.
Jadi, jika kita sungguh ingin menjadi bangsa yang menghargai keberagaman, penting untuk merefleksikan ulang makna kesatuan. Apakah kesatuan berarti penyeragaman? Ataukah justru kemampuan untuk hidup berdampingan dengan perbedaan-perbedaan kompleks, meskipun tidak selalu kita pahami atau setujui?
Jadi, apa arti sebenarnya dari memiliki sebuah negara yang berbeda tetapi tetap satu? Apakah kita—masyarakat Indonesia—hanya sekelompok orang hipokrit yang berlindung di balik semboyan, atau kita benar-benar akan menjunjung tinggi hak asasi kemanusiaan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI