X: "Pah, 3 bulan ke depan kita musti bayar kontrakan lagi. Uangnya kan belum ada."
Y: "Insya Allah nanti ada."
Uang sewa rumah 25 juta rupiah setahun bukan jumlah yang sedikit bagi kami saat itu, saat ini pun. Berharap uang bonus resmi dari instansi tapi belum tahu kapan dapatnya, kemungkinan masih 4 bulan lagi.
Z: "Pah, buka les aja. Nova kalo diajari Papah cepet paham loh. Enak juga ngajarinnya, sabar pelan-pelan."
Anak sulung kami, seorang gadis kelas 1 SMP di sekolah swasta yang bukan favorit di kota itu nyeletuk memberi ide. Buka les?
Tanpa pengalaman mengajar, kami pun nekat coba buka les. Sasaran kami adalah siswa siswi SMP tempat gadis kami sekolah. Dengan modal 300 ribu rupiah membuat brosur, kami nekat langsung menyebarkan brosur di SMP itu.
Dengan beberapa pertimbangan, tarif yang kami patok hanya 10 ribu rupiah sekali pertemuan per siswa siswi. Tibalah jadwal les pertama kami. Alhamdulillah, puji syukur hanya kepada Allah SWT, jumlah siswa yang datang pertama kali adalah dua, iya dua bukan dua puluh. Dua kali 10 ribu? Gak perlu kalkulator kan untuk menghitungnya. Jumlah terbanyak siswa les yang datang adalah 10 orang. Ternyata mereka akan datang saat dapat PR dari sekolahnya untuk kami bahas di les. Oalah.
Dua bulan sudah kami buka les. Apakah sampai 25 juta yang kami dapatkan? Tentunya tidak, 1 juta pun tidak terkumpul.
X: "Pah, 1 bulan lagi loh."
Y: "Iya Mah, Papah tahu koq," saya tanggapi dengan agak panik.
Tanpa pernah mendaftar sebelumnya, tiba-tiba ada panggilan diklat Training of Trainer (TOT) di ibukota Kalimantan Timur. Berangkat dari kota di atas Balikpapan selama 7 jam perjalanan darat, saya diklat 1 minggu di ibukota Kalimantan Timur. Dengan bangga saya umumkan ke siswa siswa les yang jumlahnya jari tangan pun masih lebih untuk menghitungnya bahwa saya tidak memberi les selama 1 minggu.