Politik bukan sekadar panggung retorika dan janji manis. Politik adalah wajah nyata dari sebuah bangsa yang berjuang untuk mencapai keadilan, kesejahteraan, dan keharmonisan bersama. Di Indonesia, Pancasila bukan hanya dasar negara, tapi juga etika politik yang harus menjadi panduan dan landasan moral dalam menjalankan kekuasaan. Namun, pertanyaannya: apakah etika politik Pancasila sudah benar-benar dijalankan secara kongkrit di wilayah kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif? Ataukah semua itu masih sebatas janji indah yang jauh dari realita?
Mari kita telusuri bersama-sama, di tengah pusaran harapan dan kekecewaan, bagaimana etika politik Pancasila diterjemahkan dan dihadirkan dalam tiga cabang kekuasaan di negeri ini.
1. Pancasila sebagai Etika Politik: Janji yang Menjadi Landasan
Sebelum kita masuk ke analisis di tiap cabang kekuasaan, penting untuk mengingat kembali apa itu etika politik Pancasila. Pancasila, sebagai falsafah dan ideologi bangsa, mengandung lima sila yang menuntun semua tindakan politik agar berlandaskan:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Etika politik Pancasila berarti politik yang dilakukan bukan demi kepentingan pribadi atau golongan, melainkan untuk mewujudkan keadilan sosial, menjaga persatuan, dan mengedepankan kemanusiaan serta nilai-nilai moral luhur. Dalam praktiknya, ini berarti pemimpin dan wakil rakyat harus jujur, transparan, berintegritas, tidak korup, dan selalu mengedepankan kepentingan rakyat luas.
2. Kekuasaan Eksekutif: Janji Pelayanan atau Godaan Kekuasaan?
Kekuasaan eksekutif, yang dipegang oleh Presiden dan para menteri, seharusnya menjadi simbol pengabdian tulus kepada rakyat. Mereka memiliki tugas utama menjalankan roda pemerintahan dan mewujudkan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat.
Janji Pelayanan
Secara normatif, etika politik Pancasila menghendaki agar eksekutif bekerja dengan jiwa pelayanan, bukan kekuasaan. Dalam sila Ketuhanan dan Kemanusiaan, pemimpin harus bertindak dengan rasa keadilan dan belas kasih. Dalam praktik yang ideal, kita ingin melihat pemimpin yang mendengar suara rakyat kecil, yang bukan hanya sibuk mengejar popularitas dan kekuasaan.
Realita yang Terkadang Menyedihkan
Namun, realita seringkali berseberangan dengan harapan. Berbagai kasus korupsi di tingkat eksekutif, penyelewengan anggaran, hingga kebijakan yang tidak pro-rakyat kecil, menunjukkan ada celah besar antara janji dan kenyataan. Ada kalanya kekuasaan membuat pemimpin lupa diri dan melupakan etika Pancasila.