Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Lebih Jauh tentang Pinjaman Pendidikan di Indonesia

3 April 2018   08:48 Diperbarui: 3 April 2018   09:06 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada pertengahan Maret lalu, Jokowi di Istana Negara berbicara mengenai program kerjanya yang belum, sudah dan akan rampung. Ia mengatakan, setelah proyek-proyek infrastruktur yang menjadi highlight pembangunan ala Jokowi rampung, dirinya akan berfokus pada investasi pada Sumber Daya Manusia (SDM). Artinya, pemerintah akan lebih memfasilitasi masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan intelektualnya untuk kemudian dapat bertahan hidup secara sosial, ekonomi maupun politik.

Mengenai investasi pada SDM, Jokowi memulai dengan ide kredit pendidikan atau yang akrab dikenal dengan student loans. Program atau kebijakan pendidikan tersebut, secara sederhana merupakan skema peminjaman uang kepada mahasiswa atau pelajar untuk keperluan menempuh pendidikan dan dilunasi setelah lulus kuliah atau telah berpenghasilan. Untuk itu ia memberikan pekerjaan rumah alias PR kepada seluruh pimpinan Bank Umum di Indonesia untuk menyediakan produk kredit pendidikan atau student loans.

Sejauh ini tercatat sejumlah bank yang pernah mencoba menyediakan produk kredit pendidikan atau student loansseperti Bank Mandiri, BNI, dan BII (Maybank). Namun sejumlah bank tersebut nyatanya tidak dapat bertahan dengan produknya karena berbagai masalah, salah satu masalah terbesar adalah kredit macet serta kerugian material yang tidak bisa ditanggulangi. Terlebih dalam sistem kerja bank, masa pinjam, jaminan dan bunga adalah tiga komponen yang sangat tergantung satu sama lain, dan tidak memperhatikan aspek sosial-karena keuntungan material adalah roda bagi bank itu sendiri. Wajar kiranya ketika "PR" Jokowi kemudian direspon kurang antusias oleh bank.

Urgensi Pinjaman Pendidikan Tinggi

Seksi Pendidikan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui risetnya mengidentifikasi pendidikan sebagai jalan meningkatkan penghasilan individu, mengeluarkan keluarga dari kemiskinan, memelihara kesehatan jasmani dan mental, mendekatkan pada kesetaraan gender, mempromosikan perdamaian dan demokrasi hingga meningkatkan kondisi agrikultural suatu wilayah. Untuk itu PBB melalui sekian banyak program-programnya menyuarakan betul pentingnya pendidikan untuk diakses semua kalangan.

Mayoritas keluarga di Asia menurut salah satu riset sebetulnya telah memiliki penghargaan tinggi terhadap nilai pendidikan seturut dengan nilai-nilai keagamaan yang masih banyak dianut, menjunjung tinggi akal sehat sebagai landasan berkehidupan. Keluarga Indonesia misalnya, menurut data yang dikeluarkan USAID tahun 2012, suka-tidak-suka menghabiskan kurang-lebih $2.300 per tahunnya untuk memenuhi biaya perkuliahan serta tunjangan seorang mahasiswa. Namun, mereka yang dapat menempuh pendidikan tinggi jumlahnya tidak lebih dari 5% total populasi nasional.

Menurut data yang sama dengan yang di atas, beasiswa yang ada baik swasta maupun pemerintah untuk pendidikan tinggi di Indonesia baru bisa meng-cover sekitar 25% biaya pendidikan mahasiswa nasional. Keterbatasan beasiswa ini pula yang kemudian membuat calon mahasiswa serta walinya perlu berpikir panjang untuk mengadu nasib di perguruan tinggi. Terlebih, biaya pendidikan hingga saat ini terus mengalami kenaikan.

Undang-undang No. 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi sebetulnya telah menekankan sejumlah hal, bahwasannya pemerintah pusat dan daerah, serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa kurang mampu secara ekonomi. Pemenuhan hak tersebut dalam praktiknya dapat dilakukan dengan memberi beasiswa, pinjaman dana hingga membebaskan biaya pendidikan. Namun ketiga hak tersebut hingga saat ini belum bisa diakomodasi dengan baik oleh pemerintah, utamanya pinjaman dana. 

Pinjaman Pendidikan: Masalah atau Berkah?

Sejumlah negara baik di benua Eropa dan Asia menjadikan pinjaman pendidikan sebagai salah satu solusi meningkatkan partisipasi masyarakat pada pendidikan. Namun pada praktiknya, pinjaman dana yang kebanyakan dikelola pemerintah bersama bank, menemui kendala saat sampai pada tahap pengembalian. Bank sesuai anjuran pemerintah diminta untuk tidak terlalu "keras" terhadap peminjam, namun hal ini justru berimbas kerugian pada bank tersebut.

Amerika yang menjadi kiblat Jokowi dengan ide pinjaman pendidikannya, justru seringkali menjadi contoh buruk pelaksanaan pinjaman pendidikan. Biaya pendidikan yang terus meroket membuat mahasiswa harus berutang banyak pada bank. Hutang tersebut rata-rata baru dapat dilunasi hingga usia mereka menyentuh 40-an. Inilah yang kemudian menjadi menimbulkan kritik global, bahwa pinjaman pendidikan justru menyengsarakan mahasiswa hingga mereka tua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun