Derasnya arus isu penyimpangan paham keagamaan, secara bijak Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sambas memilih jalur berbeda: merangkul, bukan memukul. Langkah ini diwujudkan dalam gelaran Focus Group Discussion (FGD) bertajuk "Meneguhkan Persatuan dan Toleransi: Upaya Sinergi dalam Menanggulangi Intoleransi di Kabupaten Sambas", bertempat di Aula Kantor Bupati Sambas, Rabu, 06 Agustus 2025.
Berawal keprihatinan akan perjalanan Tarekat Al-Mukmin-sebuah kelompok yang dulunya tampak seperti pengajian biasa, namun tiga tahun terakhir dinilai menyimpang, keluar rel akidah Islam. Menariknya, aliran ini berakar dari kawasan pesisir utara Kalimantan Barat.
Tiga narasumber lintas sektor, yakni Akademisi, Kementerian Agama, dan Kesbangpol berbagi pengetahuan, kemudian menyampaikan paparan, guna mengambil kebijakan bersama-mencari titik temu intra-agama.
Akademisi senior Dr. H. Arnadi, M.Pd., mengungkapkan bahwa jauh sebelum Al-Mukmin berdiri, sudah eksis perguruan Al-Hikmah pada era 90-an yang fokus pada ilmu pernapasan dan tenaga dalam. Perselisihan internal di tubuh Al-Hikmah akhirnya memunculkan kelompok baru: Tarekat Al-Mukmin.
"Sejak awal, literasi keagamaan bukan fokus utama mereka. Lebih kepada praktik pernapasan dan tenaga dalam," jelasnya.
Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Sambas, Dr. Mursidin, S.Ag., M.Pd., membawa narasi sejuk. Menurutnya, bagaimanapun latar belakang dan kesalahan mempraktekkan ajaran agama, penyintas Al-Mukmin tidak selayaknya diperlakukan sebagai musuh.
"Kita kedepankan prasangka baik. Mereka tentu punya niat mendekatkan diri kepada Allah. Maka tugas kita adalah merangkul, bukan mengucilkan," tegasnya.
Mursidin menekankan kembali akan pentingnya memberi ruang bagi para penyintas untuk kembali berbaur di masyarakat, tanpa stigma. Ia mendukung keputusan MUI Kalbar yang telah mengeluarkan fatwa sesat terhadap ajaran Al-Mukmin, disamping tetap mengimbau agar pendekatan dilakukan dengan kasih sayang.
MUI Kalbar sendiri menguraikan empat poin penyimpangan doktrin Al-Mukmin, sebagaimana tercantum dalam karya pendirinya, MES, antara lain mengklaim wahyu setara firman Allah, menggugat keabsahan hadis Bukhari-Muslim, hingga mendaku sebagai Imam Mahdi. Temuan ini menjadi dasar keluarnya edaran resmi.
Jika ditelaah ulang berbagai pandangan diatas, Penulis-mewakili penyintas kelompok ekstrim yang telah dibubarkan pemerintah mengapresiasi langkah sejumlah pihak dalam menanggulangi ataupun merespon fatwa dari Majelis Ulama Indonesia Provinsi Kalimantan Barat, alangkah disayangkan pembahasan penting tersebut belum menyentuh variabel pokok, yaitu persoalan ekonomi. Kendati difatwa tersesat sekalipun, para pengikut kelompok hakikatnya sudah solid, terlanjur fanatik, sebab puluhan tahun bersama bahkan hidup layaknya keluarga.
Pemerintah sebatas merespon fenomena yang telah terjadi, terkesan abai menganalisis perkara ini lebih mendalam, baik itu Kementerian Agama, Cendekiawan, termasuk pihak Kesbangpol. Pasca blokade akses, tak kalah penting adalah bagaimana menanggulangi hajat hidup para eks-yang perlahan mulai tersadarkan.