Mohon tunggu...
Danu Supriyati
Danu Supriyati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Penulis menempuh pendidikan jurusan Fisika, pernah menerbitkan buku solo Pesona Fisika, Gus Ghufron, dan beberapa antologi baik puisi maupun cerpen. Semoga tulisannya dapat bermanfaat bagi pembaca. Jejak tulisannya dapat dibaca di https://linktr.ee/danusupriyati07

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dekap Tuhan di Hati Kita untuk Menghindari KDRT

10 Februari 2023   17:18 Diperbarui: 10 Februari 2023   17:28 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat menimpa siapa saja. Kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikis maupun segala bentuk penelantaran dapat menjadi bencana dalam rumah tangga.

Mengapa sampai terjadi KDRT?

KDRT dapat terjadi ketika amarah menguasai jiwa dan hati. Dalam kondisi emosi, akal seseorang menjadi labil sehingga akan gelap mata, gelap hati dan tidak mampu berpikir jernih. Akibatnya akan terjadi tindak kekerasan pada pasangan maupun pada buah hatinya.

Beda prinsip, ketidakcocokan visi dan misi, kondisi perekonomian yang labil, adanya orang ketiga sebagai kekasih gelap (PIL atau WIL) adalah contoh masalah yang dapat mengakibatkan terjadinya KDRT. 

Penyelesaian masalah berlarut-larut yang pada awalnya hanya saling diam, saling sinis lalu berubah adu mulut, saling tunjuk dan menyalahkan lama-lama akan berakumulasi menjadi amarah yang fatal. Kekerasan verbal mengarah pada kekerasan fisik. Kondisi ini tentu menjadi pressure pada masing-masing individu dalam rumah tangga. 

Pasangan yang tidak harmonis saling melukai dan dampaknya merembet pada sang buah hati. Tidak bisa dipungkiri lagi, anak-anak kerap menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya. 


Mental anak ditimpa kata-kata kasar, umpatan, makian. Situasi dan kondisi seperti ini sangat tidak sehat untuk tumbuh kembang anak. Anak-anak korban KDRT ini cenderung akan menjadi pribadi terlampau introver tetapi dengan kenakalan-kenakalan khas broken home. 

Berkarakter keras, susah diatur, memberontak atau selalu melawan orang-orang di sekitarnya. Luka yang ditorehkan oleh kedua orang tuanya akan selalu terpahat dalam ingatan seumur hidup.

Bagaimana langkah selanjutnya jika terlanjur mengalami KDRT? Apakah harus berakhir dengan perceraian?

Perspektif masyarakat awam tentang kebahagiaan sebuah keluarga cenderung tertumpu pada perekonomian. Kemapanan dari segi ekonomi sering disalahartikan dengan kondisi tulang punggung yang bekerja lalu mampu memberi uang lebih dari cukup kepada keluarganya. Itulah yang disebut bahagia. Dan kelabilan ekonomi pun akan menjadi kambing hitam ketika harus terjadi KDRT.

Amat disayangkan jika kenangan sakral saat kedua pasangan berikrar sehidup semati harus terhapus dengan adanya KDRT. 

Alangkah baiknya pasangan yang terlanjur mengalami KDRT duduk bersama dengan kepala dingin, saling introspeksi diri dan saling memahami. Tidak ada kata terlambat untuk saling memaafkan lalu kembali membangun biduk dari awal. Kalau sudah ada sang buah hati, tatap wajah polos mereka, betapa menderitanya mereka karena emosi sesaat orang tuanya yang berakhir dengan drama adu mulut bahkan kekerasan fisik. 

Lebih bijak lagi jika dalam penyelesaian masalah tanpa melibatkan pihak lain dulu untuk menghindari intervensi. Atau beri waktu pada masing-masing hati agar tidak mengambil keputusan ketika marah. Apabila masih ada ruang untuk saling mengasihi, merangkul kembali pasangannya maka solusinya tidak harus dengan perceraian. Toh, banyak juga pasangan penyintas KDRT yang berhasil langgeng karena dapat menyelesaikan masalah dengan kepala dan hati yang dingin.

Namun tidak bisa disalahkan juga ketika beberapa pasangan memilih perceraian sebagai solusi akhir. Kondisi yang sudah porak poranda, hilangnya kepercayaan antar pasangan, cinta kasih yang telah hambar tidak akan bisa dikembalikan seperti sediakala sehingga perpisahan merupakan jalan keluar yang paling baik bagi mereka.

Ketok palu pengadilan sebagai tanda status baru (duda atau janda) bukan akhir dari drama KDRT. Terlebih bagi mereka yang telah dikaruniai buah hati karena menjadi single parent itu juga tidak mudah. 

Di samping harus membangun kembali puing-puing hatinya yang retak, sang single parent ini masih harus mendampingi anak yang bisa saja down akibat perceraian orang tuanya. Belum lagi berbagai stigma yang cenderung negatif dari masyarakat sekitar yang mengharuskan tebal hati dan tebal telinga.

Apapun yang menjadi keputusan final dari pasangan tentu dengan harapan masa depan lebih baik. Maka hargai segala pilihan mereka tanpa tendensi ikut campur dalam bentuk apapun.

Apakah yang harus dilakukan agar KDRT tidak terjadi dalam sebuah hubungan suami istri?

Faktor ekonomi sering menjadi kambing hitam terbesar ketika terjadi pertengkaran. Uang memang segalanya setelah pasangan memutuskan untuk berumah tangga. Terlebih jika sudah memiliki buah hati. Automatis kebutuhan akan meningkat drastis dan ujungnya memang kembali pada uang lagi.

Setiap rumah tangga akan menemui ujiannya masing-masing. Adanya masalah merupakan titik tolak pendewasaan suami istri agar dapat lebih memupuk cinta kasihnya demi kelanggengan rumah tangga.

Mengisi kekosongan rohani dengan kegiatan yang positif meski kondisi rumah tangga sedang tidak baik-baik saja. Lebih baik menghindari perselisihan dengan diam terlebih dahulu. Setelah suasana hati bisa diajak kompromi, ajak pasangan untuk berbicara dari hati dengan hati. Bangun energi positif "jangan ada kekerasan" agar jiwa kita ikut tersugesti. 

Introspeksi paling dalam saat dilakukan berdua dalam suasana syahdu tentu akan memberi dampak yang lebih baik. Tidak perlu ada drama macam-macam jika kedua belah pihak saling memahami, menerima kekurangan dan kelebihan dari pasangannya dan saling memaafkan.

Kunci utama membangun rumah tangga adalah pondasi yang kuat bernama keimanan. Dekap selalu Tuhan di hati kita niscaya segala tindakan akan terkendali. Setiap pasangan memerlukan space untuk manajemen emosi agar tidak menjadi bola-bola api yang setiap saat bisa meledak. Pengendalian diri sangat diperlukan ketika sudah berani untuk berumah tangga. 

Kebahagiaan tidak hanya terletak pada kepuasan duniawi semata. Tidak hanya berpedoman pada tersedianya uang yang berlebih. Kemapanan finansial tidak menjamin kebahagiaan pasangan jika jiwa-jiwa mereka hampa. Rohani yang haus pengetahuan agama sehingga kadar keimanan mudah down dan Jauh dari Tuhan akan memberi peluang emosi berubah menjadi tindakan KDRT.

Say no to KDRT!

Pernikahan adalah wadah pendewasaan suami istri. Perbedaan paham dan pendapat ibarat kerikil kecil yang dapat disingkirkan dengan lembut tanpa harus menendang, melempar ataupun menendang. Tetap berpegang teguh pada ikrar yang telah diucapkan berdua agar rumah tangga langgeng dan diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terima kasih.

Kebumen, 9 Februari 2023

#bulankasihsayang

#saynotokdrt

#kpb

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun