Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menjalani Hidup sebagai Medioker, Apakah Salah?

11 Maret 2023   10:36 Diperbarui: 11 Maret 2023   18:55 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjadi medioker di tengah-tengah tekanan menjadi luar biasa adalah pilihan efektif. | Foto: Shutterstock via KOMPAS.COM

Rendi, salah satu teman saya bercerita soal kehidupan temannya yang disebut sukses. Tentu "ukuran sukses" tersebut berdasarkan standar atau ukuran masyarakat. 

Ketika Rendi membuka media sosial, ia melihat temannya mengabadikan setiap momen hidupnya. Media sosial tak ubahnya galeri foto yang menyimpan setiap kenangan. 

Dalam satu bulan, pasti ada satu momen yang diabadikan. Jadi, untuk satu tahun kalender akan dibuat satu kaleidoskop terkait pencapaian hidup. 

Entah itu akademik, tempat wisata, karier, asmara, hingga cicilan KPR di usia muda. Sementara Rendi dengan usia yang sama belum mencapai satu pencapaian apa pun seperti yang dialami temannya. 

Itu sebabnya ia merasa gagal. Lalu, kami bersepakat jika menjadi medioker atau biasa saja jauh lebih bahagia jika dibanding harus hidup mengikuti standar kehidupan masyarakat. 


Menjalani hidup biasa saja tanpa tuntutan adalah solusi untuk menghilangkan overthinking. Mengapa demikian? 

Tekanan

Siapa saja bisa mengalami kondisi di atas. Bagaimana pun, kita hidup pada zaman di mana hidup luar biasa (extraordinary) sangat diagungkan. 

Ukuran luar biasa bagi setiap orang jelas berbdea. Tapi, pada umumnya masyarakat secara umum memiliki standar sendiri. Misalnya akademik yang bagus, karier gemilang, hingga pasangan ideal. 

Masyarakat, kelompok terdekat seperti teman atau keluarga juga menjadi faktor yang mendorong agar mencapai hidup luar biasa. Selain itu, perkembangan teknologi dan informasi juga berpengaruh. 

Misalnya dalam lingkungan keluarga. Jika seseorang sudah memasuki usia matang, maka jangan heran tuntutan untuk menikah dan memiliki keturunan begitu deras. 

Hal itu karena dalam tatanan masyarakat yang abstrak, dalam usia tertentu kita harus menggapai tahap hidup tertentu. Itulah yang terjadi saat ini. Urusan pribadi seseorang seakan menjadi urusan komunal. 

Yang pada akhirnya hal itu menjadi budaya tersendiri. Hidup hanya untuk memenuhi tuntutan orang terdekat atau bahkan masyarakat memang melelahkan. 

Seperti yang telah diulas di atas, adanya media sosial dan kemajuan teknologi membuat seseorang lebih sering membandingkan dirinya dengan orang lain. Termasuk dalam pencapaian hidup. 

Kehadiran internet dan ratusan saluran TV jelas luar biasa. Di mana arus informasi itu bisa kita dapat dengan mudah. Mulai dari kondisi yang menyenangkan hingga termiskinkan. 

Media menyajikan segala hal dari ekstrim terbaik dan terburuk karena itulah yang paling menarik perhatian dan laku dijual. Padahal, mayoritas kehidupan justru terjadi di antara dua ekstrim itu.

Arus informasi yang deras itulah membuat kita berpikir bahwa hidup dengan menjadi luar biasa adalah hal normal. Jika kita tidak mencapai hal yang luar biasa, maka kita merasa menjadi orang biasa-biasa saja alias medioker. 

Tak jarang orang justru terjebak dalam rasa cemas hingga insecure. Itulah salah satu dampak negatif dari media sosial dan perkembangan informasi yang masif. 

Tidak bisa dipungkiri, saat ini informasi dengan mudah kita dapat. Tapi, dampak negatifnya adalah kita bisa terjebak FOMO atau bahkan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. 

Lalu apa yang terjadi? Jika kita tidak mencapai tarap hidup seperti orang lain, kita merasa gagal atau tidak berguna. Pada akhirnya hanya meningkatkan stress. 

Saat ini, berhenti sejenak bermain media sosial dan menyaksikan bias gemerlap kehidupan orang lain adalah obat ampuh bagi kesehatan mental. 

Faktor lain yang membuat mengapa saat ini menjadi luar biasa begitu diagungkan adalah meritokrasi dan hustle culture. Meritokrasi dinilai sebagai satu paham yang adil. Hal itu karena paham ini memberikan kesempatan memimpin berdasarkan kemampuan atau kecakapan individu. Bukan karena kuasa. 

Dalam masyarakat saat ini, jika ada seseorang yang lahir miskin, maka itu bukan takdir. Tapi, akan dipandang sebagai kegagalan, atau pecundang. 

Saya jadi teringat dengan video seorang perempuan terkait beasiswa LPDP. Dalam video itu, si perempuan menyebut jangan menyalahkan pemerintah tapi berusaha mengejarnya.

Dalam video itu juga disebutkan jika kita terlahir miskin ya jangan mengeluh. Tapi berusaha, kerja keras hingga akhirnya bisa menembus beasiswa LPDP. 

Memang pernyataan tersebut tidak salah tapi tidak fair. Dalam budaya hustle culture, kerja keras adalah segalanya. Orang yang gagal akan dianggap sebagai pemalas.

Padahal ada faktor lain mengapa seseorang terlahir miskin. Misalnya kebijakan yang tidak merata atau akses pendidikan yang kurang. Artinya ada masalah struktural di situ. 

Memang benar ada beberapa orang yang lahir miskin tapi bisa mendapat beasiswa LPDP. Tapi, itu pengecualian. Buktinya beasiswa ini didominasi oleh orang-orang dengan pendidikan yang baik dan ekonomi yang baik pula. 

Jelas, mereka akan lebih mudah mengakses pendidikan yang berkualitas. Tapi, bagaimana dengan si miskin? Jelas berbeda. Kerja keras si miskin dengan si kaya beda. 

Harus diakui, setiap orang punya privilese masing-masing. Untuk itu, jika ada seseorang yang bisa mencapai kehidupan luar biasa, bisa jadi ia memiliki privilese yang mendukung. 

Jadi, mereka melangkah 10 kali lebih jauh dibanding dengan mereka yang tak memiliki privilese. Start hidup setiap orang berbeda. 

Medioker itu istimewa

Seperti yang sudah diulas, dalam budaya meritokrasi dan hustle culture, kita tidak bisa menyalahkan keadaan jika terlahir miskin atau hidup biasa-biasa saja. 

Hal itu karena dalam padangan dua paham di atas, kondisi itu lahir karena kita yang malas. Tapi, kita juga harus sadar bahwa mengetahui kapasitas diri sendiri juga penting. 

Menerima kondisi kita bukan berarti hidup tidak memiliki visi atau tidak bermakna. Hal itu jauh lebih bahagia jika kita harus mengejar standar hidup luar biasa sebagaimana pada umumnya. 

Hidup biasa saja bukan berarti tidak bermakna. Biasa itu istimewa. Lalu bagaimana caranya? Jelas kita harus memaknai ulang apa itu luar biasa. 

Yang bisa memaknai itu adalah diri sendiri tentu dengan memerhatikan kapasitas. Jadi, sebaiknya kita membandingkan dengan diri sendiri. Cara ini jauh lebih bahagia jika ukuran hidup orang lain adalah acuannya. 

Hiduplah untuk diri sendiri bukan untuk memenuhi standar kehidupan masyarakat. Membandingkan dengan diri sendiri jauh lebih bahagia. Ingat, setiap orang memiliki privilese masing-masing. 

Jadi, marilah kita maknai ulang apa itu hidup luar biasa. Menjadi medioker tidak ada salahnya selama kita bahagia dengan standar kebahagiaan versi diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun