Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Politik Dinasti dalam Negara Demokrasi

15 Oktober 2020   23:01 Diperbarui: 15 Oktober 2020   23:07 620
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : www.dicto.id

Di Indonesia sendiri kita bisa menjumpai praktik ini, Presiden pertama kita yaitu Ir. Soekarno menjadi presiden pertama dan jejaknya diikuti oleh putrinya yaitu Megawati Soekarno Putri, kemudian putri dari Megawati pun mengikuti jejak sang ibu dang kakek yaitu Puan Maharani yang kini menjadi Ketua DPR RI, dan bukan tidak mungkin akan menjadi presiden juga siapa yang tahu.

Menjelang pilkada serentak, politik dinasti menjadi sorotan, yang paling dituju adalah putra dari Presiden Joko Widodo yang maju dalam Pemilihan Wali Kota dan tentunya sang menantu Boby Nasution yang hendak meramaikan pesta demokrasi ini.

Di daerah penulis sendiri yaitu Kabupaten Bandung, terjadi hal demikian, Sejak Obar Sobarna terpilih menjadi bupati dua periode, jabatan tersebut tidak jatuh ke keluarga lain.

Selain keluarga Obar Sobarna yang kemudian dilanjutkan oleh menantunya yaitu Dadang Naser yang terpilih dua perioede, kemudian pada pilkada saat ini istri dari Dadang Naser yaitu Kurnia Agustina maju sebagai salah satu kontestan. Tentunya ini semakin memperkental praktik politik dinasti di Indonesia.

Padahal jika kita melihat contoh dinasti politik di atas, wajar jika terjadi hal demikian mengingat bentuk negara di atas adalah kerajaan, tetapi untuk negara yang menganut sistem demokrasi itu tidak sejalan dan tentunya kontradiksi. Memang sejatinya suara dikembalikan kepada rakyat sendiri.

Akan tetapi perlu diingat, dari beberapa contoh kasus di atas, ada satu peran yang penting yaitu kekuasaan. Presiden Jokowi dinilai memiliki hal demikian, padahal sebelumnya PDIP tidak merekomendasikan Gibran sebagai calon Wali Kota Solo. Publik wajar mempertanyakan akan keterlibatan atau pengaruh sang ayah yang bisa mempermulus jalan Gibran menjadi Calon Wali Kota begitupun juga dengan Boby Nasution.

Di daerah penulis sendiri jelas hal demikian terjadi pengaruh Dadang Naser dan Obar Sobarna dalam partai Golkar memberikan keistimewaan bagi Kurnia Agustina. Padahal sebelum itu santer terdengar bahwa Dadang Supritna lah yang akan diusung oleh Golkar, tetapi entah apa yang terjadi Kurnia Agustina lah yang melanggeng dalam kontestasi pilkada nanti, sama hal nya dengan Gibran.

Inilah yang menjadikan kualitas demokrasi itu menjadi turun, dimana partai politik lebih mengutamakan mereka yang mempunyai keistimewaan tersendiri. 

Dan tentu saja belum tentu berkompeten, siapa yang tahu akan hal itu. Adanya pengaruh dari seseorang yang memegang kekuasaan di partai tertentu atau dalam pemetintahan tertentu menutup peluang bagi orang lain yang bisa saja kualitasnya jauh lebih mumpuni.

Akan tetapi karena tidak mempunyai privilege mereka-mereka yang merupakan kader-kader partai tersisihkan oleh beberapa orang yang mempunyai backing kuat, padahal tidak ada riwayat tersediri dari mereka yang mempunyai keistimewaan tersebut sebagai kader partai. 

Padahal salah satu fungsi dari partai politik adalah menciptakan kader yang berkualitas, dengan banyaknya kader berkualitas parpol tidak akan kesulitan dalam mencari calon pemimpin baik itu di internal partai maupun di luar partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun