Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

RUU PKS Ditarik dari Proglenas, Ada Apa dengan Yang Mulia DPR?

2 Juli 2020   11:35 Diperbarui: 2 Juli 2020   11:39 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa waktu lalu saya membaca sebuah berita yang sangat menyedihkan, bagaimana tidak, judul beritanya saja sudah membuat ngeri membayangkannya. Judul berita tersebut adalah Bocah 13 Tahun Diperkosa Sepupu Hingga Hamil, Setelah Melahirkan Diperkosa Mertua. 

Coba bayangkan apa yang dialami anak tersebut, tentunya kejadian ini tidak hanya merenggut masa remaja anak tersebut, tetapi trauma yang dialami anak tersebut lah yang akan membuat anak tersebut akan sulit melupakannya. Bukan tidak mungkin kejadian kelam itu akan terus diingatnya, bahkan kejadian itu dua kali menimpa dirinya, yang seakan memberikan trauma ganda.

Perempuan seringkali menjadi objek dari kekerasan seksual, baik itu secara verbal maupun nonverbal. Memang untuk aturan mengenai ini sudah ada, secara umum di dalam KUHP, untuk perkosaan misalnya diatur di dalam Pasal 285. Tetapi secara garis besar, pasal-pasal tersebut hanya mengakomodir pelaku saja. 

Perlu diingat juga, korban perkosaan harus mendapatkan penanganan yang intens, terutama dari Psikolog dan juga Psikiater untuk memulihkan kembali kondisi mental mereka, tentunya kejadian semacam itu akan mengakibatkan trauma yang mendalam bagi korban. 

Oleh karenanya penanganan seperti itu sangat dibutuhkan oleh korban, tetapi seringkali kasus perkosaan korban juga disalahkan, misalnya karena pakaiannya yang mengundang hawa nafsu kaum pria dan sebagainya, terlepas dari itu semua, korban ya tetap korban.

Harapan pemulihan hak korban muncul ketika DPR menggodok RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas. Tetapi harapan hanya sebatas harapan, bagaikan oase di gurun pasir, ternyata anggota Dewan yang termulia kita menarik RUU PKS ini dari Prolgenas Prioritas dengan alasan pembahasannya terlalu sulit. 

Lho kenapa terlalu sulit? Apakah kemampuan bapak-bapak dewan saja yang tidak sampai ke sana atau bapak-bapak sekalian yang sama sekali tidak mempunyai rasa kemanusiaan. Bukankah tugas bapak-bapak sekalian adalah membuat undang-undang, terlepas pembahasannya sulit atau tidak, tugas ya tetap tugas.

Padahal jika kita melihat Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perlindungan Perempuan kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani sepanjang 2019 yang besarnya naik 6% dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2018 Komnas Perempuan mencatatat 406.178 kasus yang kemudian pada tahun 21019 meningkat menjadi 431.471 kasus.

Pelaku dari kasus tersebut paling banyak dilakukan oleh keluarga atau orang-orang yang dekat dengan pelaku sekitar 75%. Seperti contoh yang telah diulas di atas pelaku perkosaan adalah keluarga sendiri yaitu sepupu, kemudian diperkosa lagi oleh mertuanya. 

Jika dilihat dari kenaikan angka tersebut, maka pada saat itu ketika ada demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa seharusnya RUU PKS ini sudah disahkan, mengapa? Karena masyarakat khususnya perempuan yang menjadi korban sangat membutuhkan RUU ini sebagai payung hukum untuk memulihkan kembali hak-haknya.

Di dalam RUU tersebut memuat hak korban yang terdiri dari hak penagangan, hak perlindungan, dan hak pemulihan. Tentunya hak-hak tersebut tidak tercantum di dalam pasal-pasal mengenai kekerasan seksual yang ada di dalam KUHP. 

Padahal ini sangat penting bagi korban, adanya hak-hak tersebut memungkinkan kejadian yang sama tidak akan terjadi. Tetapi peristiwa sudah menunjukkannya, kejadian di atas merupakan pengulangan dari kejadian pertama, akan berbeda jika RUU PKS ini disahkan. Mungkin saja kejadian yang dialami kasus di atas tidak akan terulang.

Perkosaan yang dialami oleh perempuan tentunya sangat merugikan. Padahal sekali lagi di dalam RUU PKS ini diatur mengenai pemulihan korban, yang diatur dalam Pasal 27 yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial dan budaya, serta restitusi.

Dari segi fisik tentunya korban pasti tersakiti, apalagi jika dibarengi dengan kekerasan, belum lagi beban yang akan timbul bagi korban jika perkosaan yang dia hadapi mengakibatkan kehamilan tentunya itu akan membuat korban merasa malu apalagi di lingkungan sosial. Mengingat kehamilan itu tidak diinginkan. Jadi jika melihat hak-hak korban dalam RUU PKS ini sudah sepantasnya korban mendapatkan hak itu. Perkosaan hanyalah bagian kecil dari tindakan kekerasan seksual.

Dalam RUU PKS ini memberikan definisi yang luas mengenai kekerasan seksual yang meliputi setiap perbuatan yang merendahkan, menghina, menyerang, dan atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan atau fungsi reproduksi, serta paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik.

Kita lihat definisi tersebut begitu luasnya, orang yang bersiul dengan tatapan yang tidak sopan kepada perempuan bisa saja sebagai perbuatan yang merendahkan perempuan, perbuatan tersebut masih saja dianggap hal yang biasa oleh masyarakat kita, padahal perbuatan tersebut sangatlah merendahkan wanita yang seakan-akan dijadikan objek pelampisan seksual belaka.

Masih banyak kasus yang menimpa perempuan lainnya, tidak hanya kasus yang saya contohkan di atas, publik tentunya masih ingat dengan perjuangan Baiq Nuril yang sejatinya adalah korban kekersan seksual oleh atasannya, tetapi apa yang terjadi? Baiq Nuril malah masuk bui karena membocorkan percakapan yang tidak patut itu, dengan perbuatan itulah Baiq Nuril malah masuk bui. Bahkan upaya mencari keadilan oleh Baiq Nuril sampai kepada Amnesti Presiden.

Kita semua berharap tidak akan adala lagi Baiq Nuril dan perempuan-permpuan bernasib malang lainnya. Jadi tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menarik RUU ini dari prolegnas. Seharusnya DPR tahu mana yang menjadi kebutuhan masyarakat dan yang tidak, jangan di balik, jangan undang-undang yang masyarakat tidak butuh justru dikebut pengerjaannya agar segera disahkan, bukankah DPR adalah wakil rakyat, mengapa DPR sendiri tidak tahu apa yang dibutkan rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun