Seperti biasa, kalau libur datang saya dan istri punya kebiasaan yang mungkin agak berbeda dari kebanyakan orang. Libur bagi kami bukan untuk diam di rumah, tapi justru jadi momen untuk jalan-jalan sambil anjangsana ke petani---sekalian olahraga pagi, sekalian ngopi-ngopi dan ngobrol santai soal pertanian. Ini semacam kegiatan penyuluhan informal yang sering saya lakukan, dan selalu terasa menyenangkan.
Libur kali ini (Hari Raya Waisak), tujuan kami agak jauh. Sekitar dua jam lebih perjalanan dari rumah, menuju daerah yang cukup terkenal di Kabupaten Bogor---Puncak Dua, tepatnya di Desa Sukawangi, Kecamatan Sukamakmur. Tujuan kami adalah bertemu dua orang petani yang saya kenal: Ibu Lala Daniati, seorang wanita tani yang luar biasa, dan Pak Epul, petani hortikultura yang belakangan ini saya dengar sedang menekuni tanaman anggur.
Kami berangkat lewat jalur puncak, melewati Ciloto, dan sebelum sampai Cipanas kami belok kiri ke arah Taman Bunga. Dari sana, jalan mulai menanjak menuju kawasan Puncak Dua. Jalannya berliku, tapi pemandangan sepanjang jalan benar-benar luar biasa. Pegunungan, ladang sayur, titik-titik air terjun, bahkan lokasi glamping dan camping ada di beberapa sudut. Cocok banget buat yang suka gowes atau lari.
Sesampainya di Desa Sukawangi, saya langsung menghubungi Pak Epul. Beliau kirim titik lokasi---dan saya langsung tertarik begitu lihat nama tempatnya: "Rumah Anggur". Wah, jadi penasaran. Setahu saya, Pak Epul sebelumnya lebih fokus ke krisan dan sayuran.
Kami pun sampai di lokasi dan disambut langsung oleh Pak Epul. Obrolan pun mengalir, dan saya langsung tanya: kenapa sekarang menanam anggur? Jawaban beliau sederhana tapi dalam. Katanya, kalau menanam sayur atau bunga, beli benih, tanam, panen, lalu ulang lagi dari awal. Tapi kalau anggur, cukup beli bibit sekali---panennya bisa berkali-kali. "Lebih hemat, lebih berkelanjutan," katanya.
Pak Epul juga cerita bahwa ke depannya mereka akan menyediakan bibit anggur berkualitas dan memberi edukasi bagi para pembeli atau pengunjung. Konsep agrowisata pun sudah mulai dibayangkan---pengunjung bisa panen sendiri, belajar budidaya anggur, bahkan sekadar menikmati udara segar dan lanskap desa yang luar biasa.
Kami pun diajak makan siang di rumahnya---obrolan hangat tentang pertanian, desa, dan semangat membangun dari bawah terus mengalir. Saya merasa bersyukur bisa bertemu mereka. Petani seperti Pak Epul dan Bu Lala ini adalah pahlawan pangan kita. Kalau bukan mereka, siapa lagi yang menyediakan bahan makanan segar untuk kita di kota?
Dan bagi saya, sebagai penyuluh pertanian, inilah yang selalu membuat saya semangat: menyapa petani, mendengar cerita mereka, dan ikut merayakan semangat bertani yang penuh harapan.