Mohon tunggu...
Dani Medionovianto
Dani Medionovianto Mohon Tunggu... Penyuluh Pertanian

Temennya Petani

Selanjutnya

Tutup

Diary

Jejak Pagi di Kaki Gunung Salak : Belajar dari Petani dan Alam

19 April 2025   14:45 Diperbarui: 19 April 2025   15:10 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Sehat Di Pagi Hari, Menyusuri Kaki Gunung Salak.   (Dok. Pribadi)

Pagi ini saya memulai langkah kaki dari sebuah sudut tenang di wilayah Bogor Selatan dan perbatasan Kabupaten Bogor. Rutenya tidak biasa, tapi justru itulah yang membuat terasa istimewa. Saya berjalan menyusuri jalanan kampung mulai dari Kelurahan Mulyaharja, lalu melewati Ciharashas, Lembur Sawah, Cijulang, dan berakhir di Lemah Duhur. Ini bukan sekedar jalan pagi, tapi sebuah perjalanan yang membuka mata dan hati saya tentang kehidupan yang sering luput dari perhatian kita.

Sepanjang jalan, pemandangan hijau terhampar luas. Tanaman hortikultura (Sayuran, buah-buahan) tumbuh subur, pohon-pohon berdiri tegak, dan di kejauhan tampak Gunung Salak berdiri megah, menjadi latar yang tak tergantikan. Udara terasa ringan, sejuk, dan segar. Tidak ada kebisingan kendaraan, tidak ada polusi, hanya suara burung, desir angin, dan sesekali sapaan hangat dari warga desa yang saya lewati.

Hamparan lahan yang dipenuhi tanaman sayuran, buah-buahan dengan latar belakang Gunung salak (Dok. Pribadi)
Hamparan lahan yang dipenuhi tanaman sayuran, buah-buahan dengan latar belakang Gunung salak (Dok. Pribadi)

Tapi yang paling menarik perhatian saya adalah aktivitas para petani. Sejak pagi mereka sudah mulai bekerja. Ada yang sedang mencangkul lahan, menyemprot tanamannya, menanam bibit, memanen padi, atau mengangkut hasil panenannya. Semuanya dilakukan dengan tenang, penuh ketekunan, tanpa keluhan, tanpa hiruk pikuk.

Di tengah berbagai isu nasional yang ramai dibicarakan tentang harga pangan, impor beras, inflasi, hingga kebijakan-kebijakan yang seringkali kontroversial, tetapi para petani ini tetap bekerja seperti biasa, Seolah tak terusik dengan hebohnya dunia luar. Mereka tidak menonton debat ekonomi, tidak sibuk membaca analisis politik, tidak terpaku pada grafik ekspor-impor. Mereka hanya tahu satu hal: bekerja menanam dan memanen untuk hidup, dan untuk memberi hidup kepada orang lain.

Petani yang sedang menyemprot tanaman sayurannya.    (Dok. Pribadi)
Petani yang sedang menyemprot tanaman sayurannya.    (Dok. Pribadi)

Sambil berjalan saya menyadari, bahwa dari sinilah sebenarnya pangan kita berasal. Dari tangan-tangan sederhana yang mengolah tanah, dari kaki-kaki yang berpijak di sawah dan ladang. Dari desa-desa seperti yang saya lewati pagi tadi.

Setiap suapan nasi yang kita makan, setiap sayur yang kita sajikan di meja makan, semua berasal dari peluh para petani yang tak kita kenal namanya. Mereka adalah pahlawan pangan  yang tak pernah tampil di televisi, tidak viral di media sosial, tapi jasanya luar biasa besar untuk kehidupan kita sehari-hari.

Petani sedang mengangkut hasil panennya (Dok. Pribadi)
Petani sedang mengangkut hasil panennya (Dok. Pribadi)

Kita yang tinggal di kota mungkin tak pernah memikirkan itu. Kita terbiasa dengan makanan yang serba mudah didapat cukup memesan lewat aplikasi, lalu datanglah seporsi makanan hangat. Tapi kita jarang berpikir: dari mana asal bahan makanannya? Siapa yang menanamnya? Seperti apa perjuangan mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun