Mohon tunggu...
Danik Eka Rahmaningtiyas
Danik Eka Rahmaningtiyas Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Pascasarjana Psikologi Terapan Universitas Indonesia, konsentrasi Intervensi Sosial.\r\n\r\nChef of Rumah Tsaqof\r\n\r\nPemulung Sosial

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Remaja dalam Euphoria Budaya Pop : Saat Modal Menjadi Tuhan

13 November 2012   17:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:26 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Danik Eka R.

Dunia musik, film, fashion, life-style sepertinya tidak pernah mati gaya sepanjang manusia masih ada dan keinginan eksistensi terus terjaga. Pemanfaatan media sebagai alat propaganda “budaya pop” ini sangat kuat menghantam objeknya dari berbagai sudut, hingga efek-efek luar biasa lahir menjadi habit yang matur dari proses reinforcemen (penguatan) tiada henti.

Sebagai contoh kecil dalam dunia musik yang sedang dilibas habis oleh fenomena “girl-band” dan “boyband” yang terinspirasi dari korean-music (K-pop), walau istilah ini sebenarnya juga aneh karena di dalamnya tidak ada yang bermain alat musik/band bahkan kemampuan menyanyi-pun pas-pasan sehingga lipsing jadi jurus andalannya. Cukup wajah yang menawan (dalam prekpektif kapital sebuah produk) dan gaya maksimal, ditambahi sedikit kemampuan dance sebagai bumbu setiap kali performancenya. Ternyata dunia musik hanya menjadi alat yang diacak-acak untuk melakukan penetrasi stigma baru memaknai sebuah eksistensi. Pergeseran makna-pun terjadi, misal cantik itu harus putih, tinggi, langsing, rambut ala korea, fashionpun begitu. Sehingga pemilik modal terus menawarkan inovasinya untuk membuat seseorang berubah menjadi “cantik”. Serasa mati gaya kalau lagi kongkow tidak paham dengan pengetahuan seputar SNSD, SuJu, dll.

Budaya populer atau sering kita sebut sebagai budaya pop merupakan suatu totalitas ide, prespektif, perilaku, citra dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya. Budaya pop menyentuh kebutuhan “kemanusiaan” dalam lingkup id (libido, hasrat, ambisi, dll), sederhana dan mudah dicerna, sehingga cepat diterima oleh masyarakat.

Dalam perubahan sosial apakah yang bersifat konstruktif ataupun destruktif, peran kapital menjadi sentral baik dari segi ide maupun propagandanya. Begitupun dengan budaya pop, kekuatan modal dan pemilik modal menjadi sutradara “budaya” itu mau dibawa kemana. Masyarakat cukup menerima dan memilih saja. Sasarannya sudah jelas, kelompok-kelompok manusia yang jumlahya banyak dan mudah terprovokasi.

Perempuan dan Remaja menjadi objek yang menarik

Wacana tentang perempuan dan remaja dalam arus euphoria budaya pop menjadi sebuah konflik objek yang rentan dari pemakluman dalam struktur psikologi dan sosial. Apalagi saat prespektif modal sangat bersifat patriarki dan dewasa, ada relasi kuasa yang dibentuk atas dasar kepentingan privat yang dikemas sedemikian cantik.

Sudah menjadi kodrat perempuan selalu ingin tampil menarik untuk diperhatikan sementara laki-laki adalah pemerhati dan penikmat apa yang ditampilkan oleh perempuan. Hukum alam inilah yang dimanfaatkan dengan maksimal oleh pemilik modal. Coba lihat apa hubungan antara mobil, rokok, pelumas kendaraan, dll dengan cewek seksi? Yang jelas pemilik modal memberi analogi sesuatu yang menarik dari produk itu. Belum lagi produk-produk yang khusus ditujukan untuk perempuan, seolah-olah ingin menyampaikan “jika ingin menarik perhatian laki-laki maka beli dan pakailah produk ini”. Titik-titik sensitif inilah yang dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk membangun relasi kuasanya.

Sementara remaja-pun menjadi objek tak kalah seru untuk diperbincangkan dalam meraup untung. Ada kebutuhan eksistensi yang sangat tinggi, pengakuan lingkungan sosialnya bahwa dia ada, serta modeling menjadi konsep diri yang belum ditemukan. Menurut Csikszentimihalyi dan Larson, (1984:19) menyatakan bahwa remaja adalah “rokonstruksi kesadaran”. Masa remaja adalah masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya, baik dalam perkembangan kognitif (Piaget), moral (Kohlberg), maupun perkembangan seksual (Freud).

Masih menurut Csikszentimihalyi dan Larson menyatakan bahwa puncak perkembangan jiwa itu ditandai dengan adanya proses perubahan kondisi entropy dan negantropy. Entropy adalah keadaan dimana kesadaran manusia masih belum tersusun rapi walaupun isinya sudah banyak (pengetahuan, perasaan, dsb), isi-isi tersebut masih belum terkait dengan baik, sehingga belum berfungsi secara maksimal. Entropy berarti keadaan tidak ada pola tertentu dari rangsang (stimulus) yang diterima seseorang, sehingga stimulus tersebut kehilangan arti.

Semetara negantropy adalah kondisi berupa isi kesadaran tersusun dengan baik, pengetahuan yang satu terkait dengan pengetahuan yang lain. Pengetahuan pun jelas hubungannya dengan perasaan dan sikap. Manusia dalam keadaan negantropy dapat bertindak dengan tujuan yang jelas sehingga memiliki tanggungjawab dan semangat kerja yang tinggi. Pada masa remaja, secara bertahap disusun, diarahkan dan distrukturkan kembali sehingga lambat laun terjadi kondisi negantropy.

Dalam kondisi entropy pada masa remaja inilah yang dimanfaatkan oleh pasar, saat idola yang akan dijadikan figur identifikasi sebagai konsep diri belum ditemukan serta saat iternalisasi pengetahuan dan keyakinan belum juga terjadi maksimal. Sehingga beragam hal baru yang menarik silih berganti menawarkan sesuatu sebagai pilihan yang tak kunjung usai.

Menikmati dan terbawa arus

Bak spirit volounteerisme (kesukarelawanan sosial) tanpa ada instruksi dan merasa terintimidasi dari luar, remaja berbondong-bondong secara massal seperti ada instruksi otomatis dalam dirinya untuk menjadi bagian dari euphoria budaya pop ini untuk mencapai eksistensi. Mereka hidup dalam dorongan diri yang terkonsolidasi dari stimulus propaganda tersebut, membutuhkan “manfaat” konkrit dari tiap budaya pop itu apalagi kalau bukan kesenangan dan pengakuan eksistensi keberadaan diri oleh masyarakat.

Kesadaran essensif menghilang dengan munculnya pragmatisme diri, sebenarnya dimana letak pragmatisme manusia yang tersentuh oleh euphoria budaya pop ini? Hal itu muncul saat titik libido/hasrat/nafsu (id) manusia menguasai hati dan rasionalitas atas nama kemanusiaannya. Dalam piramida hierarkhi kebutuhan manusia Maslow, kebutuhan lahiriah seperti makan, minum, dan seks adalah kebutuhan dasar apabila tidak terpenuhi akan terjadi permasalahan dalam diri. Tetapi selanjutnya dorongan dari kebutuhan dasar tersebut apabila diaktualisasikan tanpa ada pertimbangan dari norma diri, norma sosial dan keyakinan akan menimbulkan permasalahan baru. Banyak orang yang menerima penghargaan kondisional (dari pemakluman kebutuhan kemanusiaan) yang malah menciptakan konflik.

Karena euphoria budaya pop ini bersifat massal, seolah-olah seseorang yang melawan arus sebagai kelompok minoritas ini adalah profil abnormalitas. Sebagai contoh, remaja yang tidak update dengan life-style baru, tampilan cupu, si kutu buku dianggap anak kampungan yang memang tidak patut diajak dalam pergaulan sosial. Sepertinya sangat memalukan jika ada remaja yang tidak pernah nonton konser musik. Atau kelompok-kelompok aktivis yang jelas-jelas dituntut harus sosiable dalam melakukan aksi kepedulian sosial, oleh kelompok massa (pengikut budaya pop) dianggap manusia asing yang tidak menikmati masa remajanya.

Eksistensi yang merdeka atau terjajah

Bagi diri yang sehat, penghargaan positif seperti cinta, perhatian, rasa hormat, dan penerimaan dibutuhkan. Alasan mendasar remaja mengikuti arus budaya pop adalah pemenuhan eksistensi itu oleh publik tentang keberadaan dirinya. Mereka merasa merdeka jika memiliki kebebasan untuk memilih apa yang mereka inginkan dan maui, merasa bebas jika bisa mengekspresikan diri tanpa terkekang oleh batasan norma & etika tradisional. Lalu apa makna kebebasan jika yang ada malah mengabdikan diri pada pemenuhan id dan terbatas pada pilihan yang ditawarkan oleh pasar, tidak mampu melampaui batas alam dan lingkungannya, terperangkap dalam konsensus yang menguntungkan kelompok tertentu saja.

Manusia memiliki potensi untuk terus tumbuh dalam diri individunya, bahkan mampu melampau batas konsensus alam dan lingkungannya, manusia mampu bereksistensi dengan memanai diri tanpa takut adanya stigma negatif karena melawan arus konsensus tersebut. Manusia pada posisi manusia berkehendak, bebas dan bisa bertanggungjawab atas kepentingan dirinya. Maka manusia bisa mengatur dirinya sendiri dan tidak perlu diatur oleh sesuatu dari luar, bahkan Tuhan pun tidak perlu mengatur jika kita belum memiliki kesadaran atas hal itu.

Maka, dalam penguasaan diri yang ber-eksistensi yang merdeka maka kekuatan diri menjadi landasan utama dalam menentukan pilihan layak tidaknya sesuatu untuk dilakukan untuk diikuti.

Waktunya berikan perlawanan

Euphoria budaya pop yang melanda remaja kita bukan lantas dibunuh dengan menghentikan dan melarang remaja untuk mengikuti, tapi bagaimana penguatan personal sebagai penerima dan pengolah stimulus itu dipersiapkan untuk mampu memilah sebagai konsekuensi kemerdekaan individunya. Selain itu yang tak kalah penting adalah sistem dari institusi formal dan informal dalam masyarakat yang perlu dipersiapkan untuk lebih “melek budaya”.

Pembentukan konsep diri

Seperti paparan-paparan sebelumnya euphoria budaya pop terjadi karena konsep diri belum tuntas dalam mengkomunikasikan stimulus yang datang. Komunikasi interpresonal (diri) akan sangat mempengaruhi proses interpretasi stimulus menjadi sebuah keputusan tindakan yang dipilih oleh individu tersebut. Hal ini dipengaruhi oleh input-input informasi sebelumnya yang telah tersimpan dalam memory, konsep diri (nilai) yang tertanam untuk menjadi bahan pertimbangan dalam interpretasi.

Oleh sebab itu, apapun pilihan tindakan manusia tidak ada yang lepas dari proses dialektika personal yang bersifat tafsir stimulus. Selanjutnya apakah intepretasi tersebut menjadi sebuah sikap mampu menjadikan individu itu merdeka atau terjajah pilihannya atas intervensi individu yang lain.

Pembentukan konsep diri tersebut bukan sesuatu yang passif, dimana objek menerima bentukan dari luar dirinya. Karena manusia adalah individu yang hidup dan bergerak dan berkemauan. Victor Frankl menekankan cara-cara bagi setiap orang dalam mencari dan menemukan makna personal dan tujuan dalam hidup. Carl Rogers menganggap manusia, “positif, bergerak maju, konstruktif, realistik, dapat dipercaya, serta bergerak menuju aktualisasi diri.” Oleh sebab itu, pembentukan konsep diri tidak semata-mata lahir sendiri tanpa ada pola atau terbentuk dari bentukan orang lain.

Fritz Perls, memfokuskan pada pola-pola dan percaya bahwa semua manusia memiliki kearifan diri serta bekerja menuju kesatuan dan keutuhan. Perls menekankan bahwa kita semua memiliki polaritas dalam diri yang harus diterima dan/atau direkonsiliasikan. Orang berfungsi sebagai unit total dan totalitas diri merupakan rangkaian proses yang dipelajari melalui interaksi individu yang bersifat tetap dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.

Apa sebenarnya konsep diri itu? Konsep diri sebagai suatu kesatuan nilai yang berangkat dari pemaknaan dan pemahaman terhadap diri ideal, realitas dan sosialnya. Jadi dalam konsep diri tersusun saat mampu mengkomunikasikan ideal self, real self, dan sosial self. Bahasa agamanya, mampu mentransformasi spiritualitas pribadi menjadi spiritualitas personal tentunya yang berpijak pada bumi (realitas).

Konsep diri akan terbentuk saat individu mampu mengenali siapa diri (who am i), sehingga mampu berdamai dengan kelemahan diri dan mampu melejitkan potensi positifnya (real self). Inilah penyadaran, bukan pemakluman atas kelemahan yang akan menjadi dalih “tiada manusia yang sempurna” sehingga mencukup-kan “ini saja, saya sudah bersyukur”. Oleh sebab itu nilai ideal itu juga harus tetap dibangun, “terus belajar dan berusaha menjadi individu yang sempurna”.

Manusia sebagai makhluk sosial, kemampuan mengenali diri dan mentalitas menjadi sempurna saja tidak cukup menjadikan manusia mampu eksis tanpa terintimidasi atau malah mengintimidasi. Kemampuan komunikasi intrapersonal inilah yang harus juga terbangun, sebagai konsekuensi penyampaian ide individu terhadap ruang-ruang interaksinya. Bukan menjadi pribadi yang arogan dan eksklusif, cukup kita paham, berpendirian tak peduli orang lain mau bilang apa.

Dari kematangan konsep diri itulah dharapkan menjadi ruang pertimbangan dalam menerima stimulus budaya pop tersebut untuk tidak menjudge salah tanpa ada alternatif pilihan lain atau ruang dialektika yang terbuka melahirkan stimulus baru.

Pendekatan yang lebih humanis

Remaja selain sedang dalam masa mencari eksistensi mealui proses-proses identifikasi, juga sangat antipati apabila dilarang dengan sifat menggurui dan judgement. Dari sinilah pendekatan orang dewasa yang terbuka dan bersifat dialogis-partisipatoris dalam mengkomunikasikan ide itulah yang harus dilakukan. Melibatkan peran aktif mereka, lebih banyak mendengarkan dan mencari tahu apa yang ada dalam benak mereka.

1352829770116501029
1352829770116501029

Secara sederhana, stake-holder masyarakat harus melakukan pendekatan-pendekatan yang humanis selain melihat remaja sebagai individu yang aktif mereka juga harus menjadikan dirinya figur yang bisa di dengar dan menarik bagi mereka. Banyak sekali kegagalan terjadi pada proses pendampingan komunitas, saat pendamping hanya sekedar orang pintar yang punya ide untuk melakukan intervensi dan mengajak untuk berubah.

Masuk ke dunianya, pada dasarnya suatu kelompok akan merasa terancam saat ada orang baru apalagi yang jelas-jelas berbeda mungkin kontradiktif dengan nilai yang dianut kelompok tersebut. Pengetahuan kita tentang mereka, prespektif kita menjadi mereka akan membuat kita nyaman berbicara menjadi mereka. Tentunya dengan menanggalkan stigma-stigma negatif yang muncul tanpa ada proses interaksi secara langsung.

Berbicara tentang hobinya dan nikmati bersama, sambil dalam proses komunikasi yang tulus kita temukan beragam wacana baru yang sederhana berkaitan dengan kemauan dan keinginan mereka. Lalu lakukan perbandingan tanpa melakukan pembandingan.

Mereka hanya ingin diakui, di dengar bahwa mereka ada. Tanpa dihakimi dan menyalahkan mereka yang “salah pilih”, ini sejalan dengan konsep pendidikan profetik Kuntowijoyo yang menjunjung tinggi 3 pilar :

1.Humanisasi. Memanusiakan manusia berdasakan prinsip kemanusiaan bukan sekedar pada sudut pandang manusia atropocentris yang berpusat pada manusia sendiri seperti kata Descrates “cogito ergo sum” (aku berfikir maka aku ada), tetapi melihat manusia dalam sudut pandang teocentris, ada kekuatan metafisis berbasis keyakinan dan keimanan yang mengadakan manusia menjadi diri yang dimanusiakan dan memanusiakan manusia yang lain. Spirit humanisasi berbasis kemanusiaan teocentris sebenarnya untuk menjawab masalah masyarakat yang semakin bimbang, seperti : dehumanisasi dari objektivitas formal (seperti istilah : cerdas, lulus, salah, benar, nakal, dll); agresifitas; hingga privatisasi individu atas individu yang lain (loneliness).

2.Liberasi. Kemerdekaan suatu individu yang bertanggungjawab, pada prinsipnya kemerdekaan itu saat tidak menindas kemerdekaan individu lain.

3.Trancendent. Sebagai dasar dari kedua unsur diatas (humanisasi dan liberasi), yang menempati superstruktur dari kesadaran atas ide, keyakinan, religi, ideologi, ilmu dan hukum. Superstruktur terbangun kuat dalam memenuhi basis material (struktur), yang secara spesifik lebih pada pemenuhan kebutuhan hidup (system ekonomi).

Prinsip linearitas inilah yang disebut kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Memahami sebenarnya letak budaya (dalam makna budi dan daya manusia) ada sebagai alat pelaksana ide untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Budaya bukan kebutuhan, begitupun budaya-pop bukanlah kebutuhan remaja. Hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni eksistensi (pengakuan). Lalu apakah pengakuan itu sudah tepat?

Security media

Penyiapan pribadi yang kuat namun intervensi media masih tetap massif sepertinya juga sangat sulit melawan arus budaya pop ini. Kebebasan pers ternyata tidak pernah membiarkan manusia lepas mengembangkan potensi positifnya berdasarkan tugas-tugas perkembangan. Sebuah contoh konkrit yang memilukan, acara-acara musik yang jelas-jelas sasarannya adalah anak muda dipilih jam tayang pada pagi hari yang harusnya digunakan untuk belajar dan bekerja. Sekolah berbondong-bondong datang di acara live musik yang tayang di pagi atas dalih kunjungan media. Sangat jelas ada regulasi polecy yang salah sama sekali tidak berpihak pada human development.

Selain itu masih banyak tayangan hiperbolis yang selalu menampilkan potret remaja yang identik dengan bersenang-senang dan hedonis, coba lihat berapa persen tayangan media yang mengangkat berita para aktivis remaja yang menumbuhkan budaya volounterisme dan beragam prestasi dunia yang diukir oleh mereka. Padahal setiap hari tidak pernah absen generasi muda kita berkiprah dalam hal-hal positif. Alih-alih jadi topk pemberitaan yang berharap jadi figur idola remaja yang bisa diikuti, jadi topik runing teks media saja sudah sangat beuntung sekali.

Lalu siapa yang berhak melakukan regulasi kebijaka media ini? Atau memang polecy pemerintah sudah tidak memiliki kuasa, karena sudah jelas walau Indonesia menggembar-gemborkan sebagai negara Demokrasi Pancasila tapi kapitalisme pasar sangat mengcengkeram kuat. Pemilik modal jadi penguasa, swasta jadi penguasa media dan rating tertinggi di dapat mereka. Apalagi yang dicari selain kata untung dan balik modal, persetan dengan mentalitas generasi muda bangsa.

Arus budaya tidak dapat dihentikan, tapi bagaimana menyiapkan manusia-manusia yang tahan dan tangguh melawan gempuran budaya hingga mampu memilah dan menawarkan suatu isu baru tentang budaya tanding untuk mentalitas dan kualitas anak negeri yang lebih manusiawi. (dhans)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun