Reformasi 1998 menjadi titik balik dalam hubungan sipil dan militer di Indonesia, dan merupakan tonggak besar yang menandai tekad besar bangsa untuk mengakhiri dwifungsi ABRI, memisahkan TNI dari politik, dan menempatkan militer di bawah kendali sipil. Prinsip supremasi sipil dan supremasi hukum ditegaskan sebagai pilar demokrasi, agar hukum berlaku sama bagi semua warga negara, termasuk militer. Namun arah reformasi kini dihadapkan pada ancaman serius melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, serta keberlangsungan UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kedua peraturan ini justru membuka jalan bagi terbentuknya kekuasaan tak terbatas bagi TNI sekaligus melanggengkan impunitas di tubuh militer.
Kedua aturan ini, yang seharusnya berjalan sebagai bagian instrumen untuk memperkuat reformasi sektor keamanan, justru menyimpan potensi melemahkan prinsip yang ingin dijaga. UU TNI 2025 disahkan pada 20 Maret 2025 di tengah kritik luas masyarakat sipil. Banyak pihak mempertanyakan urgensi RUU ini, mengingat masih ada rancangan undang-undang lain yang lebih mendesak bagi kepentingan publik, seperti RUU Perampasan Aset dan RUU Masyarakat Adat, namun pemerintah justru mengesahkan RUU TNI yang tidak memiliki urgensi bagi masyarakat sama sekali. Lebih dari itu, proses pembahasannya dilakukan secara tertutup, termasuk rapat-rapat Panitia Kerja DPR yang digelar di Hotel Fairmont, jauh dari pengawasan publik. Proses legislasi yang cepat dan minim partisipasi ini menimbulkan kesan kuat bahwa UU tersebut lahir tanpa urgensi yang memadai, sekaligus mengabaikan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Serta RUU dinilai mengancam supremasi sipil dengan sejumlah pasal bermasalah, termasuk potensi kembalinya dwifungsi TNI dan pelibatan militer dalam jabatan sipil yang jelas melewati fungsi pertahanan negara.
Substansi UU TNI 2025 juga menuai kritik karena memperluas kewenangan militer hingga ke ranah non-pertahanan. TNI kini dapat terlibat dalam pengamanan dalam negeri, penanggulangan terorisme, pengendalian unjuk rasa, bahkan tugas-tugas sipil lainnya. Frasa "ancaman terhadap keamanan nasional" yang menjadi dasar pelibatan militer dibiarkan tanpa definisi yang jelas, membuka ruang interpretasi yang luas. Dengan celah ini, TNI berpotensi turun tangan dalam hampir semua situasi yang dianggap mengancam, tanpa kontrol yang memadai dari lembaga sipil.
Sejarah Indonesia membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil sering kali membuka peluang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan wewenang. Pelanggaran seperti penembakan warga, penganiayaan terhadap masyarakat, hingga intimidasi politik pernah terjadi di masa lalu. Kini, dengan payung hukum yang lebih longgar, potensi terulangnya pelanggaran serupa semakin besar. Kekhawatiran itu menjadi semakin relevan ketika diingat bahwa mekanisme pertanggungjawaban hukum prajurit TNI masih tunduk pada UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
UU Peradilan Militer menempatkan seluruh tindak pidana yang dilakukan anggota TNI, termasuk yang menyasar warga sipil, di bawah yurisdiksi pengadilan militer. Proses peradilannya tertutup, minim pengawasan publik, dan aktor hukumnya seperti penyidik, penuntut, dan hakim yang seluruhnya berasal dari institusi yang sama dengan terdakwa. Kondisi ini menciptakan risiko konflik kepentingan dan melemahkan independensi proses hukum. Dalam praktiknya, sistem ini kerap menghasilkan vonis ringan atau bahkan membiarkan pelanggaran tanpa hukuman yang setimpal. Kasus penembakan warga sipil di Sumatera Utara, penganiayaan di luar tugas dinas, hingga pembunuhan oleh oknum prajurit, berulang kali menunjukkan pola impunitas: pelaku diadili secara internal, tetapi publik tidak pernah tahu secara pasti putusannya atau bahkan menganggap hukumannya tidak adil.
Kombinasi UU TNI 2025 yang memperluas peran militer ke ranah sipil dengan UU Peradilan Militer yang mempertahankan mekanisme tertutup adalah skenario yang berbahaya. Dengan terbukanya pintu antara militer dan sipil, dan bila prajurit melakukan kekerasan terhadap warga sipil saat bertugas di luar fungsi pertahanan, tetapi tetap diadili di pengadilan militer yang tidak transparan. Situasi ini tidak hanya melemahkan supremasi hukum, tetapi juga mengubur harapan korban dan masyarakat untuk memperoleh keadilan.
Jika prinsip reformasi ingin dijaga, maka perubahan mendasar harus dilakukan. UU TNI harus membatasi secara tegas peran militer pada fungsi pertahanan negara dan mengatur dengan jelas syarat keterlibatan serta pengawasannya dalam tugas sipil, termasuk mekanisme kontrol yang ketat dari DPR. UU Peradilan Militer harus direvisi agar pelanggaran pidana umum yang dilakukan prajurit, khususnya terhadap warga sipil, diproses di peradilan umum yang transparan dan independent ataupun dilaksanakannya peningkatan Transparansi dan penegakan hukum yang adil dalam peradilan militer. Tanpa pembaruan tersebut, Indonesia berisiko kembali ke masa di mana militer memegang senjata sekaligus kekebalan hukum.
Reformasi 1998 mengajarkan sekaligus menegaskan bahwa supremasi sipil adalah benteng terakhir yang melindungi demokrasi dari cengkeraman kekuasaan bersenjata. Jika benteng ini runtuh, sejarah kelam akan kembali mengetuk, membawa kita pada negara yang diperintah oleh bayang-bayang senjata, bukan oleh hukum. Keadilan akan menjadi kemewahan yang hanya dinikmati segelintir orang, sementara rasa aman rakyat lenyap digantikan ketakutan terhadap aparat yang tak tersentuh hukum. Demokrasi hanya dapat bertahan jika hukum dapat memberikan keadilan serta mengikat semua pihak tanpa pengecualian. Karena itu, mempertahankan supremasi sipil bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban moral seluruh warga negara untuk memastikan bahwa senjata hanya digunakan melindungi rakyat, bukan menundukkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI