Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Simalakama Abad Modern: mBlackBerry

5 Januari 2010   17:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya sedang nongkrong "pura-pura" kerja di siang yang super panas ini. Letak kantor-kantoran saya yang dibawah tanah(begitu teman-teman saya menjulukinya) sangatlah efektif untuk memerangkap hawa panas. Di sela-sela tetesan keringat, saya mencoba menyelesaikan editan foto untuk menyegarkan porfolio saya sebagai fotografer. Pekerjaan saya memang fotografer, sesuai yang tertulis di NPWP, dan saya senang menjadi fotografer, walaupun kurang komersil dan kebanyakan order foto saya berupa pusaka dan benda-benda mati lainnya. Satu dari banyak alasan kenapa saya bertahan jadi fotografer adalah banyaknya teman, sehingga saya tidak pernah kekurangan bahan buat menulis cerita.

Di tengah keasyikan saya bekerja, tiba-tiba ada suara langkah menuruni tangga. Saya mengintip melalui jendela, weh.. Pak Milyader datang, berkostum lengkap. Deskripsi: rambut rapi buatan salon terkenal, terawat, kacamata RudyProject titanium,  baju rapi dan wangi, ikat pinggang, tas, sepatu, merek italy, jam tangan merek Swiss, handphone nokia komunikator seri terakhir, cincin berlian, dst. Pokoknya total beratus juta menempel di sekujur tubuhnya. Tumben konglomerat ini mampir, biasanya mampir hanya kalau pas kebetulan tidak ada temen makan siang.

Seperti biasa,"Panas bener kantormu? Mbok pasang AC". Weleh, belum-belum sudah minta AC, lha kondisi sosial ekonomi saya belum mampu menyelenggarakan AC untuk ruang kerja. Kalau alasan saya yang "dibuat-buat" adalah: 1. Ruang kerja terlalu nyaman membuat orang senang pura-pura lembur (jika di kantor ada kopi, TV, koran, camilan, dll, bisa jadi cuma nongkrong nonton TV tapi dipakai untuk mendapat ongkos lembur) dan merugikan perusahaan. Berhubung ini usaha saya sendiri, maka akan merugikan saya sendiri. 2. Hawa dingin berpotensi kantuk. 3. Keringat baik jika dikeluarkan, untuk apa bayar mahal buat sauna kalau sudah bisa mendidih di ruang kantor sendiri, sekali dayung semua terlampaui. 4. Go Green, jadi salah satu penghemat energi. Yang ini tindakan luhur skala internasional. 5. Sesuai anjuran pemerintah untuk menurunkan pemakaian listrik. Ini kepedulian berkontribusi pada skala nasional.

Masih banyak alasan lain yang bisa saya karang, tapi mending berhenti sampai di sini saja.

Saya pura-pura tidak mendengar complain soal AC,"Gimana kabarnya, Oom? Wah tambah seger, habis dapet pembebasan tanah yang mana lagi, Oom? Mbok saya dibagi kerjaan motret perumahan, jembatan, atau jalan layangnya?". Belum-belum sudah minta kerjaan, pikir Mr. Konglomerat. "Ini lho, saya barusan beli ini", sreeet.. Dikeluarkan sebuah kotak kardus hitam bertuliskan BlackBerry, "nJaluk tulung, minta tolong disetting-kan supaya bisa dipakai email dan messenger".

Woo, jebul minta tolong toh? Ya okelah kalau begitu, sepuluh menit kemudian sudah selesai, dan pesawat BlackBerrynya sudah ribut berdentang-denting menotifikasi Facebook, YM, BBM, dan email yang sengaja saya broadcast ke teman-teman Sang Konglomerat. Dengan ucapan terima kasih dan undangan makan siang di salah satu resto miliknya, segera Sang Konglomerat berlalu mengendarai Toyota SUVnya yang sebesar rumah tipe 21.

Sunyi lagi, saya melirik BlackBerry lawas saya yang tombolnya sudah kusam, keras, karena sering dipakai nulis artikel. Dibanding BlackBerry Mr. Konglomerat yang tipenya termasuk mahal dan baru tadi, BlackBerry saya mirip David melawan Goliath. Saya memiliki BlackBerry saya sudah cukup lama, dan memang bermanfaat buat pekerjaan saya, sebelumnya saya memakai NetBook (mini laptop) tetapi kadang jika saya bepergian jadi sangat merepotkan. Kamera, netbook, hp, tas, dan peralatan lain menggantung sempurna di badan saya yang tidak seberapa besar. Lebih mirip portir dibandingkan fotografet ataupun penulis. Saya meneruskan kembali pekerjaan saya, tidak terasa malam sudah menjelang, saya berkemas, dan menstarter Vespa lawas saya.

Sesampai di rumah, setelah mandi, saya mendamparkan diri di bale bengong sambil mengetik, meneruskan artikel di BlackBerry lawas saya ini. Sejam berlalu, dan tiba-tiba Sastro sudah melongokkan kepala dari pringgitan, "Ngunjuk kopi, Mas?" Wah, ini bisa berarti penawaran atau ijin membuat 2 gelas kopi dan ijin untuk ndlosor di pendopo berbagi argumen. " Gak Tro, teh pait aja, wis kakehan gula nang kantor".

Beberapa menit kemudian Sastro muncul, dengan kombinasi gelas unik, 1 gelas besar teh pahit dan 1 cangkir kecil kopi kental."Lho? Kok bikin kopi cangkir kecil toh? Wong saya minta teh". Bingung juga." Ini punya saya, saya juga ngurangi gula Mas, makanya kopinya cangkir kecil aja", jawab Sastro. Wooo.. Lha kok terus begitu? Dengan falsafah apa dia bikin kopi kecil diversuskan gelas gede teh? Saya malas berargumen, membiarkan Sastro menyrupat-nyuruput kopi di cangkir kecilnya. Pas saya berhenti dan mengangkat gelas teh, Sastro berujar,"Sudah chatting-nya mas?" Weh, kok nuduh, wong saya bikin artikel biar praktis pakai BlackBerry kok malah dikira chatting? Dasar sok tau pikir saya.

“Aku nggak chatting Tro, ini ngetik artikel”

“Kok tidak pake kompyuter saja tha mas? Lha wong jenengan sudah minus dan plus penglihatannya, apa tidak malah menambah penderitaannya?”

Daripada manusia ini malah memperpanjang argumennya, saya mikir-mikir untuk mengganti topik saja.

"Saya tadi diminta ngeset BlackBerry-nya Mister Konglomerat, lho Tro, kamu kan seneng toh kalau saya berteman sama konglomerat? Mau didongengi enggak?"

Wajah Sastro langsung cerah,"Iya Mas, saya seneng, wong saya itu pengen denger dongeng indah jadi orang kaya, hidup orang berada, mosok saben hari cuma dongengnya bakul sayur, tukang angkringan, bakul bakso, dan orang menengah bawah lainnya? Dongeng tentang wong sugih, orang kaya itu sedep Mas, gurih, tidak pait dan sepet". Saya grenengan, bergumam, belum-belum sudah mempersoalkan perbedaan kelas, status sosial, wong orang kaya itu juga penuh perjuangan, tidak  tau-tau jadi kaya. "Lha sampeyan kok enggak ikut Mr. Konglomerat saja, kalau seneng dongengnya?" tanya saya." Enggak Mas, saya pengen denger cerita saja, kalau saya ikut Mr. Konglomerat nanti saya jadi pelaku cerita, dan posisi saya tidak senikmat sebagai pendengar saja".

Dasar Pilatus, maunya dengar cerita saja, tapi cuci tangan terhadap keruwetannya. Saya kemudian bercerita tentang BlackBerry baru Mr. Konglomerat.

" Kalau BlackBerry Mr. Konglomerat bagus ya Mas? Enggak suka mandheg dan ngambek kaya BlackBerry njenengan?"

" Iya Tro, beda, wong harganya juga jauh, saya beli BlackBerry ini karena butuh Tro, buat ngecek email dan nulis artikel, sesekali buat nemeni kanca-kanca yang lagi berjuang dan bersekolah di luar negeri ngobrol, biar ilang sepine"

" Pak Doktor Wiro juga punya, Mas? Kan dia juga sering email-emailan sama Mas?"

" Oh, Wiro enggak Tro, dia seneng pakai teknologi lama, pakai PDA lawas, saya curiga itu mungkin pemberian istrinya, jadi romantisme mengalahkan fungsi dan teknologi, rumangsaku begitu"

" Mosok toh mas? Ketoke Doktor Wiro itu ya canggih, masa enggak ikut mBlackBerry seperti panjenengan?"

" Enggak tuh, malah saya heran saya temen kita yang lain lagi, inget enggak, Mas. Makelar, yang kalau ke sini seringnya mung nawar mobil saya sak murah-murahnya itu"

Sastro manggut-manggut, " Kenapa, Mas?"

" Lha beberapa bulan lalu, Mas. Makelar nitip BlackBerry yang paling mahal buat dia, saya ya manut wae. Tadinya mau mengarahkan ke yang lebih murah, karena fungsi sama, eh malah rada marah, katanya, ‘ wis yang ini saja, tak bayar sekarang apa gimana?’ Wah, saya jadi tidak enak, wong ini bukan masalah uang, tapi kamu tahu kan Tro? Mas. Makelar kan ngalor-ngidul aja pake motor lawas kayak saya, mosok hp nya mau harganya 2x motornya?"

" Lha nek kesenengane begitu? Kan manusia lain-lain kesenengannya toh, Mas? Ada yang seneng Vespa bosok seperti njenengan, ada yang seneng Mercy, ada yang seneng hape NOKIWA, ada yang mantepe kalo pake BlackBerry, apa ada keharusan, kalo pake BlackBerry harus naik mobil? Kan enggak juga toh, Mas?"

Saya jadi diem, betul juga omongane Sastro, saya jadi sadar, mungkin saya saja yang pelit terhadap diri sendiri, saya terlalu kuat menghayati asas kepantasan, dan sering merasa tidak pantas atau belum saatnya pake barang mahal. Tapi jauh di dalam hati saya tetep heran, kenapa handphone lama-kelamaan bergeser fungsinya jadi simbol sosial dan bukan lagi melakukan peran sebagai alat komunikasi. Tetapi ada juga yang malah sangat berperan sebagai alat komunikasi, sehingga pemiliknya menjadi asosial, dan seakan hidup hanya untuk menjawab pesan, comment, telpon, dan SMS pada HPnya. Saya inget ada temen saya, yang seharian bisa hanya memencet-mencet tombol tanpa melakukan aktivitas lain. Bahkan pada saat reuni, malah bukan temu kangen, tapi dia malah sibuk melaporkan pandangan mata ke teman-teman sesama pemakai BlackBerry.

Anehnya sekarang ada beberapa pandangan baru, justu yang tidak bergabung dengan temen-temennya di dunia maya itu yang antisosial. Wong situs pertemanannya saja istilahnya jejaring sosial, berarti yang gabung di sana kan orang yang suka bersosialisasi? Yang suka bergaul. Lha wong kalo ngga punya Facebook dianggep tidak gaul, jadi yang gaul adalah orang yang hidupnya memelototi layar internet terus, mau alatnya apa, terserah. Yang belum akut, pake desktop PC, jadi hanya jika di rumah dan kantor saja bersosialisasi. Yang setengah serius, menggunakan laptop atau netbook, jadi kalo pas ke mall atau ke tempat yang ada jaringan internet atau “hot spot” ( lokasi panas.. kwkwkwkkw ) bisa bersosialisasi. Yang sudah parah, perlu alat bantu hidup, berupa BlackBerry, PDA, atau handphone lain yang support ke jejaring sosial maupun chat room. Supaya setiap detik bisa mengkomentari teman atau hahahahihihi dengan teman-temannya.

Tak sadar saya melihat ke sekitar, lho, kok ilang si Sastro, walah, dia mendepis di pojok pendopo, sibuk memencet-mencet sesuatu. Dari kejauhan saya menajamkan mata, lho, kok bisa??? Si Sastro kok mencet-mencet BlackBerry Onyx? Weh, dapat dari mana dia? Lha harganya saja bisa 15x gajinya? Weh, jangan-jangan korupsi ini, wong juragannya aja mung ngiler lihat seri Onyx. Edian.. Saya menyabarkan diri, eh sapa tau Satro menang togel.

Merasa diamati, Sastro mengantongi "BlackBerry Onyx"nya dan kembali mendekati saya. Rada gondok, saya omong," Lha pantes sampeyan membela Mas. Makelar, saya sudah jelas sekarang Tro, soale sampeyan juga ternyata memaksakan diri pake BlackBerry yang terbaru, yang wis nglumpati kapasitasmu, wong baru seminggu yang lalu masuk majalah, bahkan Mr. Konglomerat saja, pakai seri dibawah punyamu lho Tro! Pancen, memang keliwatan tenan sampeyan iki", Sastro kaget, dia rada bingung,"mBlekMberi apa tha mas?"."Tidak usah berlagak pilon, lha coba keluarkan handphone mu, Tro!", perintah saya. Dengan malu-malu dan campur bingung, Sastro mengeluarkan ‘BlackBerry’nya. Lho, kok rada aneh? Saya mengamati tulisannya: BreakBerry, apa maneh ini? Berry terbelah? Kok break? Saya periksa, walah, kok kreyot-kreyot? Weleh palsu! Asem, malu bener saya, sudah bersyak wasangka. "Weh Tro? Beli di mana? Iki persis BlackBerry tipe terbaru, tapi ini made in China".

Sastro lega, dan karena permainan akting saya yang sangat smooth, dia sampai lupa akan sikap interogatif saya tadi. "Tuker Mas, sama tukang kredit yang suka mampir ke rumah", bangga Sastro. " Lho terus hp bekasku yang tak kasih dulu sampeyan tukar barang palsu ini?", kaget saya. " Iya Mas, biar seperti Mas, siapa tahu bisa ikutan nulis artikel juga. Eh … kalo BlekBeri nya palsu nanti tidak berpengaruh ke hasil tulisan kan Mas?". Saya cuma diam, geleng kepala," Ora Tro, enggak papa, sama saja, mesin tidak berpengaruh ke hasil cerita". Kepala saya agak pening, saya ingat hp saya yang sebekas-bekasnya masih asli, dibanding BreakBerry-nya Sastro itu.

cerita sastro yang lain:

http://www.kompasiana.com/tag/sastro/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun