Mohon tunggu...
daniel tanto
daniel tanto Mohon Tunggu... Montir - melukis dengan cahaya, menulis dengan hati...

bekerja di institusi penelitian suka menulis, memotret, dan berfikir

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pada Sebuah ATM...

17 Maret 2010   10:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:22 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_95903" align="aligncenter" width="500" caption="menunggu dalam hujan - foto: daniel tanto -"][/caption]

Siang ini berwajah sore. Mendung tebal menggantung diam. Tanpa angin. Temaram suasana. Jika bisa, Jingga ingin pulang saja ke kantornya. Duduk minum kopi hangat di kantor sambil mengerjakan pembukuan di depan komputer. Internet banking yang terganggu mendamparkannya di sederetan ATM di sebuah halaman bank. Hari ini kantornya harus transfer ke pemasok. Lebih malang lagi ternyata ATM juga offline, tidak bisa dipakai bertransaksi. Dalam bosan dia mengutak-atik HPnya, main game, menilikFacebook, dan membaca-baca berita. Bosan sudah melanda dan ATM tak kunjung bisa dipakai bertransaksi. Jingga menatap sekelilingnya, hampir semua sudah menyerah, dan tinggal 3 orang yang bertahan di teras kotak-kotak ATM. Dalam keheningan hujan datang. Deras. Dingin. Lembab. Semua tetap diam, semua menatap hujan. Pandangan Jingga tertumbuk pada seorang lelaki, wajahnya nampak seperti orang sedih. Umur sekitar 35-40th an, duduk di tangga teras ATM. Pakaiannya tidak jelek, sepertinya dia bukan orang berkekurangan. Lelaki itu memang sedari tadi duduk di sana. Di depan lelaki itu tergeletak beberapa puntung rokok. Cukup banyak. Sepertinya dia menunggu sesuatu. Merasa diperhatikan, lelaki itu tersenyum dan mengangguk kecil pada Jingga. Jingga merasa malu, dia membalas anggukan itu. "Menunggu ATM online, jeng?" Jingga mengangguk, dia merasa orang ini agak lain, menyapanya dengan "jeng", sapaan khas jawa untuk perempuan yang lebih muda, sapaan terhormat, dan jarang dipakai lagi. Biasanya semua orang di"mbak"kan oleh orang yang tidak dikenal. "Duduk saja, tidak kotor kok" Lelaki itu mencoba membersihkan tangga teras dengan tissue yang dibawanya. Entah mengapa, Jingga merasa lelaki ini bisa dipercaya, dan tidak bermaksud aneh-aneh kepadanya. Jinggapun mengucap terima kasihdan duduk di sebelah lelaki ini. "Mungkin masih lama, jeng" "Hehe, saya harus mentransfer hari ini mas, jadi saya tunggu saja" "I see. Nama sayaBimajeng, seperti yang di wayang itu" "Saya Jingga" "Nama yang benderang" Jingga tertawa, ternyata Bima tidak semurung wajahnya. Menit-menit berlalu bersama hujan, obrolan standard terjadi, dari pekerjaan dan alumni mana. Wajar dan datar saja. Tetapi Jingga merasa lelaki ini cukup menarik. "Mas juga mau transfer?" "Ah, tidak jeng. Jingga, saya sedang menunggu" "Menunggu?" "Iya, menunggu anak saya" "Oh, anaknya sekolah dimana?" "Anak saya belum sekolah jeng Jingga" "Lho? Sama ibunya belanja di supermarket depan?" Kebetulan di depan bank ada sebuah supermarket. "Tidak jeng, anak saya hilang" Jingga merasa lelaki ini agak aneh, jawabannya mengagetkan. "Kok? Hilang?" "Saya cerita dulu jeng Jingga, saat ini kalau saya bisa ketemu anak saya, mungkin usianya sudah 6 th, saya kehilangan anak saya 4 th lalu, saat itu dia berusia 2 th" Bima melanjutkan ceritanya. Saat itu dia sangat sibuk bekerja, usahanya sedang dalam posisi menanjak. Sementara itu istrinya juga sedang cemerlang karirnya. Kebetulan hari itu pengasuh anak cuti mendadak. Istri Bima tidak mungkin membawa anak mereka ke kantor. Mertuanya di luar kota, dan orang tuanya sendiri bukanlah orang yang bisa dititipi cucu sewaktu-waktu karena mereka juga bekerja. Bima akhirnya membawanya bekerja, rasa cintanya yang membuatnya memutuskan itu. Siangnya ketika itu juga terjadi gangguan internet banking, sama seperti hari ini, sehingga memaksa Bima keluar kantor, pergi ke ATM. Kebetulan anaknya sama sekali tidak mau ditinggal, sehingga Bima membawanya ke ATM. Ditengah kesibukannya melakukan transfer dan mengecek transaksi di ATM, Bima tidak menyadari bahwa anaknya tidak ada. Ketika tersadar, dan melaporkan ke satpam, tidak ada yang melihat. Hasil rekaman di kamera pengawas ATM hanya memperlihatkan anaknya keluar dari kotak ATM, dan itu tidak memberikan pencerahan sedikitpun tentang kekberadaan anaknya. Polisi dihubungi, pencarian dilakukan. Dari hal paling masuk akal, sampai yang tidak masuk akal seperti bertanya pada “orang pintar” pun sudah dihalalkan. Semua menghasilkan nol. Anakknya seperti ditelan bumi. Tanpa penculikan. Hanya “hilang”. Bima sampai hari ini sangat susah mempercayai hal tersebut. Jingga ternganga. Benar-benar kaget. "Sampai sekarang saya masih menyesali kelalaian saya, hanya 10 menit saya tidak mengawasi Karma, itu nama anak saya, dan kelalain 10 menit itu merubah seluruh jalan hidup saya. Saya merasa bersalah, sekaligus marah, dan belum lagi kesedihan saya. Istri, mertua, danorang tuasaya sendiri ikut menyalahkan saya atas hilangnya Karma. Akhirnya karena cek-cok terus berlajut, konflik demi konflik, dan akhirnya istri saya menceraikan saya. Saya sempat shock beberapa bulan. Dan setelah setahun lewat, saya mulai baru bisa menata kembali hidup saya. Tapi jika saya teringat kembali akan anak saya. Saya ke ATM ini, saya berharap dia bisa kembali, dan bertemu saya di tempat ini. Tempat hilangnya separuh nyawa saya. Tempat di mana seluruh hidup dan kebahagiaan saya hilang. Hanya dalam beberapa menit saja" Rokok terus dikepulkan, dan mata Bima mulai berkaca-kaca. Jingga merasa tidak tahu mau berbuat apa. "Saya turut berduka mas.." "Terima kasih, maaf, malah saya cerita yang bukan-bukan" "Saya cek ATMnya dulu ya mas" "Ya, silakan saja" Jingga meninggalkan tempat duduknya, ternyata ATM sudah bisa dipakai, dalam 20 menit Jingga menyelesaikan seluruh pekerjaanya. Agak terburu-buru. Rasa simpatinya akan kemalangan lelaki itu membuat dia ingin sekedar menemaninya. Jingga membuka pintu ATM, dan mungkin ini rasa yang dirasakan Bima ketika dia membuka pintu ATM dan menyadari Karma, anaknya sudah tidak ada. Teras ATM itu kosong, hanya setumpuk puntung rokok yang menjadi bukti keberadaan Bima. Jingga merasa kehilangan, walau sedikit, tapi terasa, ulu hatinya serasa berongga. Sesudah pertemuan aneh itu, jika Jingga ke ATM itu, dia masih sering mencari-cari, siapa Jingga bisa bertemu Bima sedang menunggu anaknya di situ.

Yogya, 17 Maret 2010

( berkhayal di depan mesin ATM yang mogok kerja)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun