Mohon tunggu...
Daniel SetyoWibowo
Daniel SetyoWibowo Mohon Tunggu... Tutor - Tutor kelompok belajar anak-anak

Seorang warga negara Indonesia yang mau sadar akan kewarganegaraan dengan segala ragam budaya, agama, aliran politik, sejarah, pertanian / kemaritiman tetapi dipersatukan dalam semangat nasib dan "imagined communities" yang sama Indonesia tetapi sekaligus menjadi warga satu bumi yang sama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Peringatan Kemerdekaan dan Transfigurasi Indonesia

1 Agustus 2019   05:00 Diperbarui: 1 Agustus 2019   05:09 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak memberi penghormatan kepada Sang Saka Merah Putih. Sumber foto : blogspot.com/Hideto hada

Atau meminjam kalimat Daoed Joesoe (Kompas, Kamis, 7 April 2016) " ...bahwa batas limit potensi kekayaan bumi kita masih jauh di depan. Namun, kita terhenti, mati langkah, karena sudah mentok di batas limit keintelektualan kita."

Kondisi semacam ini mirip dengan apa yang diungkapkan filsuf sejarah Oswald Spengler dalam "The Decline of the West" (Keruntuhan Peradaban Barat) seperti diungkapkan Prof. Dr. Sartono Kartodirdjo dalam "Beberapa Pandangan Sosial-Kultural mengenai Krisis Dunia dan Kedudukan Indonesia di Dalamnya" dalam Prof. Dr. Teuku Jacob, M.D. Semangat Kecendikiaan Menggalang Perdamaian Dunia (1994). Bahwa peradaban Barat akan mengalami masa senja dan runtuh, seperti peradaban-peradaban lainnya yang mengalami silih berganti kelahiran dan keruntuhannya. 

Peradaban mengalami kemunduran bila kepemimpinan tidak lagi memiliki kreativitas di satu sisi. Artinya, para pemimpin hanyalah epigon-epigon. Gagasan yang ditebar ternyata hanyalah kedok untuk kepentingan pribadi. Dan, di sisi lain rakyat terpecah belah dalam kelas-kelas, klik partai-partai.

Pandangan semacam ini adalah pandangan pesimisme karena tidak melihat kemungkinan lain di luar kendala dan keterbatasan-keterbatasan. Munculnya Negara Kemakmuran (welfare state) dalam peradaban Barat setelah Perang Dunia II seperti kita lihat dewasa kini, justru di luar imajinasi Spengler karena tidak mampu mengadakan suatu transendensi.

Revolusi Mental

Presiden Joko Widodo terpilih menjadi Presiden RI salah satunya karena `istilah "Revolusi Mental" yang segera bertebaran di mana-mana setelah istilah "blusukan". Kemudian istilah ini diterjemahkan dalam kalimat-kalimat di Nawacita.

Ini menandakan bahwa para warganya menyadari akan krisis dan pesimisme yang berkecamuk tetapi sekaligus ada harapan untuk keluar dari keterbatasan-keterbatasan dan kendala-kendala itu secara cepat dan mendasar.

Jauh sebelum istilah "Revolusi Mental" muncul, Sartono Kartodirdjo sudah menyerukan suatu "Revolusi Kultural dan Revolusi Integratif" (1994) yang juga ditanggapi budayawan Umar Kayam. Diserukannya "Revolusi Kultural dan Revolusi Integratif" karena berkecamuknya gejala-gejala krisis di mana-mana di dunia ini, termasuk Indonesia.

Namun, menariknya disamping gejala-gejala itu, juga dilihat segi-segi positif yang sebenarnya sudah terbangun dengan baik di Jawa atau Indonesia. Kultur feodalisme yang sering disebut-sebut sebagai biang keladinya, ternyata juga dilihat hal-hal positif, seperti pemikiran sinkritisme yang justru mempertemukan aliran kebudayaan dari luar dan atas dengan aliran dari dalam dan bawah, antara Tradisi Besar dan Tradisi Kecil.

Dan, dari pertemuan inilah kita bisa melihat munculnya jenius-jenius Indonesia dalam momentum yang pas dan kreatif seperti kita saksikan dalam monumen-monumen, lembaga-lembaga, sistem nilai, dan sebagainya. Jadi, sudah ada potensi dan pernah terjadi suatu revolusi kultural dan integratif ini.

Contoh yang menonjol adalah munculnya Bahasa Indonesia sebagai Bahasa nasional. Ini adalah revolusi kultural. Namun, gejala dewasa kini menyangkal hal itu. Banyak orang tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasannya dalam Bahasa Indonesia dengan lancar, selain memamerkan kosa-kata asing tanpa proses naturalisasi, dicomot begitu saja. Sementara bahasa-bahasa daerah yang menopang Bahasa Indonesia banyak yang sudah punah.

Apa yang ingin dikatakan adalah lemahnya etos bangsa seperti ditulis Alfian memang nyata. Namun, kita tidak boleh berhenti di sini. Kita perlu menemukan segi-segi positif, menemukan cakrawala baru dari potensi-potensi yang sudah ada tanpa harus tergesa-gesa melompat ke dalam dunia mimpi hanya karena ingin menunjukkan etos itu secara fisik dengan proyek-proyek raksasa. Padahal dengan itu tanpa sadar banyak terjadi yang sebenarnya memperkukuh etos, malah tergerus seperti penghormatan terhadap nilai-nilai HAM, lingkungan hidup, etika, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun