Mohon tunggu...
Daniel Ronaldo Pangestu
Daniel Ronaldo Pangestu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di Universitas Bunda Mulia Fakultas Teknologi dan Design Prodi Teknik Informatika

Mahasiswa di Universitas Bunda Mulia Fakultas Teknologi dan Design Prodi Teknik Informatika

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Vaksin Sudah Ada, Tingkat Infeksi Sudah Mulai Menurun, Beraktivitas di Luar Aman atau Tidak?

9 Juni 2021   05:00 Diperbarui: 9 Juni 2021   05:06 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada Desember 2019 lalu, sebuah varian virus baru dari jenis Coronavirus melanda kota Wuhan, Cina. Dikenal pada awalnya dengan sebutan Pneumonia Wuhan, WHO memberikan kode internasional untuk mengenali virus ini dengan sebutan SARS nCoV-2, sebelum mendapat nama umum menjadi Covid-19, dalam hitungan bulan, virus ini menyebar ke seluruh dunia melalui jalur transportasi komersil laut dan udara. Pandemi terjadi dalam skala global, dan Indonesia tentu saja termasuk sebagai negara yang terdampak.

Dengan media penyebaran utama berupa droplet dan daya tahan virus yang cukup tinggi diluar lingkungan organisme yang berfungsi sebagai carrier, Covid-19 menjadi virus yang memiliki efektivitas infeksi yang sangat tinggi, dengan mortality rate secara global diperkirakan sebesar 3.4% menurut World Health Organization. Menyikapi hal ini, masing-masing negara memberlakukan kebijakan masing-masing untuk menanggulangi dan menghambat penyebaran virus. Respon yang diberikan, sayangnya, tidak memiliki keselarasan dalam skala global.

Sebagian negara menanggapi dengan cekatan, dan selalu berpedoman pada perkembangan sains terbaru. Contoh terbaik untuk pernyataan ini adalah Korea Selatan, yang melakukan dua tahap paling penting dalam menangani pandemi dengan sangat baik, yaitu tes covid secara agresif dan contact tracing. Ada pula negara yang mengalami kesulitan untuk menerapkan kebijakan yang benar, dikarenakan faktor internal dari struktur sosial masyarakatnya seperti India yang hingga saat ini masih melakukan berbagai kegiatan yang dengan sangat jelas bersifat kontradiktif terhadap penanggulangan pandemi seperti festival, demonstrasi, dan mass transport yang tidak memiliki regulasi ketat terkait situasi pandemi di negaranya. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sendiri menanggapi Covid-19 dengan respon yang tergolong lambat. Sejak kasus pertama Covid-19 di Indonesia terkonfirmasi pada 2 Maret 2020, pemerintah tidak segera melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengetahui jangkauan, pola, klaster, dan persebaran infeksi yang mungkin saja tidak terdeteksi atau mengalami salah diagnosa. Respon pemerintah terbatas pada contact tracing, dan hal tersebut terbukti tidak cukup untuk menjadi sumber data yang dapat diolah menjadi informasi untuk merespon pandemi dengan lebih baik. Bahkan, walaupun kasus pertama terdeteksi pada bulan Maret, respon skala besar pertama yang dilakukan oleh pemerintah pusat berupa Pembatasan Sosial Berskala Besar atau yang sekarang kita kenal dengan sebutan PSBB, baru diberlakukan pada bulan April, sebulan sesudah kasus tersebut terdeteksi dan jumlah kasus terkonfirmasi skala nasional sudah meningkat dari 2 menjadi 117.

PSBB sendiri merupakan interpretasi lokal dari metode utama yang disarankan WHO untuk mengurangi transmisi virus, yaitu global social distancing. Secara umum, Covid-19 hanya bertahan beberapa hari di lingkungan yang tidak mendukung perkembangannya seperti permukaan dari material anorganik seperti logam dan kayu. Hal ini berarti, social distancing yang berlaku dalam skala besar dapat mematikan seluruh potensi penyebaran Covid-19 pada fasilitas umum karena tidak ada manusia yang melakukan kontak fisik untuk meninggalkan jejak virus potensial pada tempat yang rawan sentuh seperti gagang pintu, pagar pembatas, dan tombol elevator. Implikasi dari kondisi ini adalah penurunan risiko transmisi virus secara keseluruhan.

Selain itu, transmisi juga dapat dikurangi jika kita mengetahui cara untuk membersihkan area yang berpotensi mengandung partikel virus, sehingga produk sanitasi seperti hand sanitizer dan alkohol komersil dapat berfungsi sebagai disinfektan siap pakai yang dapat diakses oleh sebagian besar masyarakat umum. Hal ini mencakup poin utama kedua yang disarankan oleh WHO untuk merespon Covid-19, yaitu menjaga sanitasi pribadi.

Akan tetapi, poin terpenting untuk mencegah penyebaran pandemi tetap saja ada pada pembatasan human-to-human contact, dan hal ini mengakibatkan begitu banyak perubahan radikal dalam siklus global commute. Kini, begitu banyak pekerjaan yang dialihkan menjadi sistem WFH (Work from Home), sehingga kuantitas, frekuensi, dan skala dari transportasi global mengalami penurunan dalam jumlah besar. Hal ini tentu menyebabkan masalah baru yang muncul pada masyarakat dengan kemampuan adaptasi perubahan kebiasaan hidup yang rendah, yaitu rasa bosan. Walaupun kini banyak sekali layanan personal yang kini bisa diakses secara digital, pada dasarnya selalu dibutuhkan kegiatan yang dilakukan diluar rumah. Pembatasan gerakan publik memang terbukti menurunkan angka penyebaran virus, akan tetapi, jika penanganan pemerintah berhenti di tahap tersebut, maka masalah baru yang muncul memiliki skala yang jauh berbeda, dengan metode penanganan yang jauh berbeda pula, yaitu masalah psikologis yang terjadi dalam skala nasional pada berbagai rentang usia. Lantas, bagaimana kita mengambil jalan tengah dari situasi ini?

Kegiatan diluar rumah pada masa pandemi memang memiliki risiko tersendiri, akan tetapi risiko tersebut dapat diminimalisir melalui herd immunity yang kini dapat mulai diterapkan sejak mulai diberlakukannya program vaksinasi secara global. Herd immunity adalah bentuk perlindungan tidak langsung dari penyakit menular yang dapat terjadi ketika persentase yang cukup dari suatu populasi telah menjadi kebal terhadap infeksi penyakit tersebut, biasanya melalui vaksinasi, sehingga mengurangi kemungkinan infeksi bagi individu yang tidak atau belum memiliki kekebalan terhadap penyakit yang bersangkutan. Di Indonesia sendiri, herd immunity sudah mulai bisa terbentuk dalam jangka waktu yang tidak terlalu jauh dari sekarang karena program vaksinasi nasional yang sedang berjalan.

Akan tetapi, herd immunity tidak akan terbentuk apabila orang-orang yang sudah memiliki kekebalan tersebar terlalu tipis dan terlalu sering melakukan kontak dengan orang lain yang belum memiliki kekebalan. Poin saya ini dapat dibuktikan dengan dua contoh kasus, yaitu gelombang 2 pandemi Covid-19 di India, dan arus mudik di Indonesia pada musim lebaran terakhir.

Di India, kewaspadaan masyarakat secara keseluruhan menurun dikarenakan pemerintah India memberikan pengumuman dini bahwa negaranya akan segera bebas dari Covid-19 karena sudah ditunjuk menjadi salah satu produsen vaksin utama. Seluruh mitigasi penanggulangan pandemi berhenti, dan sebagai hasilnya India kini mengalami gelombang pandemi yang jauh lebih besar dari dua tahun lalu, dengan fatality rate jauh diatas negara lain karena negaranya memiliki tingkat kesiapan medis yang rendah.

Sementara di Indonesia, arus mudik lebaran tahun ini mengakibatkan peningkatan kasus terkonfirmasi pada skala nasional. Diperkirakan sekitar satu juta orang penduduk memaksa untuk kembali ke daerahnya masing-masing, dengan penerapan protokol kesehatan yang sangat-sangat terbatas. Hal ini jelas akan menjadi sumber klaster Covid-19 baru, yang akan menunda selesainya pandemi secara keseluruhan di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun