Mohon tunggu...
Daniel Kalis
Daniel Kalis Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Ingin meraih mimpi lewat untaian kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan yang Diperkecil

11 September 2020   15:15 Diperbarui: 11 September 2020   15:30 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: christianlyricsonline.com)

Masyarakat kita sedang mengalami berbagai macam penyempitan di dalam kehidupan. Penyempitan yang dimaksud adalah semakin sempitnya imajinasi seseorang tentang kehidupan. Saya coba mengambil contoh tentang bahan makanan pokok. Kita memiliki beragam jenis bahan makanan pokok, tetapi sekarang mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi nasi. 

Gambaran yang lebih besar tampak di dalam penghargaan terhadap kualitas hidup seseorang. Di dalam hidup kita sering menemukan orang dianggap kaya kalau ia memiliki banyak harta, dalam konteks ini dapat berarti uang. Sementara mereka yang memiliki kebijaksanaan, mereka yang bekerja dengan pengabdian, mereka yang dengan rela berjuang jatuh bangun menyelamatkan keluarga tidak dianggap kaya. 

Di sekolah, kepandaian diperhitungkan dalam konteks jurusan. Kalau orang bisa memasuki kelas IPA, dia dianggap pintar, sementara kelas lain dianggap kelas buangan. Saya masih ingat betul ada seseorang yang mengatakan kepada teman saya, "Lah, kamu bisa masuk IPA kok malah masuk IPS". 

Di sinilah kita sedang berhadapan dengan situasi dunia yang pola pikirnya semakin sempit. Secara rohani saya mengatakan, "Ada upaya untuk mempersempit karya Allah". Anak tidak bisa bersyukur atas bakat musiknya, karena ia bodoh dalam pelajaran matematika. Orang tidak bisa memandang pekerjaan guru secara mulia hanya karena gajinya yang tidak seberapa. Orang tidak bisa memandang hidup dalam gaya khusus seperti imam, bruder dan suster sebagai sesuatu yang mulia karena memandang bahwa ukuran kehebatan adalah kepemilikan.

Let Go and Let God

Saya pernah membaca tulisan Mgr. Suharyo pada tahun 2007 yang mengatakan tentang sebuah spiritualitas, "Let Go and Let God". Secara bebas kalimat tersebut diterjemahkan dengan "Tanggalkan dirimu dan biarkan Tuhan menuntun hidupmu". Ungkapan ini amat mengena karena memang demikianlah realitas kehidupan. Dalam hidup kita mungkin sering terperosok dalam kesempitan pola pikir. 

Sekali lagi, Tuhan punya seribu satu macam cara untuk memberikan kehidupan kepada kita masing-masing. Sayangnya, tak jarang kita terlalu sempit memaknai kehidupan. Orang yang sudah punya banyak pengalaman dan bisa memaknai pengalamannya tentu akan tahu apa artinya, 

"Jika Tuhan tidak membuka pintu, pasti di tempat lain ia membuka jendela".

Hidup ini penuh dengan kejutan dan itulah yang membuat kehidupan menjadi menarik. Sayangnya generasi ini tidak terbiasa dengan kejutan dan sejak kecil kita dibiasakan dengan sesuatu yang normal dan wajar.  Anak-anak terbiasa dengan mainan yang aman yaitu game online, sementara dulu anak biasa main di sungai, main di pinggir sawah, dan berlari-larian sehingga terbiasa dengan berbagai kemungkinan cidera. 

Permainannya pun mengharuskan untuk siap dengan posisi kalah dan terbuka pada solidaritas mengingat permainan dilakukan dalam tim. Sementara ada kecenderungan orang-orang zaman sekarang terdorong untuk terus mengejar kemenangan. Kalau tidak menang, maka itu tidak berarti. Kembali kita mengenal satu sikap yang mempersempit karya Allah. Semangatnya tentu berbeda dengan apa yang ditawarkan oleh Mgr. Suharyo, "Let Go and Let God".

Allah yang Kaya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun