Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrat Telah Kembali ke Jalan yang Benar, PPP dan PAN Segera Menyusul?

20 September 2014   16:37 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:08 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1411180475630805699

Akhirnya Ketua Umum Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)  menuruti cara berpikir rasional, dan mendengar hati nuraninya, membawa partainya kembali ke jalan yang benar, dengan mengubah sikap partainya berbalik mempertahankan sistem pilkada langsung, dengan sejumlah syarat yang harus diperbaiki. Syarat-syarat tersebut sudah tercantum di RUU Pilkada versi langsung.

"Partai Demokrat, saya pribadi melihat ada dua aspek penting yang mesti kita lihat secara jernih. Pertama begini, sistem pemilihan kepala daerah langsung ini sudah berjalan selama 10 tahun. Rakyat sudah terbiasa," kata SBY dalam sebuah wawancara di akun “Suara Demokrat” di YouTube yang diunggah pada Minggu (14/9/2014) malam.

“Sudah sepuluh tahun rakyat sudah terbiasa dengan pilkada langsung” yang disebutkan SBY itu bermakna filosofi bahwa pilkada langsung itu memang sudah sangat sesuai dengan aspirasi rakyat, karena itu dengarkanlah, dan laksanakanlah. Jangan sekali-kali mencoba mengkhianatinya!

SBY mulanya sebagai pihak pemerintah adalah inisiator dari perubahan sistem pilkada tersebut (2012), dalam prosesnya terjadi beberapakali perubahan: semula yang dikehendaki adalah gubernur dipilih oleh DPRD, dan bupati/walikota dipilih langsung. Lalu, berubah menjadi sebaliknya, gubernur dipilih langsung, bupati/walikota oleh DPRD, sampai datanglah Koalisi Merah Putih (KMP)  yang baru saja menderita kekalahan di Pilpres 2014.

Dengan dikoordinir oleh Partai Gerindra yang nota bene capres-nya baru saja kalah dari Jokowi itu, KMP memanfaatkan RUU Pilkada yang sedang dibahas itu dengan mendorong sepenuhnya perubahan sistem pilkada dari langsung menjadi tidak langsung, dengan argumen-argumennya yang sangat mudah dipatahkan. Padahal, sebelumnya Gerindra termasuk parpol yang menolak gagasan pemerintah untuk mengubah sistem pilkada menjadi pilkada tidak langsung. Mendadak, setelah kalah di Pilpres dan MK, berubah menjadi pendukung utama pilkada tidak langsung itu (Tempo.co).

Sangat jelas, perhitungan mereka adalah karena mereka mayoritas nyaris di semua DPRD, maka dengan pilkada oleh DPR hampir pasti dimenangkan mereka semua. Dengan melakukan sapu bersih kepala daerah di seluruh Indonesia, mereka diduga akan melancarkan politik “desa mengepung kota”, mengepung Jokowi untuk dilemahkan, sehingga pemerintahan yang dijalankannya menjadi tidak efektif.

Demokrat sebagai parpol pemerintah, penggagas RUU Pilkada itu, meskipun tak bergabung dengan KMP, juga mendukung pilkada tidak langsung itu. Demikian juga dengan PAN, Golkar, dan PPP, yang sesungguhnya mendukung Gerindra (Prabowo) karena tidak berhasil mendekati PDIP (Jokowi) menjelang Pilpres, memilih ikut satu suara berseberangan dengan PDIP. Tentu saja hal ini sangat menguntungkan Gerindra untuk memuluskan rencananya mengepung Jokowi itu, karena perolahan suara KMP secara total jauh mengungguli PDIP, PKB, dan Hanura yang mendukung tetap mempertahankan pilkada langsung.

Terjadilah gejolak demokrasi di masyarakat akibat rencana disahkan RUU Pilkada tidak langsung itu. Merasa demokrasi hendak dikhianati, dan daulatnya hendak dirampas oleh prapol-parpol itu, terutama oleh KMP, muncullah semakin lama semakin banyak dan masif protes, kritik,  kecaman, peringatan, dan dukungan dari berbagai elemen masyarakat; masyarakat biasa, tokoh masyarakat, LSM, media massa, pakar hukum tata negara, pengamat politik, sampai dengan para bupati/walikota, dan gubernur yang bergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi),  Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), dan Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), menolak pilkada tidak langsung, mendukung pilkada langsung.

Setelah menyaksikan aksi-aksi penolakan pilkada tidak langsung yang semakin lama semakin membesar dari masyarakat itu, merenungkan dan meresapi bahwa dia sendiri adalah hasil produk pertama pemilihan presiden secara langsung, dan selama sepuluh tahun memerintah menyaksikan sendiri bagaimana antusiasime rakyat terhadap pilkada langsung, SBY pun menetapak keputusannya, untuk kembali mempertahankan sistem pilkada langsung.

Di penghujung masa jabatannya sebagai Presiden, SBY telah melakukan suatu keputusan yang sangat tepat menyangkut persoalan bangsa yang sangat penting dan vital itu. SBY pasti tidak mau mempertaruhkan reputasinya selama sepuluh tahun yang relatif baik itu, dengan menentang arus aspirasi rakyat itu. SBY pasti tidak mau  gara-gara menentang suara rakyat, kemudian dicatat namanya di dalam sejarah hitam demokrasi Republik ini.

Pada Jumat, 19 September 2014, Ketua Harian DPP Partai Demokrat Syarief Hasan mengumumkan sikap resmi Partai Demokrat yang diputuskan berdasarkan pernyataan SBY itu. Yakni, menegaskan bahwa  Demokrat mendukung pelaksanaan pilkada tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat. Demokrat menilai, katanya, pilkada langsung dianggap wujud penghormatan atas nilai-nilai demokrasi yang telah berjalan.

Bahwa keputusan SBY dan Partai Demokrat itu merupakan suatu keputusan yang sangat tepat, terbukti dari hasil survei yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil survei itu memperlihatkan mayoritas publik setuju (76,90 persen) jika Demokrat kembali mendukung pilkada langsung dari semula mendukung pilkada tak langsung. Hanya 8,74 persen yang tidak setuju. Yang menjawab tidak tahu atau tidak menjawab 14,37 persen. Hasil survei ini dipaparkan peneliti LSI Ardian Sopa, Kamis, 18 September 2014. Artinya, sikap Demokrat yang mendukung pilkada langsung telah memenuhi keinginan dan harapan publik (aspirasi rakyat) (Kompas cetak, Jumat, 19/9/2014).

Sebelumnya, hasil survei yang dilakukan oleh Litbang Kompas mengenai kontroversi pilkada langsung/tidak langsung itu menunjukkan hasil 87,6 persen responden menghendaki pilkada langsung, dan hanya 10,2 persen yang menghendaki pilkada tidak langsung, sisanya 2,2 persen menjawab tidak tahu (Kompas cetak, Jumat, 5/92014).

Semakin tak diragukan lagi itulah sesungguhnya “Vox populi, vox dei”, suara rakyat, suara Tuhan.

SBY (Demokrat) akhirnya mengambil keputusan yang tepat, mengikuti suara hatinya untuk ikut apa yang menjadi kehendak rakyat, masihkah parpol-parpol lain, yang di KMP, yang masih tetap mau bersikukuh melawan aspirasi rakyat? Mengutamakan ambisi politik pragmatisnya di atas kehendak rakyat? Itu sama saja dengan bunuh diri, karena rakyat pasti akan menghukum mereka. Saatnya akan tiba pada pemilu 2019, dengan tak lagi memilih mereka. Masih cukup waktu, untuk mengikuti jejak Demokrat, kembali ke jalan yang benar!

Dilihat dari pergerakan politik yang berkembang sampai saat ini, setelah Demokrat, kelihatannya akan segera menyusul dua parpol lainnya yang berubah haluan dengan ikut mendukung pilkada langsung. Dua parpol itu adalah PPP dan PAN. Indikasinya semakin kuat dengan hadirnya dua petinggi kedua parpol tersebut di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) IV PDIP, yang dibuka pada Jumat, 19 September kemarin, di Semarang, Jawa Tengah.

Dari PPP kehadiran tersebut diwakili oleh Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PPP Emron Pangkapi dan Wakil Sekretaris PPP, Ihsa Muhsin. Dari PAN diwakili oleh Sekretaris Jenderal PAN Taufik Kurniawan, didampingi Tjatur Sapto Edi dan Drajat Wibowo.

Dari kronologisnya, sebetulnya sejak semula PPP hendak bergabung dengan PDIP, tetapi diganjal oleh Ketua Umumnya Suryadharma Ali, yang pada 23 Mei 2014 telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana haji oleh KPK. Sedangkan di PAN, pengganjal utamanya adalah Ketua Majelis Pertimbangan PAN Amien Rais. Sedangkan di Golkar pengganjal utamanya adalah Ketua Umumnya Aburizal Bakrie.

Sebagai reaksi atas pertemuan antara Hatta Rajasa dengan Jokowi dua minggu lalu di rumah Surya Paloh, Jakarta, Amien Rais buru-buru mengundang beberapa pengurus PAN untuk melakukan pertemuan khusus. Di dalam pertemuan tersebut Amien Rais antara lain menyatakan target agendanya untuk menggulingkan Jokowi setelah satu tahun pemerintahannya berjalan (Majalah Tempo, 15-21 September 2014).

Di parlemen. hanya dengan bergabungnya Demokrat di pihak pendukung pilkada langsung, itu saja sudah cukup mengubah peta kekuatan. Dari semula KMP jauh mengungguli PDIP cs yang mendukung pilkada langsung, kini menjadi sebaliknya.

Sebelum Demokrat mendukung pilkada langsung, peta kekuatan di parlemen adalah 421 kursi dari KMP plus Demokrat yang pro pilkada tidak langsung, melawan 139 kursi dari PDIP, PKB, dan Hanura yang pro pilkada langsung.

Setelah Demokrat mendukung pilkada langsung, peta kekuatannya berbalik. Pro pilkada langsung (PDIPD cs), menjadi 287 kursi melawan 273 kursi dari KMP. Jika kelak jadi ditambah dengan PPP (38 kursi) dan PAN (46 kursi) lagi, maka keunggulan itu pun semakin jauh: 371 melawan 189.

Dengan kondisi seperti diuraikan di atas, maka sesungguhnya tidak ada alasan lagi buat PPP dan PAN untuk tetap bertahan di KMP, demikian juga Golkar, dengan syarat ketiga parpol tersebut harus bisa mengatasi, dan/atau menyingkirkan para dedengkot penghalang mereka kembali ke jalan yang benar itu.  Biarlah Gerindra dengan PKS melanjutkan sendiri aksi mereka menentang aspirasi rakyat! ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun