Pluralisme, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sudah ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan dari pluralisme, toleransi, persatuan dan kesatuan itu pula tercipta kekuatan-kekuatan maha dahsyat yang kemudian berhasil memerdekakan Indonesia dengan nama Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kenapa dipakai sebutan "kesatuan"? Karena Indonesia terdiri dari aneka suku bangsa, etnis, agama, budaya, dan bahasa yang bersatu-padu terus-menerus membangun bangsa dan negara ini.
Pluralisme yang bersatu, bhinneka tunggal ika, merupakan suatu keniscayaan, yang harus dijadikan kekuatan penting bangsa Indonesia. Itu pula yang dipikirkan oleh para pendiri Republik Indonesia, dan oleh karena itulah mereka tuangkan di dalam Pancasila yang dijadikan dasar negara (filosofi bangsa) Indonesia.
Pluralisme dan toleransi dalam perbedaan untuk satu tujuan itu pula sudah ada pada saat sejumlah pemuda yang terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis dan agama bersatu mengadakan Kongres Pemuda Kedua, di Jakarta (Batavia), pada 27-28 Oktober 1928, yang melahirkan satu konsensus yang terkenal dengan nama "Sumpah Pemuda" itu.
Menurut Buku Petunjuk Museum Sumpah Pemuda, ada sekitar 700 orang dari berbagai daerah, suku bangsa, etnis dan agama yang menghadiri Kongres Pemuda tersebut. Di antaranya ada Djuanda dan Poeradiredja (Sunda), Katjasungkana, Sartono, atau Sarmidi Mangunsarkoro (Jawa, Madura), Tjokorda Gde Raka Sukawati (Bali), Muhammad Yamin (Minang), Amir Sjarifudin (Tapanuli), Pantouw (Minahasa), Aitai Karubaba dan Poreu Ohee (Papua), ada pula orang Eropa dan Indo Eropa seperti pendeta van Hoorn, dan pemuda-pemuda Tionghoa, seperti Sie Kong Liong, Kwee Thiam Hong, Lauw Tjoan Hok, Ong Kay Sing, dan Tjio Djin Kwie.
Di dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda, disebutkan bahwa Kwee Thiam Hong adalah seorang pedagang Tionghoa yang tertarik dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia, ia kelahiran Palembang, dan oleh karena itu di Kongres Pemuda Kedua itu, dia menjadi anggota dari Jong Sumatera Bond.
Ia mengajak tiga sahabatnya, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie untuk ikut pergerakan kepemudaan di Kongres Pemuda Kedua itu.
Dalam sejarah Sumpah Pemuda, di antara para pemuda Tionghoa, Sie Kong Lian (kerap ditulis Sie Kong Liong) punya peran sangat penting, karena dialah pemilik rumah "Indonesische Clubhuis", di Kramat Raya 106, Jakarta, tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua, pada 28 Oktober 1928 itu.
Sie Kong Lian sedari awal sudah mendukung dan mengikuti pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda di zaman itu. Ia dengan sukarela menyediakan rumahnya itu sebagai tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua tersebut, meskipun dengan risiko tinggi, karena jika ketahuan pemerintah Kolonial Belanda (Hindia Belanda), ia bisa dipenjara.
Digunakannya rumah Sie Kong Lian sebagai tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua itu juga bukan merupakan suatu kejadian yang spontan.
Sejak 1908 rumah itu disewa untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat belajar oleh para pemuda pelajar dari Stovia (School dot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool). Salah satu dari para pelajar itu adalah Muhammad Yaman, yang kelak juga punya peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, dan berjasa dalam menetapkan Pancasila dan UUD 1945 bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan lain-lain.