Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

DPR vs KPK: Momentum Melakukan Pembersihan Besar-besaran di DPR

23 Juni 2017   12:41 Diperbarui: 23 Juni 2017   20:09 2215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kapolri Jenderal Tito Karnavian dan Ketua KPK Agus Rahardjo, bersatu melawan 'premanisme DPR' (Kompas.com)

"Premanisme DPR"

Yang saya lihat tentang sejumlah anggota DPR, khususnya mereka yang bertanggung jawab membentuk dan  bergabung di dalam Panitia Khusus (Pansus)  Hak Angket terhadap KPK, lebih tepat disebut sebagai seperti sejumlah preman daripada sejumlah anggota parlemen yang sebenarnya.

Mereka lebih tepat disebut “wakil koruptor” (yang bisa juga berarti mewakili mereka sendiri) daripada wakil rakyat, karena jelas sekali apa yang mereka perjuangkan dengan Pansus Hak Angket itu adalah semata-mata demi melindungi diri mereka sendiri dan kolega-koleganya dari potensi besar menjadi tersangka-tersangka baru dalam kasus mega korupsi proyek KTP elektronika (KTP-el).

Sama sekali tidak ada sedikitpun pun unsur kepentingan rakyat pada Pansus Hak Angket tersebut, sebaliknya justru yang ada adalah pengkhianatan terhadap kehendak rakyat.

Sebab yang dikehendaki rakyat itu adalah KPK dapat selancar dan secepat mungkin menuntaskan kasus mega korupsi KTP-el itu dengan melakukan tindakan hukum terhadap semua orang yang terbukti bersalah, terutama sekali sejumlah anggota DPR, yang pernah disebutkan nama-namanya di persidangan kasus korupsi KTP-el yang sedang berjalan di Pengadilan Tipikor, Jakarta itu.

Tetapi, yang dilakukan DPR adalah justru membentuk Pansus Hak Angket untuk melawan, dan menyerang balik KPK yang sedang bekerja keras mengejar para koruptor kelas kakap dan paus di kasus mega korupsi proyek KTP-el itu.

Perilaku anggota DPR yang sungguh-sungguh mengabaikan tugasnya sebagai wakil rakyat, dan lebih mementingkan kepentingan mereka sendiri; mengabaikan kepentingan rakyat, untuk memprioritaskan misi Pansus Hak Angket melawan KPK, terbukti dengan terang-benderang dari apa yang dilakukan oleh sejumlah anggota DPR yang juga anggota Pansus Hak Angket itu.

Seharusnya, sekarang ini mereka punya kewajiban untuk melakukan kunjungan kerja ke daerah pemilihan. Namun, mereka membatalkan kunjungan tersebut, karena harus menghadiri rapat Pansus Hak Angket tersebut.

Anggota Pansus Hak Angket dari Fraksi Partai Nasdem, Taufiqulhadi, misalnya, meninggalkan konstituennya di Jawa Timur, dengan alasan karena harus menghadiri rapat di DPR, Kamis (22/6).

Dalam surat undangan rapat panitia angket yang diterima pers, undangan dikirim Sekretariat Jenderal DPR, Rabu (21/6). Dalam surat itu disebutkan, rapat bersifat penting dan segera. Agendanya, membahas rapat-rapat panitia khusus angket KPK (harian Kompas, 23/6/17).

(e-paper Kompas)
(e-paper Kompas)
Cara Pansus Hak Angket memaksa KPK untuk membuka rekaman hasil pemeriksaan penyidik KPK terhadap politisi Partai Hanura, Miryam S Haryani, dan mewajibkan KPK menghadirkan Miryam yang sudah berstatus tersangka dan sedang ditahan KPK, di rapat Pansus Hak Angket, jelas tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sangat mengganggu, dan menjadi penghalang lajunya KPK mengusut tuntas kasus mega korupsi itu.

Perbuatan mereka itu sudah dapat dikategorikan sebagai tindakan “obstruction of justice”, yaitu perbuatan dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, atau terdakwa, atau saksi dalam perkara korupsi.

Suatu perbuatan yang diancam dengan hukuman minimal tiga tahun penjara, dan maksimal 12 tahun penjara (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Pansus Hak Angket terhadap KPK yang mereka bentuk pun itu sesungguh tidak sah, karena dibentuk tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MD3 Tahun 2014, yaitu bahwa Hak Angket itu adalah hak DPR untuk mengawasi Pemerintah dalam menjalankan undang-undang dan kebijakannya. Sedangkan, KPK  bukan bagian dari lembaga pemerintah, melainkan lembaga negara pemberantasan korupsi yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya  bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK).

Proses pembentukannya pun tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang MD3 Tahun 2014, karena diputuskan pembentukkannya lewat ketukan palu-nya Fahri Hamzah sebagai pimpinan sidang itu,  saat masih belum ada kepastian semua/sebagian besar anggota setuju atau tidak setuju; dan setelah dibentuk pun Pansus itu tidak meliputi semua fraksi yang ada di DPR (hanya 8 dari 10 fraksi), sebagaimana diwajibkan oleh undang-undang.

Karena tidak sah, maka semua yang dihasilkan dari keputusan Pansus tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum, sedangkan anggota DPR yang bertanggung jawab terbentuknya dan menjadi bagian dari Pansus Hak Angket itu dapat dikategorikan telah menyalahgunakan wewenangnya yang dapat  mengakibatkan terjadinya kerugian negara, dan oleh karena itu bisa saja dipidana.

(Selengkapnya bacaDPR vs KPK: Kejarlah Aku, Kau Kutangkap)

KPK Menolak

Dengan menggunakan strategi perang: serang lebih dulu, sebelum diserang; halangi dan lumpuhkan KPK terlebih dahulu, sebelum KPK menetapkan tersangka-tersangka baru di antara mereka di DPR, Pansus Hak Angket itu sudah melancarkan “serangan” pertama mereka, pada Jumat, 16 Juni 2017,  dengan mengirimkan surat kepada pimpinan KPK, meminta KPK menghadirkan tersangka  Miryam S Haryani pada Senin, 19 Juni 2017, pukul 14:00, di rapat Pansus Hak Angket.

Dalam hal ini kita harus melihat, apakah yang melakukan pemanggilan itu benar-benar mereka yang sedang menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat, ataukah wakil rampok?

Dengan surat balasannya bertanggal 19 Juni 2017, yang ditandatangani oleh Ketua KPK Agus Rahardjo, KPK dengan tegas menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan Pansus Hak Angket tersebut karena Pansus tersebut tidak punya landasan hukum yang sah, dan tindakan mereka memaksa KPK menghadirkan Miryam itu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang menghalang-halangi proses hukum yang sedang ditangani KPK (obstruction of law).

Adapun isi surat tersebut adalah sebagai berikut:

1. Bahwa sesuai dengan permintaan DPR kepada KPK untuk menghadirkan Saudari Miryam S Haryani guna mengklarifikasi terkait surat pernyataan saudari Miryam S Haryani, maka KPK tidak dapat memenuhi permintaan dimaksud dengan alasan:

a. Berdasarkan ekspose yang dilakukan terhadap perkara tersangka Miryam S. Haryani. Penyidik KPK menyimpulkan tidak dapat menghadirkan yang bersangkutan dalam Rapat Dengar Pendapat umum Pansus Angket KPK pada tanggal 19 Juni 2017

b. Berdasarkan Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, yang kemudian dalam penjelasan Pasal 3 disebutkan: dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kekuasaan mamapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pomberantasan Konupsi atau anggota Komisi secara individu dan pihak eksekutif yudikatif legislatif pinak pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi ataupun keadaan dan situasi ataupun dengan alasan apapun

"c. Surat permintaan untuk menghadihan Tersangka Miryam s Haryani ada ditandatangani oleh wakil Ketua DPR RI bukan oleh Ketua Pansus Angket DPR," kata Politikus Hanura itu.

Point d. Sampai saat ini KPK belum mengetahui secara resmi adanya Keputusan DPR tentang Pembentukan Pansus Angket DPR RI terhadap KPK. sedangkan berdasarkan pasal 202 ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan Panitia Angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara

Bahwa menurut pendapat KPK, upaya untuk menghadirkan Tersangka Miryam S Haryani dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindakan yang mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau obstruction Justice. Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001) dan Tersangka Miryam S Haryani saat ini sedang menjalani tahanan di KPK.

Mengancam KPK dan Polri

Demikian isi surat penolakan KPK atas permintaan Pansus Hak Angket tersebut, dengan alasan-alasan hukumnya yang jelas, benar, tepat, dan tegas.

Tapi, reaksi anggota DPR adalah marah. Mereka sangat marah kepada KPK yang berani menolak permintaan itu, dan di dalam amarahnya itu pun semakin memperlihatkan sisi premanisme mereka, yaitu mulai main ancam; mengancam KPK dan Polri,  tanpa memperdulikan dampaknya bagi kepentingan publik jika ancaman tersebut dilaksanakan.

Sudah begitu, masih ada muka, menyatakan dirinya sebagai anggota Dewan yang terhormat, dengan menuduh KPK tidak menghargai dan telah menghina DPR (contempt of parliament) karena menolak permintaan Pansus itu, dan karena KPK menyatakan Pansus telah melakukan obstruction of Justice,bahkan sampai mau lapor KPK ke polisi segala.

Padahal, sesungguhnya selama ini merekalah yang membuat DPR “terhinakan” dengan perilakunya yang dominan korup, sehingga membuat DPR menjadi lembaga negara yang paling tidak dipercaya rakyat. Survei Global Corruption Barometer menempatkan DPR sebagai lembaga paling korup di Indonesia pada 2016.

Kemarahan itu sesungguhnya diduga dipicu karena mereka panik, saat melihat strategi mereka mengganggu, menghalang-halangi, dan mencegah KPK melanjutkan proses pengusutan kasus mega korupsi KTP-el itu dengan cara memaksa KPK meladeni permintaan Pansus itu, mengalami kegagalan total.

KPK tak mau terpancing mengikuti irama permainan mereka, KPK tak terpancing untuk memecah konsentrasinya dari pengusutan kasus mega korupsi KTP-el itu dengan meladeni kehendak Pansus tersebut. KPK tetap berkonsentrasi penuh dengan pengusutan kasus mega korupsi itu, bahkan KPK telah mengisyaratkan, setelah Lebaran ini, akan mengumumkan tersangka(-tersangka) baru, yang berasal dari nama-nama yang pernah disebut di persidangan kasus tersebut.

Kepanikan dan kemarahan mereka semakin menjadi-jadi, saat harapan mereka, bisa meminta bantuan polisi memaksa KPK menghadirkan Miryam di rapat Pansus itu pun kandas, setelah Kapolri menegaskan Polri tidak bisa memenuhi permintaan panggil paksa Miryam yang sedang menjadi tahanan KPK itu, karena landasan hukumnya tidak jelas.

Kehendak Pansus menghadirkan Miryam ke rapat Pansus merupakan masalah politik, sedangkan polisi hanya berwenang menangani kasus hukum, bukan politik.

Mana mungkin, polisi menjalankan tugasnya demi kepentingan politik kelompok tertentu, apalagi kelompok yang justru terindikasi kuat terlibat di dalam kasus mega korupsi KTP-el yang sedang ditangani KPK itu.

Kemarahan DPR yang sekaligus memperlihatkan sisi premanisme mereka diperlihatkan oleh anggota Pansus Hak Angket dari PKS, Mukhamad Misbakhun.

Ia mengusulkan, dan tampaknya diterima baik oleh seluruh anggota Pansus, bahwa apabila sampai tiga kali diminta, KPK tetap menolak mengizinkan Miryam hadir di rapat Pansus, dan Polri juga tetap menolak membantu Pansus untuk melakukan pemanggilan paksa, maka DPR akan menahan (menyandera) anggaran tahun 2018 KPK dan Polri, dengan cara tidak akan membahasnya, agar kedua lembaga itu tidak bisa bekerja, biar kapok.

Ancaman yang dilontarkan Misbakhun itu  juga semakin menunjukkan mereka sedang benar-penar panik, karena anggaran tahun 2018 itu masih belum waktunya dibahas dalam waktu dekat ini.

Misbakhun mengaku, ia tidak peduli dengan kegaduhan (dampak) yang akan terjadi apabila DPR benar-benar melaksanakan ancamannya itu.

"Ya enggak apa-apa (gaduh), mereka maunya gaduh," kata Misbakhun di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (20/6/2. Implikasi dari tidak dibahasnya anggaran RAPBN 2018, kata dia, adalah anggaran terhadap dua institusi tersebut di 2018 tertahan.

"Ya enggak punya (anggaran) lah. Silakan menikmati," katanya dengan nada sarkasme (detik.com)

Padahal, jika ancaman gila itu sungguh diterapkan, maka kinerja KPK dan Kepolisian di seluruh Indonesia pasti akan sangat terganggu, yang berdampak berjayanya para koruptor, karena mereka menjadi tak terjangkau KPK; dan keamanan secara nasional bisa terganggu secara signifikan karena polisi tidak bisa menjalankan tugasnya untuk melindungi masyarakat secara maksimal, sehingga rakyat pun akan resah. Tetapi, dengarlah apa yang Misbakhun  katakan, dia tak peduli dengan semua itu!

DPR dari masa ke masa, memang tidak pernah serius berpikir dan bekerja untuk rakyat, yang mereka selalu nomor satukan adalah kepentingan mereka sendiri dan partai politiknya. Bahkan banyak di antara mereka menjadi anggota DPR pun sudah sejak semula dilandasi oleh keinginan memanfaatkan jabatannya itu untuk memperoleh kekayaan sebesar-besarnya dengan cara korupsi yang sebanyak-banyaknya, dan sepertinya mereka merasa berhak untuk korupsi.

Dengarkan saja apa yang pernah dikatakan Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra Fadli Zon: korupsi merupakan dampak dari pembangunan nasional di negara-negara berkembang, dan korupsi merupakan oli pelumas berputarnya perekonomian negara!

Oleh karena itu ketika KPK semakin lama semakin banyak menangkap anggota-anggota DPR yang korupsi, DPR pun semakin memusuhi KPK, dan ingin melenyapkannya dari bumi Nusantara ini. DPR memperjuangkan dengan gigih kepentingan para koruptor untuk menumbangkan KPK.

Puncak kemarahan mereka adalah ketika KPK mulai berani  mengusut kasus mega korupsi KTP-el, yang secara sangat serakah menggarong keuangan negara sampai nyaris separoh dari anggaran proyek yang Rp. 2,3 triliun itu. Apalagi di antara sejumlah nama anggota DPR yang namanya disebut sebagai penerima uang korupsi proyek itu terdapat nama-nama “besar” yang “dituakan”, yang seolah-olah sudah menjadi “godfather” di DPR, yang selama ini seperti sosok yang “the untouchable”.

Maka, tak ada cara lain, selain menyatakan perang dengan KPK, untuk membunuh KPK, dengan cara membentuk Pansus Hak Angket terhadap KPK itu. Lembaga negara DPR yang seharusnya bekerja untuk rakyat, “dirampas” mereka untuk digunakan melindungi kelompok mereka dari incaran KPK.

Bahwa pembentukan Pansus tersebut sungguh tidak sah, karena tidak berdasarkan hukum yang berlaku, yang diperkuat dengan pendapat dari lebih dari seratus pakar Hukum Tanah Negara, mereka pun tak perduli.

Dengan seenaknya mereka menafsirkan pasal-pasal di dalam UU MD3 Tahun 2014, yang seharusnya tidak perlu ditafsirkan lagi karena sudah sangat jelas bunyi dan maksudnya, untuk disesuaikan dengan maksud dan tujuan mereka membentuk Pansus tersebut.

Di artikelnya yang berjudul “Siasat DPR terhadap KPK”, Kompas, Rabu 21/6/2017, mantan Wakil Ketua KPK, Indriyanto Seno Adji, menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan pasal tentang syarat sahnya terbentuknya Pansus Hak Angket tersebut merupakan suatu kepastian hukum yang memenuhi syarat lex scripta (syarat tertulis) dan karena itu haruslah diartikan lex stricta (seperti apa yang dibaca) dan lex certa (tidak bisa diartikan lain secara multitafsir).

Fungsi anggaran DPR pun mau mereka salahgunakan dengan seenaknya mau dipakai juga sebagai senjata untuk mengancam KPK dan Polri sekaligus, bahwa jika KPK dan Polri tidak memenuhi kehendak Pansus menghadirkan Miryam, maka mereka akan menahan anggaran KPK dan Polri, sehingga kedua lembaga itu tidak bisa bekerja.

Padahal anggaran itu berasal dari rakyat, bukan milik nenek moyang mereka, dan dari anggaran itu KPK dan Polri bekerja sesuai dengan wewenangnya masing-masing untuk kepentingan rakyat itu, dalam rangka memperoleh negara yang bersih dari korupsi, dan memperoleh keamanan dan ketenteraman dalam kehidupan sehari-harinya.

Sangat ironis, DPR yang merupakan lembaga negara yang paling tidak dipercaya rakyat, mengancam KPK, yang merupakan lembaga negara yang paling dipercaya dan diandalkan rakyat, dengan ancaman KPK tidak akan diberi anggaran, padahal anggaran itu berasal dari rakyat dan digunakan KPK untuk menjalankan tugasnya demi kepentingan rakyat.

Momentum Melakukan Pembersihan Besar-Besaran di DPR

Dengan memahami uraian tersebut di atas, dan bahwa KPK telah menilai Pansus Hak Angket itu tidak sah, dan bahwa menurut pendapat KPK, upaya untuk menghadirkan tersangka Miryam S Haryani, yang sedang menjadi tahanan KPK,  dapat dikualifikasikan sebagai suatu tindakan yang mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan atau obstruction justice,yang bisa dipidana menurut Pasal 21 Undang-Undang KPK, maka sesungguhnya KPK sudah dapat menindak pimpinan dan anggota Pansus Hak Angket tersebut.

Tentu akan menimbulkan kegaduhan hukum dan politik besar jika sampai KPK melakukan tindakan hukum sedemikian terhadap 23 pimpinan dan anggota Pansus Hak Angket tersebut. Mereka pasti tidak akan tinggal diam, perlawanan pasti mereka lakukan dengan segenap kekuatannya, tetapi perlawanan mereka itu tidak akan berarti, jika partai politiknya sendiri tidak memberi dukungan, dan menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk bertindak sesuai dengan kewenangannya itu.

Pertanyaannya, apakah partai-partai politik itu akan bersikap demikian? Ataukah semua yang dilakukan oleh kader mereka di DPR itu memang justru merupakan pelaksanaan tugas dari parpol-nya masing-masing dengan misi yang memang untuk menggagalkan KPK mengusut tuntas kasus mega korupsi KTP-el itu, sekaligus untuk melemahkan, lebih baik lagi jika bisa membubarkan KPK.

Namun, untuk sekarang, sebaiknya, KPK perlu menahan diri dulu, tidak perlu bertindak sekarang, tunggu saja, apabila sejumlah anggota DPR dengan Pansus Hak Angket “ilegal” itu sudah semakin jauh melewati batas, sehingga sudah sedemikian mengganggu jalannya penanganan kasus mega korupsi KTP-el itu, sampai KPK tak bisa bekerja lagi (secara maksimal) mengusut kasus itu, maka tidak ada pilihan lain, selain KPK melakukan satu tindakan maha berani untuk menghadapi tindakan sejumlah anggota DPR yang sudah maha keterlaluan itu, dengan menetapkan mereka semua sebagai tersangka obstruction of justice, bilamana perlu dilakukan penahanan sekaligus secara besar-besaran.

Momen ini akan menjadi momen terbaik, bagi KPK untuk melakukan pembersihan di DPR secara besar-besaran dari gerombolan koruptor yang sudah lama menjadikan DPR sebagai sarang mereka.

Apalagi dukungan masyarakat kepada KPK pun semakin lama semakin menguat, di antaranya dengan pernyataan dukungan terhadap KPK, dan menolak Hak Angket terhadap KPK itu yang ditandatangani oleh 357 guru besar dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia (lihat lampiran di bawah).

Dalam menghadapi perseteruan hebat antara DPR vs KPK, yang semakin mengganggu kinerja dan mengancam keberadaan KPK itu, bahkan berpotensi membuat praktik bernegara menjadi kacau-balau, Presiden Jokowi tidak bisa lagi bersikap netral, seperti yang selama ini ia kemukakan.

Presiden harus segera bertindak menyelamatkan KPK, dengan menggunakan pengaruhnya di antara parpol-parpol pendukungnya, untuk membubarkan  Pansus dan membatalkan  pelaksanaan hak angket tersebut, karena sesungguhnya yang terjadi di dalam perseteruan itu adalah adanya segerombolan anggota DPR yang diduga terlibat dalam mega korupsi yang sedang diusut oleh KPK, yang justru memperalat dan memanfaatkan DPR sebagai tameng untuk melindungi mereka dari incaran KPK, sekaligus DPR juga dipakai sebagai alat mereka menyerang balik KPK agar menjadi lemah dan menghentikan pengusutan kasus tersebut. *****

 Artikel terkait:

DPR vs KPK: Kejarlah Daku Kau Kutangkap

DAFTAR NAMA 357 GURU BESAR YANG MENOLAK HAK ANGKET TERHADAP KPK (sumber harian Kompas/e-paper Kompas):

(e-paper Kompas, 23/7/2017)
(e-paper Kompas, 23/7/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)
(e-paper Kompas, 23/6/2017)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun