Mohon tunggu...
Daniel H.T.
Daniel H.T. Mohon Tunggu... Wiraswasta

Bukan siapa-siapa, yang hanya menyalurkan aspirasinya. Twitter @danielht2009

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pakai "Cara Jawa" Tidak Mempan, Disindir Tidak Mempan, Dicemooh Langsung Juga Tidak Mempan

15 Juni 2013   01:28 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:00 1624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13712343321009039855

[caption id="attachment_248941" align="aligncenter" width="465" caption="Spanduk PKS (beritajakarta.com)"][/caption]

Dipakai cara “Jawa” tidak mempan, disindir tidak mempan, dicemooh langsung tidak mempan juga. Hanya mereka yang berkulit badak, dan bermuka tembok yang bisa begini.

Begitulah PKS. Meskipun bergabung dalam koalisi pemerintahan SBY, partai dakwah ini telah menyatakan menolak rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi dengan alasan menaikkan harga BBM itu hanya akan menyengsarakan rakyat.

Berbagai macam spanduk dan baliho PKS bertebaran di seantero Nusantara yang isinya mengecam rencana pemerintah menaikkan harga BBM itu. Tetapi bersamaan dengan itu partai ini juga tidak menyatakan dirinya keluar dari Setgab Partai Koalisi Pemerintahan SBY, mereka juga tidak mau menarik tiga menterinya dari pemerintahan yang dikatakan tidak pro-rakyat itu. Bukankah tiga menteri itu juga bagian dari pemerintahan yang dikecam itu? Kalau mau konsekeuen dengan sikapnya itu seharusnya PKS serta-merta menarik mundur tiga menterinya itu. Kalau tidak demikian, berarti PKS juga turut serta mendukung pemerintahan SBY yang dikatakan tidak pro-rakyat itu, tetapi tetap mau dikatakan sebagai partai yang pro-rakyat. Bingung, ‘kan?

Sebenarnya, karena sikapnya itu, kehadiran PKS ini sudah tidak dikehendaki lagi di Setgab Koalisi, termasuk tiga menterinya itu. Tetapi, seperti yang saya katakan di atas, pakai cara “Jawa,” pakai cara disindir, dan bahkan pakai cara “tembak langsung,” ternyata tak mempan juga. PKS pura-pura tidak merasa kehadiran mereka di Setgab Koalisi tidak lagi dikehendaki, termasuk tiga menterinya di pemerintahan SBY. PKS dan tiga menterinya itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono,  dan Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri, sama-sama berkulit badak, bermuka tembok.

Berbagai pernyataan, alasan dan argumen pun terus dikemukakan yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, dan sekaligus memperkukukan sebutan “kulit badak, muka tembok” itu.

“Cara Jawa” Tidak Mempan

Yang dimaksud dengan “cara Jawa” adalah istilah yang dipakai oleh Wakil Ketua Umum PAN, Drajad Hari Wibowo.

"Sebagai orang Jawa, saya melihat sebenarnya SBY memakai cara Jawa dalam meminta PKS keluar dari koalisi. Mungkin karena PKS sering tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah.” Dia mengatakan, cara Jawa ini biasanya tersirat melalui bahasa sinyal, isyarat, atau bahasa tubuh yang jelas dimengerti oleh mereka yang bertata krama dan atau memahami budaya Jawa (Kompas.com, Kamis, 13/06/13).

SBY menggunakan “cara Jawa” itu dengan tidak mengundang para petinggi PKS, maupun tiga menterinya dalam beberapakali pertemuan/rapat Setgab. Sepert pada Selasa (04/06/13), Presiden PKS Anis Matta tidak diundang dalam rapat Setgab, padahal semua ketua umum partai koalisi diundang dan hadir, yang membahas BBM di kediaman Wapres Boedino. Demikian pula pada pertemuan di arena Jakarta Convention Center, Selasa (11/06/13), ketika Presiden SBY mengumpulkan para petinggi partai koalisi. Setelah itu, pada Rabu (13/06/13) ketika SBY menggelar rapat kabinet, tiga menteri dari PKS itu tidak dipanggil (Kompas.com)

Meskipun, beberapakali bertutut-turut tidak dianggap, tidak diundang oleh Presiden SBY, PKS dan tiga menterinya itu tidak merasa kehadiran mereka itu tidak dikehendaki lagi. Mereka tetap merasa bagian dari koalisi dan bagian dari pemerintahan yang dikatakan tidak pro-rakyat karena mau menaikkan harga BBM bersubsidi itu.

PKS berpendirian bahwa yang harus mengeluarkan mereka dari koalisi, dan yang harus mencopot menterinya itu adalah Presiden SBY. Karena, katanya, adalah hak prerogatif Presiden untuk mencopot setiap menterinya. Tetapi, bagaimana dengan sikap keluar dari koalisi, apakah itu juga hak prerogatif Presiden? Tentu saja, tidak. Meskipun tidak dikeluarkan, ‘kan seharusnya berinisiatif sendiri menyatakan diri (PKS) keluar dari Setgab Koalisi.

Demikian juga dengan menteri-menterinya, memang benar Presiden mempunyai hak prerogatif untuk mencopot menterinya, tetapi bukankah juga merupakan hak dari menteri-menteri itu, baik atas seruan dari parpol-nya, maupun atas inisiatif sendiri untuk minta berhenti?

Kalau merasa visi dan misi mereka tidak sejalan dengan pemerintah, kenapa tetap mau bergabung dengan pemerintah itu?

Disindir Tidak Mempan

Setelah “cara Jawa” untuk menyingkirkankan PKS dengan tiga menterinya itu tidak mempan, SBY memakai cara sindiran.

PKS menyatakan, mereka menentang rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi itu karena PKS itu pro (cinta) rakyat. Kalau BBM naik rakyat akan sengsara, maka itu PKS yang cinta rakyat akan berdiri di belakang rakyat untuk menentang rencana pemerintah itu. Sikap itu juga diekspresikan secara mencolok mata dalam bentuk penyebaran berbagai spanduk dan baliho di banyak kota di Indonesia. Kalau PKS cinta rakyat, berarti pemerintah tidak cinta rakyat? PKS seolah-olah hendak menyatakan demikian. Maka itu, SBY pun menyindir PKS atas sikapnya itu.

"Saya dengar komentar dan kritik kepada saya pribadi dan pemerintah. Pada kesempatan baik ini, saya sampaikan tidak ada yang senang-senang. Ketika kebijakan kenaikan BBM harus diambil, saya berharap jangan terlalu mudah pihak-pihak tertentu mengklaim bahwa mereka yang mencintai rakyat. Kami semua mencintai rakyat. Tidak ada yang tidak menyayangi rakyat," ujar Presiden SBY dalam rapat kabinet, Rabu, 12 Juni 2013 (Kompas.com).

Tetapi, anehnya, PKS bilang mereka sama sekali tidak merasa disindir Presiden.

"Sindiran ke siapa? Kami tidak merasa. Kan masalah mencintai dan tidak mencintai itu penilaian," ujar anggota Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Al-Muzzamil Yusuf, di Kompleks Parlemen, Kamis (13/6/2013) (Kompas.com)

Muzzamil mengatakan, partainya tidak menuding pihak lain tidak pro-rakyat dengan mendukung kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Ia menilai, PKS dan Presiden SBY memiliki cara masing-masing dalam menunjukkan kecintaannya kepada rakyat.

Ini lagi pernyataan yang sulit dimengerti. PKS bilang, karena dia pro-rakyat, maka dia tidak ingin melihat rakyat sengsara karena pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Berarti ‘kan menurut persepsi PKS, yang menaikkan harga BBM itu adalah pihak yang tidak pro-rakyat (pemerintah). Kenapa tidak mau terus terang saja?

Muzzarmil bilang, soal mencintai dan tidak mencintai rakyat itu hanya soal perbedaan persepsi antara PKS dengan Pemerintah. Sekarang kita tanyakan, lalu menurut PKS, persepsi siapa yang benar? Tentu saja mereka akan menjawab, persepsi merekalah yang benar.

Dicemooh Langsung, Juga Tak Mempan!

Mungkin analisa Drajad Hari Wibowo di atas itu benar, karena SBY itu orang Jawa, maka dia tidak bisa bicara dengan cara “tembak langsung” untuk menyingkirkan PKS dan tiga menterinya itu, maka itu “cara Jawa”-lah yang dipakai, seperti yang sudah diulas di atas.

Tetapi, apakah dengan cara tembak langsung, cara "Batak tembak langsung," atau bahkan dicemooh langsung, akan cukup ampuh, atau mempan membuat PKS malu sendiri lalu, sehingga atas inisiatif sendiri menyatakan diri keluar dari Setgab Koalisi Pemerintahan SBY, lalu menarik tiga orang menterinya itu? Ternyata tidak mempan juga.

Sudah beberapa kali beberapa petinggi Partai Demokrat yang nota bene adalah partainya pemerintah, partainya Presiden SBY mengecam keras sikap dua muka PKS ini dengan kata-kata yang sangat keras bahkan mengcemooh, seperti, “PKS muka tembok, kulit badak,” “PKS tidak tahu malu,” “PKS berkepribadian ganda,” “PKS gila jabatan,” “PKS licik dan mau enaknya sendiri,” dan seterusnya, tetapi hanyak masuk telinga kanan keluar telinga kiri, atau sebaliknya. Semua cercaan itu oleh PKS dianggap sebagai angin lalu saja. Alasannya, mereka bergabung dalam koalisi itu adalah dengan pemerintah, bukan dengan Partai Demokrat. Padahal antara Demokrat dengan SBY sebagai si empunya partai adalah satu suara. Terbukti, SBY pun tak pernah menegur anak buahnya ketika berkata0kata demikian kepada PKS.

Entah kecaman itu datang dari Partai Demokrat, ataukah dari Presiden SBY, atau siapapun juga, hal itu sebenarnya tak terlalu penting. Yang penting adalah introspeksi sendiri PKS, apakah sikap dua muka mereka itu memang sudah benar. Kalau mereka menganggap itu sudah benar, maka saya sepakat memang mereka tidak tahu malu.

Silakan baca analisa saya tentang ini di artikel yang berjudul PKS Tidak Gila Jabatan?

Wakil Sekjen Partai Demokrat Saan Mustopa mun sangat gregetan dengan sikap tak tahu malu PKS ini, dengan terang-terangan dia mengatakan bahwa PKS itu bersikap licik dan mau enaknya sendiri terkait rencana kenaikan harga BBM bersubsidi (Harian Kompas, Jumat, 14/06/13).

Tetapi, cemoohan itu lagi-lagi tidak mempan.

Ketua Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid menyatakan, sikap menolak rencana kenaikan harga BBM merupakan keputusan bulat dan final yang mengikat semua anggota partai, termasuk tiga kader PKS di kabinet.

Tetapi bersamaan dengan itu PKS tidak mau berinisiatif untuk menyatakan keluar dari Setgab Koalisi Pemerintahan, demikian juga dengan tiga menterinya tidak mau menyatakan mundur dari jabatannya masing-masing. Padahal mengakunya sebagai pihak yang pro-rakyat, menentang kebijakan pemerintah yang anti-rakyat.

Jadi, pakai cara halus ala "Jawa," maupun cara "Batak tembak langsung" pun tidak mempan. Kebal kulit mukanya.

Jadi, kalau SBY tidak melakukan apa-apa terhadap mereka, maka selama itu pula PKS yang pro-rakyat akan tetap bersatu dalam pemerintahan yang anti-rakyat?

Entah cara apa lagi yang bisa membuat mereka malu sendiri, dan akhirnya menyatakan keluar dari Setgab, dan menarik tiga menterinya itu dari pemerintahan, dan dengan tegas menyatakan dirinya sebagai oposisi.

SBY harus meninggalkan cara Jawa-nya untuk bisa bersikap lebih keras, tegas dan tanpa kompromi lagi dengan PKS. Tetapi, apakah bisa? ***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun