Mohon tunggu...
Garinps
Garinps Mohon Tunggu... Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Pembelajar sejati yang haus akan ilmu di bidang Lingkungan, Kesehatan, IPTEK, Internet, dan Seni.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menguasai Emosi: Rahasia Kesuksesan Menurut Daniel Goleman

2 Maret 2025   12:07 Diperbarui: 2 Maret 2025   12:07 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi emosi memimpin (Sumber: dibuat dengan NightCafe/Artifex)

Pernahkah Anda membayangkan sebuah peristiwa sederhana yang mampu mengubah suasana hati sekelompok orang? Pada suatu hari yang panas dan lembap di New York, seorang sopir bus bernama Govan Brown menyapa setiap penumpang dengan penuh kehangatan: "Selamat datang! Bagaimana hari Anda?" Respons ini mengubah suasana di dalam bus dari kesunyian yang murung menjadi keakraban yang penuh semangat. Govan Brown, yang ternyata juga seorang pendeta, memandang penumpang sebagai bagian dari tanggung jawabnya untuk dijaga. Kisah ini, yang diceritakan oleh Daniel Goleman, menjadi ilustrasi nyata bahwa pengelolaan emosi yang cerdas dapat memberikan dampak besar terhadap lingkungan sekitar. Apa sebenarnya rahasia di balik kekuatan emosi tersebut? Artikel ini akan menguraikan perjalanan Daniel Goleman, yang dikenal sebagai "bapak kecerdasan emosional," serta bagaimana penguasaan emosi menjadi kunci kesuksesan dalam kehidupan pribadi maupun profesional.

Awal Perjalanan: Dari Akademik ke Pemahaman Emosi

Daniel Goleman adalah seorang psikolog terkemuka yang meraih gelar doktor dari Universitas Harvard. Ia memulai kariernya sebagai jurnalis sains di The New York Times, di mana ia bertugas meliput periode yang disebut "Dekade Otak"---saat ilmu pengetahuan mulai mengungkap hubungan antara emosi dan fungsi otak manusia. Dalam tugasnya menelaah jurnal akademik, Goleman menemukan sebuah artikel oleh Peter Salovey---kini presiden Universitas Yale---dan John Mayer yang memperkenalkan istilah "kecerdasan emosional." Istilah tersebut awalnya terasa kontradiktif baginya; bagaimana emosi, yang sering dianggap irasional, dapat dikaitkan dengan kecerdasan? Namun, setelah mendalami konsep tersebut, ia menyadari bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi secara efektif, baik dalam diri sendiri maupun dalam interaksi dengan orang lain.

Pada tahun 1995, Goleman menerbitkan buku berjudul Emotional Intelligence, yang menjadi karya terkenal di seluruh dunia dan diterjemahkan ke dalam lebih dari empat puluh bahasa. "Saya tidak menciptakan istilah itu, saya hanya mempopulerkannya," ungkapnya dalam wawancara dengan Jacob Morgan pada tanggal satu November dua ribu dua puluh satu untuk Future Ready Leadership. Buku tersebut menjadi titik awal baginya untuk mengeksplorasi peran emosi dalam kepemimpinan, hubungan sosial, dan kehidupan sehari-hari, menjadikannya salah satu tokoh utama dalam bidang ini.

Definisi Kecerdasan Emosional: Lebih dari Sekadar Perasaan

Menurut Goleman, kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali, mengelola, dan memanfaatkan emosi untuk kepentingan diri sendiri dan hubungan dengan orang lain. Ia membaginya menjadi empat domain utama: kesadaran diri (self-awareness), pengelolaan diri (self-management), kesadaran sosial (social awareness), dan manajemen hubungan (relationship management). Setelah pertama kali diperkenalkan, istilah-istilah ini akan disebut dalam bentuk terjemahan: kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan.

Kesadaran diri adalah kemampuan untuk memahami emosi yang dirasakan, penyebabnya, serta dampaknya terhadap pikiran dan tindakan. Domain ini menjadi dasar bagi pengambilan keputusan yang bijaksana. Pengelolaan diri mencakup kemampuan untuk mengendalikan emosi yang mengganggu agar tidak menghambat konsentrasi, sekaligus memanfaatkan emosi positif untuk mendukung tujuan pribadi. Kesadaran sosial, yang meliputi empati, adalah kemampuan untuk mengenali perasaan orang lain dan menunjukkan kepedulian terhadap mereka. Terakhir, manajemen hubungan adalah keterampilan untuk berkomunikasi secara efektif, menyelesaikan konflik, dan membangun kepercayaan dalam interaksi sosial.

"Berbeda dengan IQ, yang cenderung stabil sepanjang hidup, kecerdasan emosional dapat dipelajari dan dikembangkan pada usia berapa pun," jelas Goleman dalam sebuah video Big Think pada tanggal dua puluh empat April dua ribu dua belas. Ia menegaskan bahwa kecerdasan emosional bukanlah satu kemampuan tunggal, melainkan sekumpulan keterampilan yang dapat diasah melalui latihan dan pengalaman.

Peran Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan

Setelah memahami definisinya, penting untuk melihat bagaimana kecerdasan emosional diterapkan dalam konteks kepemimpinan. Goleman mendefinisikan kepemimpinan tidak hanya sebagai posisi formal, tetapi juga sebagai kemampuan untuk memengaruhi orang lain dalam berbagai konteks, mulai dari keluarga hingga organisasi. Seorang pemimpin yang memiliki kecerdasan emosional mampu mengelola emosinya sendiri sebelum memandu orang lain. Penelitian oleh Sigal Barsade dari Yale School of Management menunjukkan bahwa emosi seorang pemimpin bersifat menular. "Jika seorang pemimpin sedang cemas, tim akan turut merasakan kecemasan tersebut, dan kinerja mereka menurun. Sebaliknya, jika pemimpin menunjukkan antusiasme, kinerja tim meningkat," ungkap Goleman.

Keautentikan menjadi faktor penting dalam hal ini. Goleman menekankan bahwa memalsukan emosi positif tidak efektif karena manusia memiliki kemampuan alami untuk mendeteksi ketidaktulusan---misalnya, melalui perbedaan antara senyum tulus yang ditandai kerutan di sudut mata dan senyum yang hanya melibatkan mulut. Seorang pemimpin yang autentik dapat secara terbuka mengakui emosi negatifnya, seperti, "Saya merasa kesal hari ini karena anak-anak sulit diatur pagi tadi." Dengan menyebutkan emosi tersebut, ia membantu mengelolanya, sebagaimana didukung penelitian yang menunjukkan bahwa penamaan emosi mengalihkan aktivitas otak ke korteks prefrontal, bagian yang mengatur emosi.

Strategi Praktis untuk Mengelola Emosi

Goleman menawarkan beberapa strategi praktis untuk mengelola emosi, khususnya emosi negatif yang sering kali sulit diatasi. Pertama, teknik pernapasan yang digunakan oleh pasukan khusus: tarik napas dalam selama empat hitungan, tahan selama empat hitungan, lalu hembuskan secara perlahan selama empat hitungan, dan ulangi sebanyak enam hingga sembilan kali. "Metode ini membantu tubuh beralih dari kondisi stres ke kondisi pemulihan," katanya. Kedua, beri nama pada emosi yang dirasakan, seperti "Saya sedang cemas" atau "Saya marah," untuk mengurangi intensitasnya melalui pengalihan aktivitas otak.

Ketiga, lakukan latihan mindfulness atau meditasi sederhana selama sepuluh hingga dua puluh menit per hari dengan memusatkan perhatian pada pernapasan. "Latihan ini memperkuat ketenangan dan konsentrasi otak, meningkatkan ketahanan emosional seiring waktu," jelas Goleman. Keempat, gunakan pendekatan terapi kognitif untuk melawan pikiran negatif. Misalnya, jika muncul pemikiran, "Saya tidak kompeten dan akan dipecat," ingatkan diri bahwa tidak semua pikiran harus dipercaya, lalu fokus pada kekuatan yang dimiliki. Jika strategi ini belum cukup, ia merekomendasikan aktivitas penyeimbang seperti berjalan di alam atau berinteraksi dengan orang terdekat.

Dampak pada Pekerjaan dan Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun