Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah seorang pria tua bernama Pak Gino. Namun, tak seperti kebanyakan orang lanjut usia yang dihormati dan disayangi, Pak Gino justru dijauhi oleh penduduk desa. Alasannya? Ia adalah orang paling murung yang pernah mereka kenal.
Setiap hari, keluhannya melayang di udara seperti kabut pagi yang enggan pergi. "Hidup ini menyebalkan," gerutunya. "Tak ada yang berjalan sesuai keinginanku." Wajahnya selalu muram, suaranya dipenuhi nada getir, dan setiap orang yang mendekat pasti akan terjangkit suasana hati buruknya.
Penduduk desa mulai menghindarinya. Seolah-olah, jika mereka terlalu lama berada di dekat Pak Gino, keberuntungan mereka juga akan terkikis. Bahkan anak-anak yang awalnya penasaran, kini memilih berlari menjauh jika melihat sosoknya datang.
Namun suatu pagi, sebuah kejadian luar biasa mengguncang desa. Pak Gino, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai pria paling suram, tiba-tiba terlihat berbeda. Wajahnya yang dulu penuh kerutan kesal kini tampak lebih lembut. Ada senyum tipis di bibirnya, dan sorot matanya yang biasanya kosong kini berpendar dengan cahaya yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Orang-orang saling berbisik. Kabar ini menyebar lebih cepat daripada api di musim kemarau. Akhirnya, sekelompok penduduk desa memutuskan untuk menemuinya dan bertanya langsung.
"Pak Gino, apa yang terjadi?" tanya seorang pemuda, penasaran.
Pak Gino tertawa kecil, sesuatu yang belum pernah mereka dengar sebelumnya. "Selama delapan puluh tahun," katanya, "aku mengejar kebahagiaan. Aku mengira kebahagiaan adalah sesuatu yang harus kukejar, harus kudapatkan, harus kupaksa hadir dalam hidupku. Tapi semakin aku mengejarnya, semakin jauh rasanya."
Ia menarik napas dalam, menatap langit biru yang seolah lebih cerah dari biasanya. "Lalu, aku lelah. Aku menyerah. Aku berhenti mengejar kebahagiaan dan hanya mulai menjalani hidup apa adanya. Dan anehnya, sejak itu, aku justru merasakannya."
Penduduk desa terdiam. Mereka merenungkan kata-kata Pak Gino. Ternyata, kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dikejar mati-matian. Ia hadir ketika seseorang belajar menerima dan menikmati hidup dengan sederhana.
Sejak hari itu, Pak Gino bukan lagi pria tua yang menyebarkan kemurungan. Ia menjadi sumber kehangatan dan kebijaksanaan, dan akhirnya—benar-benar bahagia.