Saat ini siapa yang tidak kenal dengan sosok yang bernama Salsa Erwina Hutagalung? Wanita Batak pemberani ini viral di jagad maya media sosial Indonesia setelah dengan lantang mengkritik habis perilaku anggota DPR RI yang hedon di tengah-tengah keprihatinan kondisi ekonomi rakyat Indonesia. Yang mayoritas masih hidup di bawah garis kemiskinan. Ditambah lagi dengan PHK yang meraja-lela dimana-mana. Salsa Erwina menjadi corong suara rakyat begitu gemas dan geregetan terhadap respon sebagian anggota dewan yang terkesan tidak peduli dengan kondisi negara.
Dalam beberapa kesempatan Salsa Erwina berkisah masih ingat betul akan kegundahannya beberapa tahun silam ketika menyaksikan carut-marut kehidupan politik dan ekonomi di tanah air. Setiap hari layar televisi dan linimasa media sosial dipenuhi dengan berita tentang korupsi, politik uang, pejabat yang gemar bermewah-mewahan, hingga pelayanan publik yang sering mengecewakan. Di kepalanya, ia sering berandai-andai: mungkinkah ada sebuah negeri di mana negara benar-benar hadir untuk rakyat, pejabatnya rendah hati, dan kehidupan warganya sejahtera tanpa harus dikejar bayang-bayang pungli dan korupsi?
Angan-angan itu seperti utopia---hingga takdir membawanya merantau jauh ke Eropa, dan sampailah ia terdampar di Denmark. Di sanalah ia terkesima. Negeri mungil Skandinavia itu seperti cermin dari mimpi-mimpinya selama ini.
Di Denmark, Salsa mengalami sendiri bagaimana negara hadir secara nyata bagi rakyatnya. Pendidikan dari taman kanak-kanak hingga universitas diberikan secara gratis. Pelayanan kesehatan menyeluruh tanpa harus memikirkan biaya rumah sakit. Fasilitas publik---mulai dari transportasi, taman kota, hingga infrastruktur desa---berfungsi dengan baik dan terpelihara rapi. Pemerintahnya egaliter, pejabat tinggi bisa bersepeda ke kantor tanpa kawalan berlapis, dan tidak ada pamer kemewahan di tengah rakyat. Lebih dari itu, rakyatnya hidup sejahtera dengan standar gaji dan jaminan sosial yang merata.
Tidak mengherankan jika Transparency International menempatkan Denmark sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi tertinggi di dunia. Pada 2024, Denmark kembali menduduki peringkat pertama dengan skor 90 dari 100. Artinya, negara ini dipandang paling bersih, paling minim praktik korupsi, dan paling terpercaya sistem pemerintahannya.
Bagaimana Denmark Bisa Sampai di Titik Ini?
Kesuksesan Denmark bukanlah hadiah instan. Ada sejarah panjang reformasi birokrasi sejak abad ke-19, ketika sistem feodal dihapus dan birokrasi dibangun dengan meritokrasi, bukan patronase. Tradisi egalitarianisme masyarakat Skandinavia menumbuhkan budaya kesetaraan, sehingga praktik nepotisme atau jual-beli jabatan tidak mendapat tempat.
Selain itu, tingkat kepercayaan sosial (social trust) di Denmark sangat tinggi. Warganya percaya bahwa institusi publik akan bekerja jujur, dan pejabat publik benar-benar bertugas melayani, bukan memperkaya diri. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, dengan sistem peradilan independen yang memastikan tidak ada kekebalan bagi koruptor. Transparansi publik juga dijamin: dokumen-dokumen negara terbuka untuk diakses, sehingga kecil kemungkinan pejabat bermain curang di ruang gelap.
Kunci lainnya adalah negara kesejahteraan (welfare state). Dengan pendidikan gratis, kesehatan universal, serta distribusi kekayaan yang merata, kesenjangan sosial bisa ditekan. Korupsi biasanya tumbuh subur ketika kesenjangan lebar dan peluang ekonomi timpang. Namun di Denmark, kebutuhan dasar warga terpenuhi sehingga ruang bagi praktik suap atau pungli nyaris tidak ada.
Membandingkan dengan Indonesia
Kini mari kita lihat ke tanah air. Indonesia pada 2024 hanya meraih skor 37 dari 100, berada di peringkat 99 dari 180 negara. Angka ini jauh di bawah rata-rata global (43), apalagi dibandingkan Singapura (84) yang juga negara ASEAN.