Mohon tunggu...
Dandi Bachtiar
Dandi Bachtiar Mohon Tunggu... Seorang ayah dari tiga putra dan putri

Manusia biasa yang sedang berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Royalti Musik dan LMKN Yang Lupa Diri

19 September 2025   11:49 Diperbarui: 19 September 2025   11:49 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalan Pembenahan ke Depan

Jika LMKN tidak ingin terus-menerus dianggap serakah dan melenceng dari tujuannya, ada beberapa langkah pembenahan yang mendesak dilakukan:

Pertegas Batas Objek Royalti
Suara alam, tilawah Al-Quran, lagu kebangsaan, dan ekspresi budaya tradisional harus tegas dikecualikan. LMKN perlu membuat database resmi karya cipta musik yang valid, agar pengguna musik tahu persis apa yang wajib dibayar.

Gunakan Teknologi Monitoring
Dengan software pengenal musik (mirip Shazam) yang dipasang di radio, TV, atau tempat umum, distribusi royalti bisa lebih adil. Lagu yang benar-benar diputar banyak akan mendapat royalti lebih besar, bukan sekadar patokan kapasitas kursi.

Transparansi Laporan
LMKN wajib mengumumkan laporan terbuka: berapa total royalti terkumpul, bagaimana metode distribusi, dan siapa saja penerimanya. Tanpa keterbukaan, kepercayaan pencipta tidak akan pernah terbangun.

Akuntabilitas kepada Pencipta, Bukan Hanya Pemerintah
LMKN harus menyadari bahwa eksistensinya bergantung pada para pencipta. Mereka bukan bawahan kementerian, melainkan pelayan para pemilik hak cipta. Semua komplain pencipta harus ditanggapi serius, bukan diabaikan.

Kisruh penarikan royalti musik di Indonesia mencerminkan betapa LMKN telah kehilangan arah. Alih-alih menjadi jembatan yang menenteramkan hubungan pencipta dan pengguna musik, LMKN tampil sebagai institusi yang sibuk menghitung kursi dan mencari objek pungutan baru. Di saat yang sama, distribusi royalti masih dipertanyakan transparansinya. Padahal, lembaga ini lahir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk melayani para pencipta, penyanyi, musisi, dan produser yang menggantungkan hidup pada karya mereka.

LMKN perlu kembali ke hakikat pendiriannya: menjadi pelayan, bukan penguasa. Fee yang mereka ambil hanyalah ongkos jasa, bukan porsi utama. Jangan karena merasa didirikan negara, mereka lalu hanya bertanggung jawab ke pemerintah dan menutup telinga terhadap jeritan pencipta. Sebab tanpa pencipta, LMKN tidak ada artinya. Bila terus melenceng, kepercayaan publik akan hilang, dan cita-cita luhur perlindungan hak cipta musik akan runtuh di hadapan keserakahan birokrasi.***

Banda Aceh, 25 Agustus 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun