Mohon tunggu...
Dandi Bachtiar
Dandi Bachtiar Mohon Tunggu... Seorang ayah dari tiga putra dan putri

Manusia biasa yang sedang berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Semoga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Royalti Musik dan LMKN Yang Lupa Diri

19 September 2025   11:49 Diperbarui: 19 September 2025   11:49 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Royalti Musik (Sumber Gambar: https://pdb-lawfirm.id/pengelolaan-royalti-hak-cipta-lagu-dan-atau-musik-yang-tidak-terdaftar-pada-lmkn/)

Fenomena hak cipta musik baru-baru ini kembali mengemuka ketika Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) mengeluarkan berbagai pernyataan soal penarikan royalti yang justru menimbulkan kebingungan di masyarakat. Alih-alih memberi kepastian hukum bagi para pencipta dan pengguna musik, LMKN seringkali menampilkan wajah yang kaku, birokratis, bahkan serakah. Kasus penarikan royalti berbasis kapasitas kursi restoran, atau bahkan rencana menarik royalti dari suara alam, lantunan Al-Quran, hingga lagu kebangsaan, menjadi contoh nyata bagaimana lembaga yang seharusnya hadir sebagai pelindung pencipta justru berubah wajah menjadi mesin pungutan.

Padahal, hakikat berdirinya LMKN sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Hak Cipta 2014 adalah mulia: menjadi fasilitator antara pencipta dengan pengguna musik. Negara mendirikan LMKN agar ada satu pintu resmi penarikan dan distribusi royalti, sehingga pencipta mendapat imbalan yang adil, sementara pengguna musik tidak bingung menghadapi berbagai tagihan dari LMK yang berbeda-beda. Namun, perjalanan hampir satu dekade menunjukkan bahwa realitas jauh dari ideal. LMKN kerap tampil seperti lembaga yang bekerja demi kelangsungan hidupnya sendiri, bukan demi para pencipta yang seharusnya menjadi inti dari ekosistem musik.

Sistem Pungutan yang Membingungkan

Kebijakan LMKN menarik royalti berdasarkan jumlah kursi di kafe, restoran, atau bioskop memang lebih praktis. Akan tetapi, praktik ini melahirkan pertanyaan mendasar: bagaimana memastikan uang yang dikumpulkan benar-benar mengalir ke pencipta lagu yang karyanya diputar? Jika semua dihitung berdasarkan kapasitas ruang, maka lagu populer yang diputar berkali-kali mendapat bagian yang sama dengan lagu yang tidak pernah terdengar di ruang publik. Transparansi menjadi kabur, keadilan menjadi ilusi.

Lebih parah lagi, LMKN sempat terseret kontroversi ketika ada wacana penarikan royalti dari suara alam, tilawah Al-Quran, atau bahkan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Padahal, secara hukum maupun etika, objek-objek tersebut jelas bukan bagian dari karya cipta komersial. Suara alam adalah fenomena natural tanpa pencipta manusia, tilawah Al-Quran adalah bagian dari ibadah, dan lagu kebangsaan justru dilindungi untuk tidak dijadikan komoditas komersial. Ketika LMKN nekat melangkah ke wilayah ini, publik melihat bukan lagi lembaga pelindung pencipta, melainkan institusi yang kalap memperluas objek pungutannya.

Bukan Masalah Indonesia Saja

Harus diakui, polemik soal penarikan dan distribusi royalti bukan hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain, lembaga manajemen kolektif juga menghadapi kritik. Di Amerika Serikat, ASCAP dan BMI kerap digugat oleh pemilik kafe dan radio kecil karena tarif royalti dianggap terlalu tinggi dan tidak sepadan dengan pemakaian musik mereka. Musisi independen juga menuduh distribusi royalti lebih berpihak kepada artis besar yang sering diputar di media massa. Di Jepang, JASRAC memicu protes keras ketika menagih royalti dari sekolah musik yang hanya mengajarkan murid memainkan lagu populer---banyak orang menilai langkah itu berlebihan. Sementara di Eropa, PRS (Inggris), SACEM (Prancis), atau GEMA (Jerman) sering dikeluhkan karena birokrasi yang lamban dan distribusi yang dianggap tidak proporsional.

Artinya, problem tentang tarif, keadilan, dan transparansi memang universal. Akan tetapi, ada satu hal yang khas Indonesia: over-claim royalti untuk objek-objek yang jelas tidak termasuk karya cipta musik. Di negara-negara maju, sebesar apapun konflik antara pencipta, pengguna, dan lembaga manajemen kolektif, tidak pernah ada kasus royalti ditarik dari doa, ayat suci, atau suara alam. Di sini letak kejanggalan kita. LMKN kehilangan batas etisnya, dan inilah yang merusak legitimasi mereka di mata publik.

Siapa yang Dilayani LMKN?

Pertanyaan fundamental yang layak diajukan: LMKN bekerja untuk siapa? Jika mengacu pada UU Hak Cipta, jelas LMKN berdiri untuk melayani kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait, sekaligus memberi kepastian kepada pengguna musik. Namun dalam praktiknya, LMKN justru terlihat lebih sibuk membesarkan tubuh organisasinya sendiri. Narasi "target penarikan" lebih sering terdengar daripada narasi "perlindungan pencipta." Publik menilai LMKN lebih loyal kepada kementerian atau pemerintah sebagai pemberi mandat, ketimbang kepada para pencipta sebagai pemilik hak sesungguhnya.

Padahal, LMKN bukanlah lembaga penguasa. Mereka hanyalah perantara, pelayan, dan fasilitator. Fee atau biaya operasional yang mereka ambil dari royalti tidak boleh berubah menjadi kepentingan utama, melainkan sekadar upah jasa. LMKN tidak boleh merasa berhak menguasai kue besar royalti, apalagi memutuskannya secara sepihak tanpa akuntabilitas. Begitu lembaga ini merasa lebih penting dari para pencipta, maka mereka telah keluar dari mandat sejarahnya.

Jalan Pembenahan ke Depan

Jika LMKN tidak ingin terus-menerus dianggap serakah dan melenceng dari tujuannya, ada beberapa langkah pembenahan yang mendesak dilakukan:

Pertegas Batas Objek Royalti
Suara alam, tilawah Al-Quran, lagu kebangsaan, dan ekspresi budaya tradisional harus tegas dikecualikan. LMKN perlu membuat database resmi karya cipta musik yang valid, agar pengguna musik tahu persis apa yang wajib dibayar.

Gunakan Teknologi Monitoring
Dengan software pengenal musik (mirip Shazam) yang dipasang di radio, TV, atau tempat umum, distribusi royalti bisa lebih adil. Lagu yang benar-benar diputar banyak akan mendapat royalti lebih besar, bukan sekadar patokan kapasitas kursi.

Transparansi Laporan
LMKN wajib mengumumkan laporan terbuka: berapa total royalti terkumpul, bagaimana metode distribusi, dan siapa saja penerimanya. Tanpa keterbukaan, kepercayaan pencipta tidak akan pernah terbangun.

Akuntabilitas kepada Pencipta, Bukan Hanya Pemerintah
LMKN harus menyadari bahwa eksistensinya bergantung pada para pencipta. Mereka bukan bawahan kementerian, melainkan pelayan para pemilik hak cipta. Semua komplain pencipta harus ditanggapi serius, bukan diabaikan.

Kisruh penarikan royalti musik di Indonesia mencerminkan betapa LMKN telah kehilangan arah. Alih-alih menjadi jembatan yang menenteramkan hubungan pencipta dan pengguna musik, LMKN tampil sebagai institusi yang sibuk menghitung kursi dan mencari objek pungutan baru. Di saat yang sama, distribusi royalti masih dipertanyakan transparansinya. Padahal, lembaga ini lahir bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk melayani para pencipta, penyanyi, musisi, dan produser yang menggantungkan hidup pada karya mereka.

LMKN perlu kembali ke hakikat pendiriannya: menjadi pelayan, bukan penguasa. Fee yang mereka ambil hanyalah ongkos jasa, bukan porsi utama. Jangan karena merasa didirikan negara, mereka lalu hanya bertanggung jawab ke pemerintah dan menutup telinga terhadap jeritan pencipta. Sebab tanpa pencipta, LMKN tidak ada artinya. Bila terus melenceng, kepercayaan publik akan hilang, dan cita-cita luhur perlindungan hak cipta musik akan runtuh di hadapan keserakahan birokrasi.***

Banda Aceh, 25 Agustus 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun