Penulis: Dandi Bachtiar
Peralihan jabatan Menteri Keuangan dari Sri Mulyani Indrawati ke Purbaya Yudhi Sadewa menandai momen penting dalam perjalanan ekonomi Indonesia. Sri Mulyani, yang telah lebih dari satu dekade menjadi simbol disiplin fiskal dan wajah ekonomi Indonesia di mata dunia, meninggalkan warisan yang kompleks: stabilitas makro yang terjaga, tetapi juga keluhan rakyat yang merasa semakin terjepit oleh beban pajak dan harga kebutuhan hidup.
Kini, tongkat estafet berpindah ke tangan Purbaya, ekonom yang lebih dikenal dengan gaya kepemimpinan kolektif, tenang, dan pragmatis. Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana seharusnya kita menilai keberhasilan seorang Menteri Keuangan? Apakah cukup dengan penghargaan internasional dan stabilitas angka makro, ataukah ada ukuran yang lebih sejati yang benar-benar mencerminkan kesejahteraan rakyat?
Warisan Sri Mulyani: Stabilitas Makro vs Jeritan Mikro
Tidak bisa dipungkiri, Sri Mulyani adalah salah satu Menteri Keuangan paling dihormati di dunia. Ia berkali-kali dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik oleh lembaga internasional. Rating utang Indonesia tetap berada pada level investment grade, defisit APBN relatif terkendali, dan kepercayaan investor asing cukup tinggi.
Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia seakan terjebak di angka 5 persen. Rakyat kecil hingga kelas menengah sering mengeluhkan tekanan pajak yang semakin ketat, sementara peluang kerja layak masih terbatas. Banyak pekerja formal merasa gaji dipotong pajak lebih besar, UMKM terhimpit kewajiban administrasi, dan sebagian rakyat miskin tetap berkutat dengan harga pangan dan energi yang naik-turun.
Di sini kita melihat paradoks: sukses menurut standar global tidak serta-merta sama dengan sukses menurut rakyat. Indonesia tampak "rapi" di kertas laporan lembaga dunia, tetapi rakyat di pasar tradisional, di pabrik-pabrik, dan di sawah-sawah masih menghadapi beban hidup berat.
Purbaya dan Harapan Baru
Berbeda dengan Sri Mulyani yang dikenal dengan gaya kepemimpinan tegas, detail, dan penuh pengawasan, Purbaya cenderung menonjolkan pendekatan kolektif dan kolaboratif. Saat memimpin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), ia terbiasa menjaga stabilitas dengan bekerja sama erat dengan Bank Indonesia, OJK, dan Kementerian Keuangan sendiri.
Sebagai Menteri Keuangan, Purbaya mungkin tidak akan terlalu menonjol di panggung internasional seperti pendahulunya. Ia bukan sosok yang terbiasa tampil di forum global dengan retorika meyakinkan. Namun, ia punya kekuatan lain: kemampuan koordinasi, pragmatisme, dan gaya komunikasi yang menenangkan.
Tantangan baginya jelas: mampu atau tidak ia mengimbangi disiplin fiskal dengan kebijakan yang lebih berpihak pada rakyat, sambil tetap menjaga kepercayaan investor.