Di era teknologi kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, karya visual seperti gambar, ilustrasi, atau desain yang dihasilkan AI berdasarkan prompt manusia semakin populer. Namun, muncul pertanyaan krusial: Bolehkah seseorang, organisasi, atau lembaga menyematkan watermark pada karya AI tersebut?
Artikel ini akan membahas hak, etika, dan praktik umum terkait penggunaan watermark pada karya AI secara naratif dan inklusif bagi semua pihak baik individu, media, perusahaan, maupun komunitas kreatif.
Memahami Watermark dalam Konteks AI
Watermark adalah tanda visual biasanya berupa logo, teks, atau simbol yang disematkan pada karya untuk menunjukkan kepemilikan, merek, atau mencegah penggunaan tanpa izin. Dalam konteks karya AI (seperti gambar dari DALL-E, Midjourney, atau Stable Diffusion), watermark digunakan untuk melindungi, mempromosikan brand, atau menegaskan hak cipta.
Ilustrasi Kasus:
Bayangkan seorang desainer grafis bernama Maya. Ia menggunakan AI untuk menciptakan ilustrasi menakjubkan dari prompt cermat: “sebuah kota futuristik di tengah hutan ajaib, dengan lampu neon dan burung-burung bercahaya.” Maya ingin membagikan karya ini di portofolionya, tetapi khawatir dicuri, sehingga ia menyematkan watermark dengan namanya. Di sisi lain, sebuah media online yang memesan ilustrasi serupa juga ingin menambahkan logo mereka. Apakah keduanya berhak melakukannya? Jawabannya terletak pada kepemilikan.
Hak Cipta Karya AI: Siapa Pemiliknya?
Kunci untuk menentukan apakah watermark diperbolehkan adalah dengan menelusuri soal kepemilikan.
1. Peran Kontribusi Manusia
Hukum hak cipta termasuk di Indonesia berdasarkan UU No. 28 Tahun 2014 umumnya mengakui "pencipta" sebagai pemilik. Karena AI bukan subjek hukum, karya yang murni dihasilkan algoritma tanpa campur tangan manusia sering kali tidak memenuhi syarat perlindungan hak cipta (seperti yang ditetapkan oleh US Copyright Office di Amerika Serikat).