Warung kopi itu nyaris penuh, hanya satu meja tersedia ketika dia sampai disana, sendirian. Pengunjung yang lain sibuk dengan permainan mereka sekedar mengobrol tentang aktifitas seharian, hanya dia yang kesepian.
Dipanggilnya satu dari dua pegawai disana, memesan satu gelas kopi hangat berharap menemukan ide baru untuk berteman. Tapi, tidak ada yang menghiraukannya, tidak ada yang perduli, tidak ada yang bertanya, dia hanya mengesap kopinya sekali, lalu membakar sebatang rokok menatap kosong pada keramaian yang membuatnya mengingat masa lalu, disingkirkan.
Lalu dia berhenti pada satu pria, pria yang sangat dikenalnya, pria dari masa lalu. Pria itu tertawa bersama kawan -- kawannya, lalu mengobrol, lalu meminta sebatang rokok, menghisapnya sampai waktu berubah menjadi debu.
Dia ingat pria itu, entah bagaimana dia lupa nama pria itu. Sudah sepuluh tahun dia tidak mengunjungi kota masa kecilnya, selama itu juga dia mencoba melupakan getirnya masa lalu. Masa -- masa yang seharusnya indah bagi anak -- anak seusianya saat itu, baginya tidak lebih adalah neraka yang berusaha dia dinginkan dan menjadi beku.
Dia mencoba memalingkan wajah pada ponselnya, ketika pria itu menatapnya kembali. Dia tidak ingin melakukan pembicaraan atau bahkan menyapa pria itu sama sekali. Dia baru saja berencana akan berpura -- pura tidak mengenali. Tapi waktu sudah habis, pria itu kini duduk tepat dihadapannya yang masih mengais kata untuk menghindari.
"aku mengenalmu... kan?" kata pria itu
"hmmm..." dia mencoba mencari jawaban "kurasa tidak..." katanya
"lalu... kenapa kau melihatku sejak setengah jam lalu?"
"tidak... aku hanya melihat keakraban kalian" mencoba berbohong lagi
"aku tidak melihatmu saat pernikahan Artie, sepupumu itu" Pria itu mengingatnya, dia tersudut.
"aku tidak tahu kalau dia menikah"