Mohon tunggu...
Damiri Alawi
Damiri Alawi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Lepas

damiriahmad4@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kelabu di Balik Senja

17 Maret 2023   16:30 Diperbarui: 17 Maret 2023   16:38 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Biru langit yang membentang, cakrawala berhias gumpalan awan, terbang tertiup angin yang tak tentu arah. Saat sedang asyik menikmati cerahnya hari dengan sebatang rokok, tiba-tiba ponselku bergetar. Menari-nari di samping asbak yang dipenuhi oleh puntung rokok. Ku lirik ponsel itu, ada sebuah pesan masuk.

"Hai, apa kabar? Sudah lama tak bertemu."

Sepucuk kabar darimu, seorang gadis yang dulu dekat denganku namun tiba-tiba menghilang karena faktor kesibukan. Tak ku sangka sekali, sekian lama tak ada kabar akhirnya kini bisa kembali saling berbalas pesan. Setelah asyik berbalas pesan, akhirnya kau mengajakku untuk ketemuan. Sore ini di kedai tempo dulu, saat kita pertama bertemu. Ah, rasanya seperti akan menumpahkan rasa kangen dalam dada.

Pukul lima sore, kau sudah ada di meja yang langsung menghadap senja. Lengkap dengan segelas jus mangga yang sedari tadi kau pesan. Kenapa kau tidak memesan kopi, karena aku tahu kau tak bisa dipaksa bersahabat dengan asam lambung. Aku menghampirimu, duduk dan memesan secangkir americano. "Bagaimana kabarmu sekarang?" Aku memulai obrolan yang membuka gerbang untuk kita berbincang lebar.

Entah apa yang kau lakukan, entah daya magis apa yang kau pancarkan, aku selalu memerhatikan senyummu. Senyum yang bisa membawa dan menyeret ku secara paksa dalam kedamaian. Hanyut dalam kedip matamu yang berbinar. Jika menurut kebanyakan orang lembayung senja akan membuat candu, mungkin mereka belum melihat senyummu yang akan membuat hati merasa bersahaja.

Obrolan kian menyenangkan, diselingi beberapa lelucon yang membuat rekahan senyum itu tak hilang-hilang. Namun, saat tawa tercipta, hening pun akan tetap ada, tatkala sepenggal kalimat darimu membuatku diguyur oleh rasa sendu.

"Minggu depan aku akan menikah. Kamu harus datang ya."

Hah? Bagaimana? Ini bukan sebuah lelucon kan? Santai saja dulu. Bukankah dua insan yang baru bertemu kembali itu harusnya kangen-kangenan terlebih dahulu? Apalagi kita yang sempat dekat dan hatiku yang masih tertambat. Sebenarnya konsepnya bagaimana, sih? Baru saja ku hadirkan gelak tawa untukmu, tapi kau malah memberiku pukulan yang membuatku pilu. Kau menjelaskan dengan berbagai alasan. Untuk kebaikan dan masa depan, yang di mana denganku kau tak mendapat semua itu, katamu. Andai saja kau mau menungguku sebentar lagi.

Lara yang menyelinap, pilu yang menghapus tawa serta sakit yang berduyun-duyun menghujani perasaan.

Aku ucapkan selamat atas segala keputusan yang kau ambil. Aku hanya bisa mendokan segala yang terbaik. Ternyata aku hanya sekadar teman berkisah, sahabat untuk berkeluh-kesah. Dan tak mungkin lebih dari itu. Ternyata, aku tak bisa duduk di sampingmu, sembari menjabat tangan ayahmu yang berakhir dengan kata "sah".

Mata kembali berkaca, memeluk nestapa derita tentang senja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun