Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Membuat Kita Tak Pernah Berhenti Mencari Ilmu

26 November 2021   08:39 Diperbarui: 28 November 2021   12:26 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sini saya merasakan sentuhan dari seorang guru, yang kemudian senang dijadikan kakak. Ismael namanya. Kami memanggilnya Ajo Maen. Di samping ada guru lain yang ikut mengajar saya selama lima tahun di Luhak Nan Tuo itu.

Mulai dari guru yang paling senior, seperti H. Kakan, H. M. Nur, Ali Nurdin Manjang, Pak Suin, Mahyuddin Apuak, Anwar, Iskandar, hingga ke guru yang sedikit senior di atas saya, seperti M. Jalil, Syahrial, Yurnalis, Zamzami dan guru lainnya yang semuanya ikut membentuk jiwa dan karakter saya, yang hingga kini hasilnya dinikmati.

Saat saya di pesantren itu, guru besarnya Salim Malin Kuniang baru saja pergi selamanya. Dia banyak meninggalkan jejak, sehingga pasca kepergian dia banyak guru senior yang lanjut usia yang mengaja di lingkungan pesantren itu.

Sementara, di SD sebelum ke pondok, Pak In adalah guru yang paling terasa nilainya. Guru olahraga yang bernama Indrawati ini berhasil menanamkan nilai kebersamaan.

Waktu kelas lima SD, Pak In yang terjun jadi guru kelas saya. Banyak olahraga, dan ada tradisi melihat kawan sakit secara bersama.

Waktu itu familiar, pisang sesikat, susu sekaleng. Waktu melihat kawan sakit, hanya dua macam itu yang dibawa dari hasil kas yang dipungut tiap minggu oleh Pak In.


Dari ajaran Pak In inilah saya gemar berorganisasi setelah dewasa. Selalu ingin kebersamaan, punya banyak jaringan, dan leluasa bergerak di bidang sosial kemasyarakatan.

Rasa ingin terus belajar, belajar dan belajar lahir. Banyak buku yang dinikmati setelah saya dewasa.

Tak heran, nabi mengajarkan tuntutlah ilmu itu sejak hayunan hingga liang lahat. Artinya, menuntut ilmu tak ada batasnya.

Maut yang memisahkan kita untuk berhenti menuntut ilmu. Ilmu semakin dituntut, akan semakin terasa pula kekurangan dalam diri kita. Begitu guru mengajarkan dulu di pondok.

Ajo Mael, santri asal Sarang Gagak, Koto Dalam ini akhirnya pindah mengaji dari Padang Magek ke Koto Laweh, dekat Padang Panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun