Mohon tunggu...
Damanhuri Ahmad
Damanhuri Ahmad Mohon Tunggu... Penulis - Bekerja dan beramal
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Ada sebuah kutipan yang terkenal dari Yus Arianto dalam bukunya yang berjudul Jurnalis Berkisah. “Jurnalis, bila melakukan pekerjaan dengan semestinya, memanglah penjaga gerbang kebenaran, moralitas, dan suara hati dunia,”. Kutipan tersebut benar-benar menggambarkan bagaimana seharusnya idealisme seorang jurnalis dalam mengamati dan mencatat. Lantas masih adakah seorang jurnalis dengan idealisme demikian?

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Guru, Membuat Kita Tak Pernah Berhenti Mencari Ilmu

26 November 2021   08:39 Diperbarui: 28 November 2021   12:26 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak tahu banyak. Karena anak kecil, yang tahu hanya gembala sapi pulang sekolah, sampai sore. Sore makan, lalu ambil kain pergi ke surau untuk mengaji sambil sekalian tidur di surau itu. Pagi pulang dari surau angkut pasir atau batu dari sungai. Rutin tiap pagi mengangkut bahan bangunan rumah itu, akibatnya terbantu bangunan rumah orangtua dari kayu ke rumah permanen.

Begitu ayah dan ibu mendidik saya dari usia kecil dulunya. Tak sekedar gembala. Kadang juga menolong ayah dan ibu di ladang dan sawah. Ayah sering berladang cabai, kongsi dengan dunsanaknya. Cabai dipetik dua kali sepekan, Selasa dan Jumat. Berkarung-karung hasilnya.

Dan juga ayah sesekali berladang di sawah milik kaumnya. Kadang bersawah dengan menanam padi. Saya dan kakak saya yang rutin menolong itu, sambil juga sekalian gembala ternak.

Lalu, pulang ke rumah dari ladang angkut sapi, pergi pula mengaji. Nyaris tak ada waktu untuk belajar mengulang pelajaran saat tak di sekolah. Wajar pula, saat akhir sekolah dasar, nilai saya yang paling bawah dan rendah. Hanya untung lulus.

Hanya sekedar untuk tak pernah tinggal kelas. Mulus saja dari kelas satu sampai enam. Tetapi, tak menonjol dalam bidang tertentu.

Di surau, Armen nama guru mengaji saya waktu kecil yang berhasil menanamkan rasa itu. Rasa berguru, rasa beradik kakak dan rasa berteman. Sayang, setelah dia kawin tak lagi mengajar di surau itu. Namun, saya sampai pandai baca Quran dari dia. Surau Koto Runciang namanya. Terletak di kampung kecil, menurunan lurah dan menyeberangi untuk sana dari rumah orangtua di Ambung Kapur.


Ajo Men, begitu kami menyapanya, masih terbilang ponakan ayah, yang menghabiskan waktu lajangnya dengan mengajar anak mengaji di surau.

Meskipun, setelah itu ada banyak guru mengaji saya, Ajo Men terasa spesial. Dan Alhamdulillah, khatam Quran saya langsung dengan dia. Ada juga Ajo Manshur dan istrinya yang kami sapa Uni. Untuk Ajo Manshur dan Uni, Alfatihah.. Beliau telah berpulang ke Rahmatullah.

Sepulang dari pesantren, Ajo Manshur banyak mempengaruhi jalan hidup saya. Setiap bulan puasa saat libur di pondok, dia memimpin jalannya tadarus Tafsir bersama orang-orang yang telah mondok dulunya. Ajo Manshur banyak membawa saya melakukan wirid pengajian ke berbagai surau tempat wirid rutinnya.

Sesekali dia tak bisa hadir, lantaran uzur, saya disuruhnya sendiri melanjutkan wirid demikian. Wiridnya banyak malam, sehabis shalat Isya hingga pukul 23.00 Wib.

Tamat SD, oleh orang saya diantar ke pesantren. Nun jauh dari Padang Pariaman, yakni ke Batusangkar, tepatnya Ponpes Darul Ulum Padang Magek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun