Gema takbir itu terus terdengar. Sengaja dikumandangkan dari pengeras suara masjid dan surau yang akan melakukan Shalat Idul Fitri, Kamis (13/5/2021).
Sementara, di jagat media sosial pun demikian. Semuanya sibuk dan heboh dengan ucapan selamat Idul Fitri dengan aneka warna dan variasi, sesuai ide dan kreatif masing-masing.
Ya, ini reaksi kemenangan. Menang dari perjuangan mengendalikan akal dan nafsu selama Ramadan. Luapan kemenangan pasti dilepaskan dengan penuh semangat dan gembira ria.
Himbauan pemerintah untuk tidak shalat Id, sepertinya tak menghalangi umat Islam untuk terus menyuarakan kalimat takbir, tahmid dan tahlil di masjid dan surau. Hanya takbir keliling kampung dengan arak-arakan yang tak kelihatan saat ini.
Kenapa? Yang namanya shalat Id, tak boleh sendirian. Harus bersama dan berjemaah. Tak ada bersua hukumnya sembahyang raya dilakukan sendiri.
Idul Fitri di samping shalat merayakan kemenangan dari perjuangan yang lumayan berat selama sebulan, juga sebagai ajang untuk memperpanjang jalinan silaturahmi antar sesama.
Terasa sekali saat ini lebaran itu sepi. Tak ada perantau yang pulang, karena ada larangan, terutama bagi daerah dengan zona merah. Semua perbatasan Sumbar dengan provinsi lain dijaga ketat.
Suara sedih dan rindu terhadap kampung halaman pun jadi luapan kekesalan para perantau musim lebaran tahun ini. Kesal tak bisa pulang ditumpahkannya dalam jejaring media sosial.
Kabupaten Padang Pariaman dan Provinsi Sumatera Barat sebagian besar warganya tinggal di rantau. Merantau bagi orang Minang adalah tradisi yang sudah ada sejak dulunya. Pulang kampung saat lebaran adalah impian setiap perantau.
Namun, pandemi covid jadi penghalang para perantau untuk pulang kampung. Liburan lebaran pun tak berlangsung lama. Tentu semua dituntut kembali bekerja, menegakkan protokol kesehatan.
Banyak faktor kerinduan perantau untuk ingin pulang kampung. Rumah gadang dengan alamnya nan elok, terus bersua dengan dunsanak dan kawan karib juga bagian yang mengundang perantau tak bisa tidak pulang kampung.
Karatau madang di hulu, babuah babungo balun. Ka rantau bujang dahulu, di kampung baguno balun. Itulah semboyan orang Minang dalam hidup dan kehidupan. Ini falsafah untuk supaya anak nagari berani bangkit, pergi merantau, mencari yang namanya sumber kehidupan.
Di kampung tak banyak sumber kehidupan. Carilah di kampung orang. Ibarat padi, tak ada yang besar di persemaian. Supaya padi besar dan berkembang harus di asak dari persemaiannya.
Sehingga orang merantau tak melulu juga menumpuk kekayaan. Ada juga yang merantau dengan tujuan mencari ilmu pengetahuan. Lalu pulang kampung, mengembangkan ilmu yang sudah dapat di rantau itu di kampung halaman.
Ramadan di tengah pandemi tahun ini, adalah yang kedua kalinya di hadapi masyarakat nusantara ini. Perjuangan menuntut kita untuk lebih keras lagi, agar bisa sukses menjadi orang yang bertaqwa.
Sebulan berpuasa dengan qiamul lai sukses kita lakukan. Hari ini sempurna Ramadan dalam bilangan bulan. Semua usaha dan ikhtiar telah kita lakukan. Semoga saja kita yang melakukan kebaikan itu termasuk hamba yang bertaqwa, sesuai tujuan puasa itu sendiri.
Minal Aidin walfaizin. Semoga kita kembali kepada fitrah. Amien ya rabbal alamin.